Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bedol desa jaket kuning

Presiden soeharto akan meresmikan kampus baru ui di depok. biaya pembangunannya rp 50 milyar. ada yang untung, ada yang mengeluh. kini jauh dari pusat kegiatan politik, tapi berlingkungan lebih segar.

5 September 1987 | 00.00 WIB

Bedol desa jaket kuning
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SELAMAT tinggal, Rawamangun. Ada umbul-umbul, ada bazar, ada pembacaan puisi. Ada lawak dan nyanyi. Itulah sebuah pesta perpisahan oleh mahasiswa, dosen, karyawan Universitas Indonesia di kampus UI Rawamangun, Minggu yang lalu. Kampus UI kedua setelah Salemba, yang 34 tahun lalu diresmikan oleh Presiden Soekarno, ini akan segera melompong. Sabtu pekan ini, UI -- baik Salemba maupun Rawamangun -- resmi bersatu di kampus Depok. Menurut rencana, Presiden Soeharto akan memberikan pidato pada peresmian kampus baru yang telah menghabiskan Rp 50 milyar itu. "Meninggalkan rumah lama selalu berat. Tapi saya bangga UI punya kampus di Depok," komentar Niniek L. Karim, bintang film dan dosen psikologi. Tapi bukan hanya berat dan bangga. Pindahnya kampus ke batas kota -- 25 km dari kampus Salemba -- bagi sebagian besar warga UI juga berarti berubahnya gaya hidup. Lihatlah Irfahmi Syawir, mahasiswa Jurusan Sejarah, yang tinggal di Asrama UI Daksinapati, di lingkungan kampus Rawamangun. Mahasiswa angkatan 1983 itu pergi dan pulang kuliah selama ini boleh dikata tinggal melangkah. Tapi Selasa petang pekan lalu, ia tampak-berdiri di antara kerumunan mereka yang menunggu Kereta Rel Listrik (KRL) Bogor-Jakarta, di halte baru Depok bernama "UI + 69,056". Lalu, mahasiswa asal Padang, Sumatera Barat, ini bercerita. Di asrama air mandi baru ngocor pukul 5 pagi, maka mahasiswa berebut mandi. Mereka berlomba dengan waktu. Kini mereka percaya benar semboyan bahwa waktu adalah uang. Soalnya, bila mereka siap lebih pagi, bisa menghemat ongkos ke Depok. "Karena cukup naik bis sekali," kata Syawir. Bila kesiangan, masih bisa juga naik bis, tapi itu berarti terlambat -- jalan macet, untuk sampai di UI makan waktu dua jam. Untuk mengejar waktu, anak-anak Daksinapati naik KRL ke kampus baru. Itu artinya ada pengeluaran ekstra, pulang-pergi Rp 600. Ini menjadi semboyan nomor dua: biar mahal asal tak telat. Persoalan Syawir adalah persoalan ratusan mahasiswa penghuni asrama. Baik di Daksinapati maupun di asrama putri Wisma Rini di Jakarta Timur. Bagi mahasiswa yang tidak tinggal di asrama dan pergi kuliah dengan kendaraan umum, untung-rugi kampus baru tergantung lokasi tempat tinggal mereka. Bila mereka tinggal di rute bis ke Depok, apalagi yang dekat dengan halte KRL Bogor-Jakarta, beruntung: perjalanan bisa murah. Tapi, memang ada yang sulit dicarikan pemecahan, yakni soal makan siang. Di kampus Rawamangun warung-warung kaki lima memang murah, "sekali makan hanya Rp 500," kata Syawir. Di Depok, minimal sekali mengisi perut Rp 1.000. Untungnya lagi, di kampus lama bagi mahasiswa yang weselnya telat bisa ngebon ke warung-warung itu. Bagi staf pengajar, persoalannya tak jauh beda dengan mahasiswa. Meutia Farida Swasono, putri Proklamator Bung Hatta, yang tinggal di perumahan dosen Rawamangun. Dulu, Meutia tinggal jalan kaki ke tempatnya mengajar. Bila ada waktu luang, ia bisa pulang sejenak menjenguk anaknya, Fikar, 5 tahun, sambil makan siang. Sekarang, "Saya harus berangkat pukul setengah tujuh, diantar sopir ke Depok," kata Ketua Jurusan Antropologi FISIP UI ini. Tapi pulangnya ia naik KRL, karena tak mau mengganggu mobil dan sopir "dari suami". Adapun Ketua Jurusan Kimia FMIPA, Endang Asijati, belum bisa membayangkan repotnya pergi ke kampus baru. Ia, tinggal di asrama Wisma Rini -- hanya 5 km dari kampus Salemba tempatnya mengajar, dan praktis 24 jam ada kendaraan umum -- selama ini tak pernah repot. Yang bisa dibayangkannya baru soal makan siang. Mungkin tak banyak yang tahu, di Jurusan Kimia ada semacam arisan makan siang. Yang mendapat arisan bertugas membawa lauk ke kantor, sementara nasi ditanak di Jurusan. "Ini cara berhemat, dan cara kami mengakrabkan diri," tutur Endang. Ada yang merasa kampus pindah atau tak pindah sama saja. Itulah Purnadi Purbacaraka, 58 tahun, dosen di FH UI, yang tinggal di Jalan Kenari, dekat kampus Salemba. Bapak enam anak yang sederhana ini sudah tahu pasti bagaimana kini ia harus pergi bekerja. Jalan kaki dari rumah ke halte KRL di Cikini, atau "Kalau lagi capek, naik bajaj Rp 500," katanya. Mungkin Purnadi tergolong dosen yang dekat dengan mahasiswa. Karena itu, ia melihat naik KRL justru ada untungnya. Coba dengarkan cita-cita ini. "Naik KRL ramai-ramai dengan mahasiswa, 'kan senang. Diskusi di ruang kuliah bisa diteruskan di kereta," katanya. Bagaimanapun ada yang untung. Umpamanya Sapardi Djoko Damono, dosen Fakultas Sastra, yang juga seorang penyair. "Sekarang saya ke kampus hanya perlu 7 menit. Dulu dua jam," katanya. Dan itu bukan karena kumpulan puisinya, Sihir Hujan, yang mendapatkan hadiah dari Malaysia beberapa lama lalu, membuat dia benar-benar jadi ahli sihir. Itu karena sejak 1979 ia berumah di Perumnas Depok Utara, cuma sekitar 3 km di selatan kampus baru. Kini Sapardi, yang sedang menyiapkan disertasi, rajin ke kampus. "Selagi orang belum datang, dan kampus sepi, saya sudah melakukan kegiatan di kamar saya. Entah itu mengetik, membaca, atau apa saja. Pokoknya, giat." Saat makan siang ia pulang, lalu balik lagi ke kantor. Pokoknya, rajin. Bila ia kerasan di kampus karena Sapardi bisa mempunyai ruangan sendiri. Bukan karena ia penyair hingga perlu bersendiri, tapi rekan dosennya punya jabatan, dan karena itu punya ruangan di lain kamar. Soal ruang dosen itulah yang jadi keprihatinan sejumlah dosen. Ternyata, di kampus yang luas ini pun, ruang dosen masih kolektif juga, meski lebih luas. Padahal, ruang sendiri, yang memungkinkan dosen bisa membaca, menulis, atau memberikan konsultasi kepada mahasiswa, penting. Menurut Onghokham, ruang dosen seperti itu akan "membuat komunikasi dengan mahasiswa bisa lebih akrab." Sebagaimana diharapkan oleh Rektor UI (lihat Kamera), kini di perkampungan sekeliling kampus baru tumbuh bisnis baru. Yakni pondokan mahasiswa. Ada bentuk rumah petak, terdiri 6 kamar a 3 x 3 meter. Umpamanya yang ditempati Darmoko, mahasiswa Fakultas Sastra. Tarifnya, satu kamar Rp 40.000 per bulan, boleh dipikul dua orang. Tapi ada juga yang cukup mewah, sebuah rumah dengan luas tanah seluruhnya 700 m2, ditawarkan Rp 2,4 juta setahun. Bisa dengan makan dan cuci plus setrika, per orang Rp 45.000 sebulan. Dan Arya Subiyakto, mahasiswa FISIP, bersama tujuh temannya, telah memberikan uang panjar. Dengan kata lain, UI di Depok tetap memasyarakat. Memang, berada di perbatasan wilayah, jadinya jauh dengan pusat kegiatan politik. Dalam hal inilah ada yang agak keberatan dengan pindahnya UI. Juwono Sudarsono, Ketua Jurusan Hubungan Internasional FISIP, misalnya, sebenarnya "lebih suka kampus di tengah kota." Tapi kata Harsja Bachtiar, dosen di Fakultas Sastra yang merangkap di Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departeman P & K, "nanti, setelah berjalan, lama-lama pasti biasa juga." Maksudnya, kegiatan sebagaimana di kampus lama akan tumbuh juga di kampus baru. Mungkin mahasiswa malah lebih giat, bila kebebasan kampus pun dipersegar sebagaimana udara Depok yang lebih bersih daripada di tengah Jakarta. Putu Sutia & Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus