Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Cindy Adams kita bisa menyaksikan multi-wajah Sukarno. Dalam biografi yang disusun pada 1961-1964, jurnalis Amerika Serikat itu mampu membuka figur sang Proklamator sebagai seorang pejuang revolusi, nasionalis tulen, orator, juru runding tangguh, pemimpin yang akhirnya memutar balik demokrasi, sekaligus pria yang obsesif kepada perempuan elok.
Cindy menulis Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, yang kemudian diterjemahkan menjadi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, di tengah tekanan Barat kepada Sukarno sejak awal 1960-an. "Pemimpin Besar Revolusi" itu dianggap tidak bersahabat dengan Barat dan terlalu dekat dengan blok komunis.
Saat itu Sukarno merasa pers di Amerika Serikat dan sekutunya terus-menerus memojokkannya, antara lain dengan menulisnya sebagai "pengejar cinta". Ia pernah memprotes Presiden John F. Kennedy soal ini: "Tuan dapat merusakkan hubungan dengan negara-negara lain dengan membiarkan ejekan, serangan, makian, dan mengizinkan kritik-kritik secara tetap terhadap pemimpin mereka dalam pers Tuan."
Maka pemilihan Cindy juga bisa dilihat sebagai upaya diplomatis Sukarno: ia perlu penulis dari Barat untuk melawan propaganda dari negara asalnya. Bukan kebetulan jika Cindy bukanlah jurnalis yang menulis artikel-artikel politik, melainkan penulis kolom gosip di koran tempatnya bekerja, The New York Post.
Kepada Cindy, Sukarno menyatakan bertahun-tahun menolak gagasan menulis biografi. Ia bahkan pernah mendamprat sekretaris pers Rochmuljati Hamzah, yang menyampaikan permintaan jurnalis CBS untuk menulis riwayat hidupnya. Sukarno pun menolak permintaan yang sama dari Howard Jones, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta yang—menariknya—juga menjadi sahabatnya.
Dalam pandangan Sukarno, biografinya harus merupakan gabungan dari "yang baik-baik untuk menenangkan egoku" sekaligus "memasukkan yang jelek-jelek agar orang mau membeli bukuku". Ia tidak mau biografinya ditulis "orang yang merasa besar" karena "karyanya akan menjadi subyektif".
Pendirian Sukarno berubah ketika melihat Cindy, yang berada di Jakarta dalam rombongan misi kesenian Presiden Kennedy pada 1961 pimpinan suaminya, pelawak Joey Adams. Ia terpukau oleh Cindy yang "riang, rapi, dan suka berkelakar". Wawancara dengan Cindy, menurut Sukarno, "menyenangkan sekali dan tidak menyakitkan hati". Bung Besar kemudian menyampaikan kepada Howard ÂJones: ia bersedia dituliskan biografinya hanya bila dilakukan oleh Cindy Adams.
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia pun menjadi satu-satunya otobiografi Sukarno. Buku ini menjadi rujukan utama tentang seorang pejuang anti-penindasan, yang kemudian menjadi pemimpin dan menahbiskan diri sebagai "Presiden Seumur Hidup". Di sinilah peran penting Cindy Adams dalam penulisan sejarah Indonesia, yaitu menulis Sukarno dari penuturan Sukarno sendiri.
Tak ada yang membantah: Sukarno merupakan tokoh terpenting dalam pendirian Republik. Meski Orde Baru berusaha membuang pengaruhnya—antara lain dengan hanya mengizinkan jenazahnya dimakamkan di Blitar, Jawa Timur, bukan di halaman rumahnya di Batutulis, Bogor, sesuai dengan keinginan terakhirnya—Sukarno akan selalu menjadi ikon revolusi. Fotonya dipajang di dinding banyak rumah. Posternya ditempel bersebelahan dengan Che Guevara, Bob Marley, juga Iwan Fals. Gambar besarnya dipajang dan diarak lima tahun sekali, setidaknya oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, untuk mendulang suara.
Di sisi lain, Sukarno juga membuat banyak kesalahan dalam sejarah Republik. Satu hal yang harus disebut: ia membubarkan Konstituante dengan bantuan militer untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit 1959. Padahal lembaga itu hampir menyelesaikan tugasnya menyusun konstitusi yang lebih komprehensif. Kekeliruannya semakin fatal ketika ia membentuk Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat tanpa melalui pemilihan umum. Sukarno membunuh demokrasi dalam usia sangat muda.
Karena itu, harus pula ditegaskan bahwa buku yang ditulis Cindy Adams hanya merupakan satu versi dari sekian banyak dimensi Sukarno. Gambaran utuh tentang "Putra Sang Fajar" harus tetap dicari dari pelbagai referensi lain, termasuk arsip-arsip di Belanda dan Jepang—yang bergantian menduduki Indonesia—juga negara-negara lain, seperti Amerika Serikat.
Cindy berhasil menempatkan Sukarno sesuai dengan keinginan "Putra Sang Fajar". Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, kata sang Presiden, "tidak ditulis untuk mendapatkan simpati", tapi "agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo