ESOK hari Damarwulan berangkat bcrperang, dan malam itu ia menembangkan sebuah puisi untuk kekasihnva, Anjasmara. Ia tahu, ia tak akan menang. Dalam tembang yang menggetarkan itu, anak muda yang harus bertempur di Belambangan itu memang menyampaikan kata-kata yang sedih: Karia mukti, Wong ayu Kakangmas pamit palastra "Tinggallah dalam bahagia, Adikku manis. Abang minta diri, menuju mati." Puisi yang menyentuh hati berbicara tentang kesedihan sebagai sebuah situasi yang tak mungkin diulangi. Pelbagai cerita berkisah tentang rasa duka, tetapi dalam puisi yang sejati, masing-masing tak terbandingkan, karena yang satu bukan pengulangan dari yang lain. Masing-masing membawa vibrasinya sendiri. Suatu hari, di sebuah kota yang jauh, saya menonton Die Zauberflote karya Moart, dalam film sederhana yang dibuat dengan indahnya oleh Ingmar Bergman. Pada babak kedua opera itu, Pamina bersua dengan kekasihnya, Tamino, yang dengan bersusah payah dinantikannya. Tapi Tamino membisu di hadapannya. dan gadis itu pun sedih. Kesedihan itu bergaung dengan murni ketika Mozart mengungkapkannya dalam sebuah aria pendek, yang mungkin salah satu aria terindah di abad ke-17: Tamino, lihatlah, Air mata ini mengalir, kekasihku, Untukmu seorang, untukmu seorang Sieh, Tamino, diese Tranen fliessen, Trauter dir allein, dir allein . . . Bersalahkah kesedihan ? Terkadang kita memang suka mencemooh rintihan cinta sebagai sentimentalitas anak bawang. Dalam pementasan Sam Pek Eng Tay oleh Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta hari-hari ini, cerita melodramatis yang termasyhur itu dibuat lucu, dan kita terbahak-bahak. Memang bagi anak muda di tahun 1988, sikap putus asa Sam Pek -- ketika cintanya kepada Eng Tay ternyata patah -- terasa kelewat bodoh, cengeng, dan sia-sia. Tapi tentu ada yang bermakna dalam cerita kesetiaan yang tragis itu, hingga ia dicintai oleh pelbagai generasi dan pelbagai bangsa. Di waktu kecil, saya ingat saya membaca cerita itu, dalam bahasa Jawa yang lembut, di sebuah buku tulis yang kertasnya sudah menguning, disusun dengan tulisan tangan yang rapi -- suatu tanda bahwa ada sejumlah orang yang cukup mau bersusah payah untuk menyimpannya. Barangkali kesedihan, dalam suatu karya kesenian, punya fungsi yang tak-bisa diejek. Kesedihan Sam Pek-Eng Tay toh tak bisa kita ringkus begitu saja, untuk dimasukkan ke dalam kantung apak sejarah. Juga adieu Damarwulan dan tangis Pamina dalam Die Zauberote. Semuanya, seakan dengan sebuah sembilu yang magis, telah menorehkan sebuah luka yang kekal. Kata orang, itulah tanda sebuah puisi yang abadi. Namun, tak semua kesedihan adalah kesedihan. Di depan layar TVRI, konon kata kritikus musik Remmy Silado, kita harus siap untuk mual. Lagu-lagu Indonesia di layar itu adalah bolu warna-warni yang basi yang dikukus berkali-kali. Satu lagu dengan lagu lain sulit dibedakan -- biarpun semuanya ditampilkan oleh gadis pesolek yang sibuk bergerak-gerak. Tak ada yang sempat meninggalkan bekas. Lolong itu sudah seperti rutin. Dan melodi dan kata-katanya, tak terasa ada gerak yang tulus, yang melahirkan nyanyian murni. Perasaan itu adalah perasaan dari plastik. Mungkin itulah soalnya: kita tak lagi mendengar perasaan pribadi yang jujur. Yang kita dengar adalah pengulangan. Yang kita dengar adalah klise. Yang kita dengar bukanlah cetusan dari sebuah rasa terharu yang sebenarnya, melainkan sesuatu yang sudah dirumuskan, dan diharuskan, atau dipetuahkan, oleh bapak produser, pejabat, cukong, kritikus, wartawan, pialang, dan sebagainya. Ini, sudah tentu, bukan sebuah gejala baru di Indonesia. Ketika PKI masih berpengaruh, sama seperti ketika uang sangat berpengaruh, ekspresi bisa diperintah atau bisa dipesan. Ketidakjujuran adalah isyarat ketidakbebasan hati. Kalimat klise adalah topeng bagi mereka yang takut berkepribadian. Dan topeng selalu berkaitan dengan semacam kepalsuan. Maka, jangan heran bila di situ (di kaset dan pidato-pidato kita) kata yang bersemangat tentang revolusi atau pembangunan pun bisa sama plastiknya dengan kata yang lain. Tapi Anda mungkin ingat Sepasang Mata Bola. Saya pernah bertanya kenapa lagu ini tetap menyentuh kita. Seorang teman menjawab: karena nyanyian itu ditulis tanpa pretensi. Dalam ekspresi yang tanpa dipesan dari luar, nyanyian yang mengungkapkan perasaan pribadi bisa bergetar sekuat nyanyian revolusi. Memang: 40 tahun yang lalu itu, ketika lagu itu diciptakan, orang benar-benar sedang berjuang. Bukannya sedang meyakin-yakinkan diri bahwa ia sedang berjuang. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini