Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM sampai dua tahun masa pontifikasinya, Paus Fransiskus memberi kejutan besar dalam pidato pra-Natalnya di Vatikan, Senin pekan lalu. Berbicara di depan jajaran uskup dan kardinal di sebuah balai abad ke-16 di Istana Apostolik, pemimpin tertinggi sekitar 1,2 miliar orang Katolik di dunia itu mencela dengan tajam apa yang disebutnya "alzheimer spiritual" dan "teror gosip" yang sedang mengharu-biru Vatikan.
Dalam pidato tahunan itu, Paus Fransiskus menentang apa yang disebutnya sebagai "nafsu kekuasaan, kehidupan rohani yang munafik, serta tipisnya empati di kalangan para abdi Tuhan". Paus bahkan mengecam para uskup dan kardinal yang terlibat dalam pengurusan birokrasi gereja—atau yang dikenal sebagai Curia—sebagai orang-orang yang menderita "penyakit akut". Curia, menurut Paus, sudah penuh intrik, persaingan tidak sehat, serta perilaku serba ingin dilayani.
Menjelang tutup tahun, Paus berusia 78 tahun itu terkesan mengayunkan langkah-langkah yang menafikan kompromi. Pada November lalu, misalnya, ia memutasi Raymond Burke, kardinal konservatif asal Amerika Serikat, yang termasuk paling keras mengkritik agenda perubahan yang digulirkan Paus Fransiskus. Burke, 66 tahun, yang tadinya mengepalai mahkamah tertinggi Vatikan, digeser ke pos yang lebih bersifat seremonial. Sebelumnya, Paus memecat seorang uskup Jerman yang diduga terlibat korupsi.
Sejatinya, upaya "reformasi" Gereja Katolik juga tak bisa dibilang sebagai sesuatu yang baru sama sekali. Paling tidak, fenomena itu sudah muncul pada masa pontifikasi Paus Yohanes XXIII, 1958-1963. Adalah Yohanes XXIII, segera setelah pelantikannya, membentuk Komisi untuk Revisi Kitab Hukum Kanonik. Yohanes XXIII pula yang menyidangkan kembali Konsili Vatikan II, yang telah macet selama lebih dari seabad. Ia dikenang sebagai paus "aggiornamento", paus yang "ingin menghadirkan Gereja dalam zamannya".
Karena itu, tidaklah mengherankan, ketika baru setahun diangkat sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus menggelar kanonisasi Yohanes XXIII—bersama Yohanes Paulus II—sebagai santo alias orang kudus, April 2014. Seruan Yohanes XXIII, "Saya akan membuka Gereja sehingga angin segar bebas masuk ke dalamnya, karena selama berabad-abad ia tertutup rapat", seakan-akan menggema kembali dalam langkah-langkah Paus Fransiskus.
Para pengamat Vatikan menilai pidato pra-Natal Paus Fransiskus sebagai "seruan reformasi radikal"—terutama di tubuh Curia. Paus pertama dari Amerika Selatan ini memang seolah-olah siap menghadapi tantangan, baik dari luar maupun dari dalam Gereja. Ia pernah mengatakan, "Tuhan tidak takut pada hal-hal baru." Seraya menyebut dirinya sebagai "bagian dari orang-orang berdosa", Fransiskus mengingatkan Gereja untuk menjauhkan diri dari skandal, pertikaian, dan perilaku hidup mewah.
Guncangan-guncangan yang dialami Gereja Katolik di sekitar pergantian tahun yang lalu, antara lain skandal pedofilia yang melibatkan sejumlah imam Vatikan, seperti berlalu di bawah "kegagahan" kepemimpinan Fransiskus. Dalam sebuah wawancara tak resmi dengan koran Italia terkenal, La Republica, ia malah mengatakan paling sedikit dua persen imam Vatikan mengidap pedofilia.
Paus Fransiskus tampil sebagai pemimpin tertinggi dengan keberanian "membedah diri sendiri". Dengan keberanian itu pula ia menghadapi dunia yang semakin seru dan semakin majemuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo