Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah berniat menyelamatkan Sritex dari kepailitan.
Pemberian bailout berisiko korupsi.
Pemerintah bisa menjembatani pendanaan murah hingga masuknya investor baru.
Presiden Prabowo Subianto harus berhati-hati dalam menjalankan rencana penyelamatan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex yang kini terjerat kepailitan. Opsi penyelamatan berupa pemberian dana talangan atau bailout dari anggaran negara seharusnya dihindari lantaran rawan membenamkan pemerintah dalam konflik kepentingan hingga korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sritex, salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia, mendapat vonis pailit dari Pengadilan Niaga Semarang pada 24 Oktober 2024. Pengadilan menyatakan Sritex beserta anak-anak usahanya, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, lalai memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT Indo Bharat Rayon selaku pemasok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikabulkannya gugatan kepailitan yang dilayangkan Indo Bharat Rayon membatalkan upaya perdamaian atau homologasi antara Sritex dan para kreditornya dalam skema penundaan kewajiban pembayaran utang yang berjalan sejak 2022. Agar kepailitan tak berkembang menjadi kebangkrutan, diperlukan upaya keras untuk menyelesaikan persoalan utang senilai total US$ 1,6 miliar atau sekitar Rp 25,01 triliun hingga mengembalikan aktivitas produksi Sritex seperti sediakala.
Di satu sisi, pemerintah perlu turun tangan menyelamatkan Sritex, mengingat kolapsnya perusahaan ini bakal menimbulkan dampak sosial yang sangat besar. Sebagai gambaran, jumlah total karyawan Sritex Group mencapai 50 ribu orang yang tersebar di beberapa wilayah di Jawa Tengah, yaitu Sukoharjo, Semarang, dan Boyolali. Angka ini setara dengan 1,35 persen penduduk di tiga wilayah tersebut. Akan ada persoalan ekonomi dan sosial baru apabila mereka semua kehilangan pekerjaan secara mendadak.
Tapi penyelamatan Sritex bukan proses yang sederhana. Pemerintah tak bisa begitu saja mengucurkan dana talangan atau mengambil alih saham dengan alasan industri perusahaan itu strategis. Pemberian dana talangan, selain menghamburkan uang negara, berisiko gagal menyelamatkan Sritex mengingat ada potensi moral hazard seperti korupsi, baik oleh pejabat pemerintah maupun manajemen perusahaan. Rencana alih kelola Sritex juga konyol lantaran pemerintah tak mampu mengelola industri tekstil. Buktinya, semua badan usaha milik negara di bidang tekstil bangkrut karena salah urus.
Pemerintah harus mengkaji semua aspek, dari penyebab ambruknya keuangan Sritex hingga resep yang tepat untuk memulihkannya. Ada sejumlah opsi yang bisa ditempuh. Misalnya, apabila sudah ada putusan hukum yang membatalkan kepailitan, pemerintah bisa membantu mencarikan fasilitas pinjaman murah untuk membayar utang dan modal kerja Sritex. Bridging loan atau pinjaman jangka pendek dari lembaga keuangan bisa menjadi solusi yang lebih baik ketimbang bailout dari anggaran negara. Selama proses pemulihan, pemerintah bisa ikut mengawasi pengelolaan Sritex.
Pemerintah juga bisa menjembatani masuknya pemodal baru. Dengan utilisasi produksi yang masih di atas 60 persen serta pasar yang besar di dalam dan luar negeri, rasanya Sritex masih menarik jika ditawarkan kepada investor. Namun, yang lebih penting, pemerintah harus menciptakan ekosistem industri tekstil yang kondusif. Jangan ulangi kesalahan di masa pemerintahan sebelumnya, ketika muncul banyak regulasi yang membebani pelaku industri dan merusak pasar tekstil dalam negeri.