Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Argumentasi yang dibangun pemerintah bahwa ekspor pasir laut untuk membersihkan jalur pelayaran di perairan Indonesia sangat tidak logis.
Indonesia akan menanggung dampak sosial-ekonomi akibat kebijakan ekspor pasir laut.
Kebijakan ini juga akan menimbulkan keruntuhan ekologi total akibat penipisan sumber daya kelautan.
PERNYATAAN Presiden Joko Widodo mengenai ekspor sedimen laut patut dikoreksi secara kritis-ilmiah. Sebelumnya, pada 23 September 2024, Jokowi mengatakan material yang diperbolehkan diekspor adalah sedimen pasir yang berada di jalur pelayaran.
Pernyataan itu jelas menyesatkan karena, kita tahu, sejak 1970-an sampai 2003, material yang diekspor ke Singapura adalah pasir laut, bukan lumpur hasil sedimentasi. Mustahil Singapura mengimpor lumpur untuk memperluas wilayahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Argumentasi yang dibangun pemerintah bahwa ekspor pasir laut untuk membersihkan alur pelayaran di perairan Indonesia sangat tidak logis. Pasalnya, material yang digunakan untuk proyek reklamasi di Singapura kebanyakan berupa pasir yang dikeruk dari kedalaman 10-30 meter di bawah permukaan laut. Logika menghambat alur pelayaran gugur dengan sendirinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberadaan sedimen yang mengganggu jalur pelayaran justru berada di muara sungai, delta, dan perairan pesisir. Sedimen semacam ini bersumber dari aktivitas di bagian hulu aliran sungai, seperti perkebunan berskala besar dan pertambangan. Namun upaya pengerukan sedimen lumpur di wilayah pesisir, muara sungai, dan delta pun akan percuma selama aktivitas di bagian hulunya tak disetop.
Upaya penyesatan publik dengan menggunakan istilah sedimen untuk menutupi ekspor pasir laut juga terlihat dari penetapan lokasi penambangannya. Wilayah terbesar pengerukan itu berada di perairan Natuna Utara, Kepulauan Riau. Wilayah perairan dengan luas sekitar 3.030 juta meter persegi ini punya potensi pasir sebanyak 9.090 juta meter kubik, seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024.
Penulis meyakini wilayah itu dipilih karena lokasinya sangat dekat dengan Singapura. Implikasinya, aktivitas pengerukan pasir laut di wilayah ini akan memicu perampasan ruang laut dan sumber dayanya, alias ocean grabbing (Bennet et al 2015), yang dilakukan negara dan korporasi. Aktivitas ini akan mengubah morfologi dasar laut sehingga merusak habitat ikan dan ekosistem penopang (terumbu karang dan padang lamun), yang akan mendeplesi stok sumber daya perikanan.
Implikasi kedua adalah masifnya praktik-praktik ekstraktivisme di perairan laut dan pulau kecil. Ekstraktivisme merupakan suatu model pendekatan ekonomi yang menekankan eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam, dalam hal ini pasir laut untuk diekspor ke negara tujuan (Gudynas, 2009). Selain Singapura, negara yang bakal membutuhkan banyak pasir laut untuk pembangunan infrastruktur adalah Cina.
Model ekstraktivisme sejatinya meneguhkan praktik arsitektur ekonomi ala kolonialisme yang memposisikan Indonesia sebagai negara pinggiran, sementara Singapura dan Cina sebagai negara pusat. Perlu dicatat, pasir laut mengandung logam bernilai ekonomis tinggi yang dapat diekstraksi di negara importir, misalnya silika sebagai bahan baku kaca, timah, dan besi. Ironisnya, eksploitasi kekayaan pasir laut itu justru memicu ketimpangan ekonomi dan kemiskinan.
Ekspor pasir laut juga bakal memicu tragedi komoditas (Longo, et al, 2015). Indonesia akan menanggung dampak sosial-ekonomi berupa meningkatnya angka kemiskinan karena hilangnya mata pencarian warga akibat lingkungan yang rusak serta tergerusnya nlai-nilai budaya lokal dan geo-spiritualisme.
Lonjakan angka kemiskinan ekstrem bakal semakin menjadi. Terlebih, sesuai dengan catatan Indef (2023), sebanyak 12,5 persen penduduk yang masuk kategori miskin ekstrem bermukim di wilayah pesisir. Adapun dari total 26,16 juta penduduk miskin di Indonesia, 4,2 persen di antaranya merupakan keluarga nelayan.
Ekspor pasir laut mustahil menyejahterakan masyarakat pesisir dan pulau kecil. Meskipun Keputusan Menteri Kelautan Nomor 16 Tahun 2024 mewajibkan adanya penyaluran dana tanggung jawab sosial oleh perusahaan yang mengeruk pasir laut dan rehabilitasi ekosistem pesisir, tapi sejarah mencatat, pada masa lalu kebijakan ini tak berjalan efektif. Apa yang mau direhabilitasi jika morfologi dasar perairannya dan ekosistemnya sudah rusak parah?
Secara lebih luas, kebijakan ini juga akan menimbulkan keruntuhan ekologi total akibat penipisan sumber daya kelautan yang didorong kepentingan pribadi manusia dan solusi kebijakan berbasis pasar (Morrow, 2024). Dampak krisis iklim juga bisa semakin berat akibat perubahan fisika oseanografi lautan: pola arus, suhu, gelombang, dan morfologi, sampai tingkat keasaman air laut.
Kebijakan eksploitasi dan ekspor pasir laut yang berlangsung pada era 1970-an sampai 2003 terbukti berdampak kompleks bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan. Jalan terbaik untuk mencegah terulangnya berbagai kerusakan dan dampak buruk aktivitas ini adalah membatalkan kebijakan ini. Indonesia seharusnya memiliki perspektif untuk meningkatkan kualitas kesehatan wilayah lautnya, sembari menjaga keberlanjutan ekosistem, serta meningkatkan taraf hidup dan perekonomian masyarakat pesisir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.