Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANDANGAN umum bahwa bahasa hanya menjadi ciri khas manusia telah goyah. Bahasa pada dasarnya alat komunikasi. Bila tumbuhan bisa berkomunikasi, mereka juga punya bahasa. Tentu bahasa di sini dalam pengertian luas, bukan sebatas bahasa lisan dan tulisan yang kita kenal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah penelitian belakangan menunjukkan bahwa organisme hidup seperti tumbuhan bisa berkomunikasi dalam berbagai cara. Günther Witzany dan František Baluška (2012) menyebutnya sebagai biokomunikasi—komunikasi di dalam dan antar-tumbuhan, binatang, bakteri, dan bahkan sel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perilaku komunikasi tumbuhan yang populer adalah bagaimana tumbuhan mengubah warna, posisi, dan bentuknya untuk “beriklan” agar serangga-serangga datang menyerbuki mereka. Sejauh ini, lebih dari 450 spesies tanaman diketahui melakukan itu.
Laporan Pat Willmer dkk di jurnal Current Biology pada 2009 menemukan bahwa Desmodium setigerum, tumbuhan semak yang sering dijadikan obat tradisional, jago memikat serangga penyerbuk. Tumbuhan itu memamerkan bunganya yang berwarna menarik agar diserbuki serangga dan mengubahnya menjadi putih yang kurang menarik sehingga serangga lain akan berkunjung ke bunga lain yang masih semlohay.
Anda mungkin pernah melihat tumbuhan “berbicara” tapi kita tak menyadarinya atau malah abai. Dalam The Hidden Life of Trees: What They Feel, How They Communicate (2016), Peter Wohlleben, rimbawan Jerman yang selama puluhan tahun mengamati pohon-pohon di hutan dekat Desa Hümmel, kampung halamannya, memaparkan bagaimana pohon “berbicara”, “menghidu”, dan “merasa”.
Wohlleben mencontohkan perilaku akasia di Afrika. Jika jerapah mulai memakan daunnya, pohon itu melepaskan gas etilena ke udara sebagai peringatan. Akasia lain yang menciumnya akan mulai memompa tanin ke daunnya dalam jumlah cukup banyak sehingga membuat daun terasa pahit dan bahkan bisa membunuh beberapa jenis herbivora tertentu. Ini cara antisipasi akasia agar jerapah tidak memakan daunnya.
Tanaman pun bisa bersuara. Itzhak Khait, peneliti di Tel Aviv University, Israel, dan rekan-rekannya melaporkan hasil penelitian tentang bahasa tumbuhan di jurnal Cell pada 2023. Mereka merekam suara ultrasonik tanaman tomat dan tembakau di ruang akustik. Tanaman yang dibikin kekeringan atau dipotong akan “berteriak” rata-rata satu setengah kali lebih banyak daripada tanaman yang tak mendapat perlakuan tersebut. Sebaliknya, tanaman yang baik-baik saja hanya bersuara sedikit atau malah diam.
Temuan Monica Gagliano bahkan menunjukkan bahwa tanaman ternyata bisa belajar. Daun-daun putri malu akan menutup bila ada ancaman, seperti sentuhan manusia. Dalam Thus Spoke the Plant (2018), ahli ekologi di University of Western Australia itu mengisahkan eksperimennya saat menjatuhkan putri malu dari ketinggian 15 sentimeter untuk menciptakan efek ancaman.
Tumbuhan itu dijatuhkan 60 kali dengan jeda lima detik. Seperti ia perkirakan, semua tumbuhan menguncup saat dijatuhkan. Namun, pada kejatuhan keempat-kelima, daun-daunnya tetap membuka, seolah-olah tak ada ancaman. Saat keesokan harinya eksperimen diulang, tumbuhan itu ternyata tetap membuka sejak kejatuhan pertama.
Tumbuhan jelas tak punya otak. Lantas, bagaimana putri malu bisa mengingat dan belajar? “Saya merasa sangat naif dan, pada saat yang sama, sangat picik tentang fakta bahwa keyakinan dan persepsi saya tentang dunia telah diwarnai oleh bias antroposentrisme yang sudah lama ada, meskipun pengalaman menakjubkan yang saya dapat telah mengajari saya sebaliknya,” tulis Gagliano.
Ketika menulis baris “Dan di sungai bunga-bunga berdaun panjang menangis” dalam puisi “The Lotus-Eaters”, Alfred Lord Tennyson memakai bunga yang menangis itu sebagai metafora. Kini kita tahu bahwa bunga memang bisa menangis, tapi telinga manusia terlalu budek untuk bisa mendengarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bahasa Pohon"