NAMA Samad Solbai kini tercatat dalam daftar penemu dunia. Ilmuwan Malaysia yang ayahnya berasal dari Demak dan ibunya dari Pati, Jawa Tengah, itu telah berhasil menemukan High Perforsance Polyethylene (HPPE): sejenis plastik yang memiliki kekuatan 10 kali lipat dibanding serat baja. September ini, Samad, 36 tahun, akan mempertahankan disertasinya mengenai HPPE tersebut, guna memperoleh gelar doktor di Universitas Cambridge, Inggris. Penemuan Samad itu sebetulnya terjadi pada 1986, melalui riset selama 2,5 tahun di Universitas Cambridge. Sarjana Materials Engineering dari Universitas Monash, Australia, itu mula-mula ingin memahami bagaimana bahan yang disebut polyethylene itu bisa kuat. "Sebelumnya memang banyak ahli sains lain yang meneliti masalah ini, tapi yang mereka hasilkan ternyata melalui keadaan yang agak berliku-liku prosesnya," ujar Samad. Setelah memahami masalahnya, mulailah Samad memikirkan cara mengadopsi proses itu. "Akhirnya saya berjaya menghasilkan suatu proses, yaitu pembuatan serat tanpa sama sekali menggunakan acuan (cetakan)," kata Samad. Ia menganggap penemuannya suatu fenomena sains, meski mengakui bahwa kaidah-kaidah baru yang ditemukannya tadi hanya mengubah sedikit yang sudah ada, bukan suatu revolusi penemuan baru di bidang plastik. Plastik, dalam pengertian ini, bukan plastik yang kita kenal sebagai bahan pembuat alat-alat rumah tangga, tapi bisa disebut "superplastik". Ia muncul sebagai akibat wawasan fundamental mengenai sifat materi. Pijakannya adalah fisika monomer yaitu kelompok-kelompok kecil molekul yang dapat dirangkaikan dan disebut polimer. Istilah plastik itu sendiri biasanya mengacu pada campuran satu polimer atau lebih dengan material lain, dengan hasil yang cukup lentur untuk dimanfaatkan. Dalam dasawarsa terakhir ini, riset mengenai plastik mengalami kemajuan yang luar biasa. Antara lain telah ditemukan superplastik yang diberi nama udel, yang dapat bertahan dalam suhu 149C dan memiliki kekuatan tegangan sekitar 4.524 kg per inci persegi. Si udel ini dengan mudah dapat disisipkan ke dalam kaca, baja antikarat, dan nikel. Saat ini udel dipakai luas untuk berbagai hal, dari peralatan kesehatan sampai helm para astronaut. Sasaran utama riset adalah bagaimana membuat plastik yang murah ini bisa lebih tahan tegangan dan suhu tinggi, sehingga bisa menggantikan logam. Dalam kaitan ini, ditemukan kevlar, bahan yang lima kali lebih kuat dari baja, dan kini secara luas dipakai untuk membuat rompi antipeluru. Plastik penemuan Samad dengan begitu dua kali lebih kuat dibanding kevlar. Dalam unit sains, ketahanan HPPE ialah 3,0 GPa (Giga Pascal) atau 3,0 juta Newton bagi setiap meter kubik (m3). Sedang ketahanan kevlar 3,3 GPa, dengan modulus 130 GPa. Sementara modulus HPPE 100 GPa, HPPE juga lebih ringan karena terbuat dari polyethylene. Selain itu, harganya jauh lebih miring karena bahan bakunya murah, lagi pula pemrosesannya tidak rumit. Cuma, ketasanannya terhadap panas memang lebih rendah. Kevlar sanggup menghadapi suhu sampai 200 C, sedang HPPE cuma tahan sampai 120C. Samad menggambarkan penemuannya dengan mengambil kantung plastik -- yang dibuat dari bahan yang serupa untuk HPPE -- sebagai contoh. Jika kantung ini dicabik lalu ditarik panjang, cabikan ini akan lebih kuat dari kantung plastik itu. Kantung itu mempunyai berat molekul yang agak rendah, hingga mudah ditarik. Sedang cablkan yang sudah ditarik itu mempunyai berat molekul yang lebih tinggi. "Maka, molekulnya kusut," tutur Samad. Berdasarkan teori "kekusutan molekul" itu, Samad mengolah polimer yang mempunyai molekul-molekul panjang itu. Dengan suatu proses, molekul-molekul itu diorientasikan ke satu arah.Jika sudah satu arah -- yang bisa diketahui melalui analisa X-ray defrartion bahan itu akan menjadi lebih kuat. Proses yang dilakukan Samad itu sebagai berikut. Mula-mula bahan-bahan dasar untuk membuat plastik berbentuk bubuk dilarutkan, kemudian dijadikan serat, tanpa harus menggunakan cetakan. Setelah dikeringkan, serat itu ditarik dalam oven dengan suhu sekitar 130C, sehingga akan menghasilkan serat, yang 30 kali lipat panjangnya dibanding sebelum dipanaskan. "Tiga puluh kali lipat ini panjang minimum," kata Samad. "Akibat proses pemanjangan tersebut molekul-molekulnya menjadi kusut. Dalam kedaan kusut, serat lantas direndam dalam larutan, sehingga sesudahnya mudah diatur untuk disamakan arahnya." Proses ini, telah diyakini Samad, bisa menghasilkan bahan plastik baru yang liat. Belum semua kalangan ilmuwan sependapat dengan Samad, memang. Persoalannya apakah benar ada proses molekul menjadi kusut. Tidak ada alat yang bisa digunakan untuk membuktikan molekul itu bagaimana -- apalagi kusut itu seperti apa. Ini diakui pula oleh Samad. "Kita tidak tahu, molekul kusut itu bagaimana," ujarnya. Dalam kondisi seperti itu, ada semacam konvensi di antara ilmuwan untuk mendapatkan bukti dari informasi yang tidak harus gamblang dan jelas. Pada prinsipnya, HPPE bisa diproduksi dalam bentuk bahan keras -- seperti fibreglass. "Tapi untuk sekarang ini hanya dihasilkan dalam bentuk serat saja," tutur Samad. Karena masih berbentuk serat itu, "ia hanya dimanfaatkan sebagai reinforcement material. Untuk dijadikan bahan kain." Lebih dari itu, pembuatan serat tanpa cetakan tersebut baru dilakukan di laboratorium saja. "Belum lagi dipikirkan untuk pengomersialan HPPE dengan memproduksinya secara besar-besaran di pabrik." HPPE ini memang masih dalam taraf pengembangan lebih lanjut. Samad -- yang sehari-harinya menjadi dosen tetap di Fakultas Rekayasa Mekanis Universiti Teknologi Malaysia memperkirakan, baru tiga atau empat tahun lagi penemuannya itu bisa dianggap sempurna. Mohamad Cholid Laporan E.H.Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini