KEBENARAN itu seperti seekor cicak. Pada musim gugur 1883, orang yang mengatakan itu, Ivan Turgenev, meninggal. Jenazahnya diangkut dari setasiun Gare de l'Est di Kota Paris, untuk dibawa, dengan kereta api, ke St. Petersburg, di Rusia. Ada upacara melepas, ada juga upacara menyambut, ketika tubuh Turgenev datang. Ia memang seorang tokoh besar dalam kesusastraan Rus, juga seorang tokoh besar Eropa. Tapi tokoh besar sering membingungkan. Itu tampak ketika jenazah hampir datang, dan sebuah prosesi pemakaman disiapkan. Waktu itu, zaman memang sedang rusuh. Dua tahun sebelumnya, aksi teror meletup di sana-sini, dan puncaknya terjadi ketika Baginda Tsar Aleksander II terbunuh. Para pemimpin gerakan kekerasan di bawah tanah itu memang telah tertangkap, dan telah digantung atau dibuang ke Siberia yang dingin, tapi diduga suasana belum reda. Di kalangan mahasiswa, dan inteligensia umumnya, suhu masih tinggi. Pemerintah masih waswas. Maka, di hari itu, para pejabat pun takut kalau-kalau iringan penguburan Ivan Turgenev akan berubah jadi sebuah demonstrasi politik. Surat kabar menerima edaran dari Kementerian Dalam Negeri, agar hanya memuat informasi resmi tentang upacara yang akan berlangsung. Instruksi lain: baik kantor kota praja mau pun organisasi-organisasi buruh tak diperkenankan membubuhkan identitas mereka pada karangan kembang yang mereka kirimkan ke makam. Sebuah pertemuan sastra, yang akan menghadirkan Novelis Leo Tolstoi -- untuk berbicara tentang Turgenev, teman serta rivalnya itu -- dibatalkan. Sebegitu berbahayakah Ivan Turgenev? Seorang musuh kekuasaan yang ada, penganjur sebuah revolusi? Anehnya, bukan. Isaiah Berlin, yang menulis sebuah buku tentang para pemikir Rusia sebelum Revolusi Oktober, menyimpulkan bahwa Turgenev, menurut pembawaannya, bukan orang yang cenderung senang politik. Alam, hubungan pribadi, lembut dan dalamnya rasa -- itulah yang paling ia pahami. Seorang Prancis menyebutnya sebagai "si raksasa manis", le doux geant. Tubuh Rusnya besar, tapi ia halus dan enak diajak bicara. Prosa lirisnya terkenal indah, dan isinya tak mengerikan: umumnya, konon, tentang rumah-rumah di pedalaman dan telaga jernih yang berbayang-bayang. Tapi seorang tokoh memang bisa membingungkan, dan sebuah tulisan -- novel ataupun bukan -- sering seperti sebatang air kali yang mengalir, yang bisa ditepuk dengan pelbagai ragam tangan, dan mengeluarkan pelbagai ragam bunyi. Terutama karya Turgenev. Terutama serangkaian prosa yang ingin tulus, tapi ditulis di dalam sebua zaman yang rusuh, ketika Rusia mulai berangkat, dengan seret, ke akhir abad ke-19. Satu tipe orang Rusia yang baru pun mendapatkan genesisnya dari zaman itu, hadir dan gelisah -- mereka yang disebut "manusia kelebihan". Mereka adalah tokoh dalam sebuah sastra protes. Merekalah anggota minoritas kecil yang berpendidikan dan punya kepekaan moral, dan tak bisa menemukan tempatnya di wilayah asal. Mereka malu atau marah menyaksikan kesengsaraa dalam sistem di sekitar mereka yang dekat: penindasan atas petani miskin. Tapi juga di hadapan kejahiliahan itu, mereka tak berdaya. Turgenev juga seorang "manusia kelebihan". Satu bagian dari ceritanya, Sang Brigadir, konon berdasarkan pengalaman yang didapatnya dari neneknya sendiri: seorang aristokrat pemilik tanah memukul seorang sahayanya hingga luka dan jatuh. Jengkel melihat keadaan itu, sang nyonya membungkam si bocah dengan bantal, dan si boca mati. Tak mengherankan jika, dengan semangat melawan kesewenang-wenangan seperti itu, Turgenev suat saat membantah Tolstoi yang mengecam kotornya polemik politik dalam sastra. Benar, katanya, itu kotor, berdebu, vulger. Tapi ada kotoran dan debu di jalan-jalan, kata Turgenev, dan kita toh harus hidup dengan melintasi jalan-jalan itu. Revolusioner? Tidak. Kemauan menempuh debu bagi Turgenev tak disertai dengan temperamen yang cukup untuk militan. Militansi membutuhkan beberapa anasir kepekatan hati untuk fanatik dan kesiapan pikiran untuk menyederhanakan soal. Turgenev, seperti tokohnya yang tragis dalam Tanah Perawan, Nezhdanov, tak mampu "menyederhanakan dirinya sendiri". Ide besar baginya terasa mengasingkan manusia dari kenyataan yang muskil dan cerai-berai. Doktrin apa pun baginya tak bisa dibuat mutlak. Kebenaran itu ibarat cicak, tulisnya kepada Tolstoi. Yang kita tangkap selalu cuma ekornya, yang menggelepar seperti hidup -- sementara cicak itu sendiri lepas. Memang membingungkan bagaimana terhadap orang seperti dia sebuah pemerintah perlu sangat berhati-hati -- bahkan sampai saat ia diantarkan ke liang lahad. Tapi itu memang bukan salah Ivan Turgenev. Zaman sedang rusuh dan seluruh aparat Tsar sudah tak bisa membedakan, mana deru dan mana debu. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini