Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EVA Bande, 36 tahun, perempuan luar biasa. Bertahun-tahun ia berjuang bersama rakyat Toili Barat, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, memprotes kehadiran PT Berkat Hutan Pusaka. Eva dan kelompoknya menuding perusahaan itu merampas tanah adat mereka sejak 1990.
Perusahaan sawit itu seperti memantik kemarahan penduduk ketika pada Mei 2010, dengan alat berat, merusak jalan yang selama ini dipakai petani menuju kebun. Eva langsung memimpin unjuk rasa, yang kemudian berakhir ricuh. Bersama sekitar 20 orang, ia ditahan dengan tuduhan menghasut petani membakar sejumlah fasilitas PT Berkat Hutan Pusaka.
Pengadilan rupanya tidak berpihak kepada Eva. Pengadilan negeri setempat menghukumnya empat tahun penjara. Pengadilan tingkat selanjutnya sampai Mahkamah Agung memperkuat hukuman untuk ibu tiga anak itu. Pada 5 Desember lalu, Eva mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo. Presiden hanya perlu waktu singkat untuk memberi ampunan kepada Eva. Bahkan, secara spesial, grasi untuk Eva diumumkan Presiden pada peringatan Hari Ibu, 22 Desember lalu.
Presiden Jokowi sudah tepat menggunakan hak prerogatifnya dalam kasus ini. Bukan lantaran Eva seorang perempuan dan anak-anaknya masih kecil, melainkan karena aktivis lingkungan itu sesungguhnya merupakan korban kriminalisasi. Dia diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat hukum: ditangkap, ditahan, dijadikan tersangka, divonis bersalah, kemudian dipenjarakan.
Padahal tak ada bukti kuat yang menunjukkan peran Eva sebagai provokator penyerangan dan pembakaran kantor PT Berkat Hutan Pusaka. Satu-satunya saksi yang dihadirkan jaksa, yang menyatakan melihat Eva "memerintahkan perusakan", adalah manajer perusahaan sawit itu sendiri. Tentu saja kesaksian "orang dalam" perusahaan itu memberatkan Eva. Pengabaian fakta penting ini oleh hakim sangat disesalkan. Tak terelakkan kesan kuat, telah terjadi kongkalikong antara aparat hukum dan perusahaan untuk membungkam Eva. Tujuannya, patut disangka, meredakan perlawanan petani.
Peristiwa yang terjadi di Banggai itu hanyalah "setitik" dari ratusan kasus sengketa agraria dalam sepuluh tahun terakhir. Sedikitnya ada sekitar 270 kasus tanah yang melibatkan perusahaan, terutama perkebunan sawit, dengan masyarakat setempat. Hampir pada setiap konflik itu selalu tampil para aktivis lingkungan yang mendampingi rakyat mempertahankan haknya.
Tentu sangat berbahaya jika penegak hukum memperlakukan para pembela rakyat itu dengan cara seperti yang dilakukan aparat hukum di Banggai. Menangkap dan menahan pengunjuk rasa yang menuntut hak merupakan perbuatan melawan hukum. Apalagi kemudian menjebloskan aktivis itu ke dalam penjara semata-mata berdasarkan kesaksian lawan mereka. Tindakan seperti ini jelas menginjak-injak prinsip keadilan. Kepala Kepolisian, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung mesti segera menindak anak buahnya yang mengkhianati hukum itu. Mereka wajib memastikan kesewenang-wenangan yang terjadi pada Eva tak terulang kembali.
Kasus Eva juga menunjukkan betapa kehadiran Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat semakin diperlukan. Rancangan undang-undang yang isinya diharapkan bisa menyelesaikan persoalan hak-hak tanah adat itu sebenarnya sudah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat, bahkan ditargetkan selesai tahun ini. Target itu ternyata meleset.
Anggota Dewan periode ini diharapkan segera menyelesaikan rancangan undang-undang itu. Dengan sejumlah perbaikan, undang-undang ini semestinya bisa mengurangi konflik agraria seperti di Banggai itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo