Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kibang-kibut di Rawa Gambut

Proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah berubah menjadi perkebunan sawit. Pemerintah tak belajar dari kesalahan sebelumnya.

3 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEPATAH “keledai tidak akan jatuh dua kali ke lubang yang sama” tampaknya tak berlaku untuk proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah. Alih-alih belajar dari kegagalan di masa lalu, pemerintah justru kembali mengulangi kesalahan dengan mengalihfungsikan lahan gambut menjadi area pertanian yang rentan gagal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasil investigasi Pantau Gambut, organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu lingkungan, mengungkapkan bahwa lebih dari 270 hektare area lumbung pangan di Kalimantan Tengah telah berubah menjadi kebun sawit. Kebun tersebut tersebar di desa-desa seperti Tajepan, Penda Katapi, Palingkau Jaya, dan Palingkau Asri, Kabupaten Kapuas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kawasan sawit itu berada di area hutan yang—menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—seharusnya digunakan untuk proyek lumbung pangan. Namun PT Wira Usahatama Lestari mengantongi izin hak guna usaha (HGU) untuk menanam sawit di lahan tersebut.

Bila perusahaan memperoleh HGU sebelum penetapan lahan lumbung pangan, ini menunjukkan lemahnya koordinasi dan perencanaan pemerintah dalam menentukan kawasan proyek. Sebaliknya, bila izin HGU dikeluarkan setelah penetapan lahan, ini adalah bentuk pelanggaran aturan oleh perusahaan. Kedua kemungkinan ini sama-sama menunjukkan adanya masalah serius dalam pelaksanaan proyek.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan bahkan telah memberikan “rapor merah” bagi proyek ini. Dalam audit tahun 2020-2021, BPK mencatat proyek bernilai triliunan rupiah tersebut tidak didasarkan pada data dan informasi yang valid, pelaksanaannya tidak sesuai dengan perencanaan, pengawasannya minim, serta pengadaan alat pertaniannya menyimpang dari prosedur yang benar.

Selain itu, Pantau Gambut melaporkan bahwa proyek lumbung pangan telah menyebabkan kerusakan lebih dari 2.000 hektare hutan gambut yang merupakan habitat satwa langka seperti orang utan dan bekantan. Ironisnya, lebih dari 4.000 hektare area lumbung pangan yang dibuka empat tahun lalu kini terbengkalai. Lahan gambutnya mengering dan beberapa titik bahkan masuk area kebakaran hutan pada 2023.

Temuan BPK dan Pantau Gambut memperjelas bahwa kebijakan lumbung pangan di Kalimantan Tengah bermasalah dan berpotensi gagal. Proyek ini tampak dilakukan tergesa-gesa, mirip dengan proyek serupa yang gagal di era Soeharto. Presiden Joko Widodo memaksakan proyek tersebut dengan dalih ketahanan pangan di tengah masa pandemi Covid-19.

Kini, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, proyek lumbung pangan ini seharusnya dihentikan. Prabowo boleh saja mengusung agenda swasembada pangan, tapi jangan sampai merusak hutan dan lahan gambut. Untuk mencapai swasembada yang berkelanjutan, pemerintah semestinya berfokus pada intensifikasi melalui teknologi pertanian yang lebih ramah lingkungan.

Langkah penting lain adalah memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang terbukti merambah area lumbung pangan untuk menanam sawit. Hanya dengan pendekatan yang tegas dan berkelanjutan, pemerintah dapat membangun ketahanan pangan tanpa harus jatuh ke lubang yang sama di masa mendatang. Bila keledai saja bisa belajar dari kesalahan, masak pemerintah tidak bisa?

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus