DALAM suatu seminar tentang Asia Tenggara, ada seorang peserta
dari Filipina. Dia seorang dosen Universitas Filipina di Manila.
Pandangan-pandangannya cukup tajam dan analistis, dan dalam
waktu singkat bisa diketahui bahwa dia seorang Marxis. Walaupun
demikian, dia tetap mengajar dan belum sampai pada taraf yang
sudah diambil oleh banyak temannya: bergabung dengan gerilya NPA
(New People's Army -- Tentara Rakyat Baru) dalam usaha
menumbangkan Marcos.
Dengan segera timbul pertanyaan: kok bisa sampai begitu? Kalau
guru-guru yang dalam masyarakat tradisional Asia menjadi penutan
masyarakat sudah rela masuk hutan, tentu ada masalah-masalah
yang sangat fundamental yang dihadapi oleh masyarakat Filipina.
Bagi dosen-dosen tersebut, Marxisme bukan lagi suatu ilmu yang
fashionable seperti di negara-negara maju di Barat, tapi sudah
menjadi kerangka operasional untuk berjuang.
Bahkan tidak hanya kaum Marxis yang bergabung dengan gerilya.
Banyak pastor dari aliran Teologi Pembebasan merelakan diri
untuk meninggalkan parokinya dan ikut bergerilya. Bahkan yang
tidak bergerilya pun banyak yang secara legal membongkar
penyalahgunaan kekuasaan dekat tempat tinggalnya. Baru-baru ini,
seorang pastor Santo Jesuit di kota Kibawe, Filipina Selatan,
Godofreno Alingal, dibunuh oleh pembunuh-pembunuh bayaran.
Pastor Alingal dianggap berbahaya karena menerbitkan buletin
khusus tentang pelanggaran hak asasi serta juga menjadi saksi
penting dari peristiwa perkosaan yang dilakukan pejabat lokal.
Dalam perkembangannya NPA memang mulai terlihat sebagai wadah
persatuan untuk penentang-penentang bersenjata Marcos yang
berasal dari kalangan Katolik. Ada intelek tuil dari University
of the Philipines (UP), ada pastor dari hirarki Gereja. Rupanya
Teologi Pembebasan dari Amerika Latin sangat kuat pengaruhnya di
Filipina. Sandinista di Nikaragua adalah contoh dari front
persatuan semacam itu. Hingga kini, tiga pastor masih menjadi
menteri dari pemerintahan Nikaragua.
Laras Bedil Juga
Mereka yang bergerilya tentunya beranggapan, kerangka politik
legal formal sudah tertutup untuk reformasi struktural
masyarakat Filipina. Sejak Keadaan Darurat tahun 1973, kekuasaan
Presiden Marcos tambah hebat. Jumlah tentara sekarang sudah
200.000 orang, hampir tiga kali lipat dari sebelumnya. Pasukan
bayaran yang tadinya dihapus dan peredaran senjata gelap yang
dihentikan, toh masih banyak juga. Cuma, sekarang yang
memilikinya adalah penguasa-penguasa lokal, yang dibiarkan
berbuat begitu, asal saja tetap mendukung Marcos. Kalau dulu,
politisi-politisi kaya yang beroposisi juga bisa memelihara
pasukan sewaan, asal cukup mampu.
Kaum intelektuil yang kecewa itu akhirnya sampai pada
kesimpulan: laras bedil juga yang harus berbicara. Senjata
mereka beli saja dari tentara yang mau berdagang. Atau, dari
pelayar-pelayar Moro dan Sulu, yang sudah sejak abad ke-18
terkenal sebagai pedagang senjata gelap. Akibatnya, NPA-pun bisa
memperluas wilayah operasinya. Kalau tadinya NPA terutama
bergerak di wilayah tradisional di Luzon Tengah, maka sekarang
sudah tersebar di seluruh Luzon. Juga sudah mulai beroperasi di
wilayah selatan, seperti di Kotabato dan sekitar Davao di
Mindanao.
Bahkan NPA sudah berbagi wilayah operasi dengan gerilyawan MNLF
dari kaum Muslim Moro. Walaupun terdapat perbedaan ideologi,
namun kerjasama antara kedua front gerilyawan jalan terus. Ini
berarti gerilya bersenjata menentang Marcos sudah bersifat
nasional, melintang dari Luzon ke Mindanao.
Ini pun suatu hal yang tentunya tidak dikira Marcos pada tahun
1973. Walaupun sudah mengadakan embargo Angkatan Laut terhadap
Filipina Selatan, toh Marcos masih belum bisa mengimbangi
pelaut-pelaut ulung Sulu. Sampai akhirnya Komandan Wilayah
Selatan, Laksamana Romulo Espaldon yang keponakan Imelda Marcos
itu, diganti oleh Brigjen Delfin Castro karena dianggap terlalu
lunak. Padahal Espaldon itu cukup rajin membakari desa-desa
orang Moro.
Armada VII
Tapi oposisi terhadap Marcos tidak melalui gerilya saja.
Politisi-politisi lama yang kaya tentu tidak tahan kalau masuk
hutan dan bersembunyi terus. Kebanyakan mengungsi ke Amerika,
seperti Raul Manglapus ataupun Benigno Aquino, yang sekarang
tinggal di Harvard University, setelah bebas dari penjaranya
Marcos. Mereka bekerjasama dengan politisi yang masih berada di
Filipina. Organisasinya adalah UNIDO, dipimpin bekas senator
yang juga kaya, Gerardo Roxas.
Bekas-bekas senator ini walaupun menentang Marcos, tapi kuat
kedudukan ekonominya, bahkan pemilik dari bir San Miguel yang
terkenal itu. Cara perjuangannya adalah melalui pembentukan
pendapat umum di AS dan memelihara keutuhan pengikut-pengikutnya
yang lama di Filipna. Siapa tahu, suatu waktu Marcos bisa
diganti dan mereka menyediakan diri melalui UNIDO sebagai wadah
pengganti yang damai, sebagai alternatif dari cara kekerasan NPA
dan MNLF.
Cukup kuatkah Marcos untuk bertahan? Kekuatannya tentu tidak
bisa diukur dari Pemilu 16 Juni yang merupakan dagelan itu. Tapi
Marcos akan bisa bertahan karena sedikitnya dua hal. Pertama,
dukungan elite yang telah diuntungkannya selama 8 tahun,
khususnya tentara Filipna, serta pengusaha-pengusaha nasional.
Yang kedua, dukungan pihak asing, khususnya AS. Menteri
Pertahanannya Marcos, Juan Enrile adalah jebolan West Point dan
punya teman di Pentagon.
Armada VII juga punya pangkalan di Filipina sedang Mindanao
masih besar kansnya untuk modal asing, terutama untuk kelapa
sawit dan pertambangan. Di suatu negara di mana masih diizinkan
adanya calon resmi presiden yang berkampanye untuk menjadikan
Filipina negara bagi AS yang ke-15, dukungan dari AS ini memang
sangat menentukan, serta menjadi katalisator buat massa, apakah
jalan damai UNIDO atau jalan gerilya NPA yang populer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini