Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Data dari DKP Banten, sebanyak 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya terganggu pagar laut.
Pemagaran laut kontradiktif dengan prinsip pemanfaatan umum kawasan pesisir yang dijamin dalam peraturan daerah.
Misteri pagar laut ini mencuatkan kembali urgensi pengawasan dan pengelolaan wilayah pesisir.
PENEMUAN pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten, membuat nelayan setempat resah. Struktur bambu setinggi 6 meter itu muncul tanpa izin resmi, mengganggu aktivitas ribuan nelayan di 16 desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagar ini pertama kali dilaporkan warga ke Dinas Kelautan dan Perikanan Banten pada 14 Agustus 2024. Saat Dinas Kelautan mengecek pada 19 Agustus 2024, panjang pagar baru sekitar 7 kilometer. Rupanya panjang pagar laut itu terus bertambah. Saat pemeriksaan gabungan pada 18 September 2024 oleh Dinas Kelautan Banten, TNI Angkatan Laut, serta Kepolisian Perairan dan Udara, panjang pagar itu mencapai 13,12 kilometer.
Saat ini pagar laut itu membentang sejauh 30,16 kilometer, membelah perairan di enam kecamatan dan enam desa di Kabupaten Tangerang. Pagar bambu setinggi rata-rata enam meter itu diperkuat dengan anyaman bambu, jaring paranet, dan karung pasir. Dalam area yang dipagari, ada kotak-kotak sederhana yang dibentuk pola seperti labirin.
Hadirnya pagar misterius ini menimbulkan banyak pertanyaan dan tentu saja mengancam mata pencarian ribuan nelayan. Data dari Dinas Kelautan Banten menyebutkan 3.888 nelayan terganggu imbas pemagaran yang membatasi akses ke wilayah tangkap tradisional. Keberadaan pagar itu memaksa nelayan mencari lokasi baru yang lebih jauh dan berisiko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagar laut memotong akses nelayan ke wilayah penangkapan ikan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Terbatasnya akses ke wilayah tangkap tradisional menyebabkan hasil tangkap nelayan turun, yang berimbas langsung pada pendapatan. Pemagaran ini menghilangkan area tangkap yang menjadi sumber penghidupan turun-temurun.
Di Mauk, Tangerang, pendapatan nelayan turun drastis. Dulu mereka bisa menangkap 50-100 kilogram ikan sehari. Kini paling banyak mereka memperoleh 20 kg sehari—itu pun jika beruntung. Akibat area tangkapan lebih jauh, beban nelayan bukan hanya naiknya biaya operasional, tapi juga risiko keselamatan. Nelayan di Desa Pakuhaji, misalnya, kini menghabiskan 2-3 jam lebih lama untuk mencapai lokasi penangkapan baru, yang berarti banyak bahan bakar dan waktu terbuang.
Sebanyak 502 pembudi daya produk hasil laut di kawasan tersebut juga terkena dampak. Mereka sulit mengakses area budi daya dan mengalami penurunan produksi. Situasi ini paradoks dengan semangat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, yang menekankan pelindungan hak masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya laut.
Pemagaran laut merupakan pelanggaran hak nelayan dan masyarakat pesisir. Pemagaran laut ini menghalangi akses publik ke wilayah pesisir, memberi kuasa penuh pada pemegang hak untuk menutup akses, serta berisiko merusak keanekaragaman hayati dan mengubah fungsi ruang laut. Tindakan tersebut kontradiktif dengan prinsip pemanfaatan umum kawasan pesisir yang dijamin dalam peraturan daerah.
Secara regulasi, keberadaan pagar laut ini melanggar Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023. Kawasan yang dipagari seharusnya terbuka untuk beragam aktivitas, termasuk perikanan dan budi daya. Ironisnya, hingga kini, pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat belum tahu tujuan pembangunan pagar laut itu, bahkan belum menemukan siapa pemiliknya.
Baru pada Januari 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan pernyataan tegas. Tapi Kementerian tidak memberikan informasi jelas siapa pelaku pemagaran laut tersebut. Kementerian hanya menyatakan bahwa memanfaatkan ruang laut tanpa izin kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut, seperti pemagaran laut, merupakan pelanggaran berat.
Investigasi tim gabungan bersama Pemerintah Provinsi Banten, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, serta Dinas Kelautan dan Perikanan pada September 2024 mengungkap fakta: tidak ada rekomendasi atau izin dari camat ataupun desa soal pemagaran laut tersebut, yang dilakukan ilegal dan tanpa prosedur perizinan yang benar.
Pelanggaran dalam kasus pemagaran ini bukan cuma masalah administratif. Seyogianya, izin usaha tak boleh dikeluarkan sebelum ada izin lingkungan atau izin kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut. Jika tidak, patut dicurigai ada indikasi maladministrasi.
Misteri pagar laut ini mencuatkan kembali urgensi pengawasan dan pengelolaan wilayah pesisir. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, pengelolaan wilayah pesisir mesti memperhatikan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Kasus pemagaran pesisir laut menjadi ujian bagi penegakan hukum dan tata kelola wilayah pesisir di Indonesia. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bertindak tegas dan memastikan legalitas tindakan yang ada.
Untuk menyelesaikan kasus ini, perlu ada pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Harmonisasi kebijakan dan penguatan peran masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir penting, sesuai yang dibahas dalam studi pengelolaan wilayah pesisir terpadu. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo