Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMUAN Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai kejanggalan transaksi menjelang Pemilihan Umum 2024 bukanlah kabar yang mengejutkan. Ribut-ribut dana kampanye selalu muncul di setiap musim pemilu. Tapi masalah ini kerap menguap di tengah jalan lantaran aturan yang longgar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang Pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2023 sebenarnya membatasi jumlah sumbangan individu dan lembaga yang boleh diterima peserta pemilu. Tapi KPU hanya mengaudit rekening khusus dana kampanye yang dilaporkan partai politik. Tak ada pasal yang memerintahkan penyelenggara pemilu untuk menelusuri asal-usul pembiayaan kampanye peserta pemilu, termasuk yang tak dilaporkan melalui rekening resmi.
PPATK mengungkap adanya transaksi janggal bernilai Rp 1 triliun lebih dari 6.000 rekening pengurus partai politik peserta Pemilu 2024. Fulus itu ditengarai berasal dari penambangan ilegal, perambahan hutan, dan kejahatan keuangan lain. Transaksi itu tak pernah dilaporkan karena, pada periode yang sama, rekening resmi yang disetorkan peserta pemilu tak mencatatkan transaksi yang signifikan.
Lembaga pengawas transaksi itu juga menemukan adanya dana pinjaman dari sebuah bank perkreditan rakyat (BPR) di Jawa Tengah buat politik uang. Nilai kredit kepada 27 debitor itu mencapai Rp 102 miliar. Seluruh kucuran kredit ditampung seorang pengusaha berinisial MIA. Uang itu lalu dialirkan lagi ke sejumlah korporasi dan koperasi, yang diduga terafiliasi dengan sejumlah pentolan Partai Gerindra.
Masalahnya, tak mudah membuktikan kredit itu merupakan politik uang. Badan Pengawas Pemilu dan KPU tak berwenang menelusuri penggunaan kredit bank tersebut. Itu sebabnya KPU dan Bawaslu perlu menggandeng lembaga pengawas bank, yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Pihak dan kongkalikong di balik kredit itu bisa ditelusuri menggunakan Undang-Undang Perbankan. Kepolisian pun harus masuk buat menelusuri kejahatan oleh jejaring pemberi dan penerima kredit fiktif tersebut.
Modus dana kampanye menggunakan kredit BPR mesti mendapat perhatian serius penyelenggara pemilu. Uang BPR berasal dari nasabah yang digunakan untuk masyarakat luas, bukan partai politik. Penyalahgunaan kredit merupakan tindak pidana yang bisa dikaitkan dengan pencucian uang. Dengan melibatkan OJK dan lembaga lain, bolong-bolong aturan dana kampanye bisa lebih mudah ditutup ketimbang membuat aturan baru yang prosesnya lebih rumit dan makan waktu.
Undang-Undang Pemilu mewajibkan peserta pemilu membuka semua identitas penyumbang. Namun audit rekening khusus peserta pemilu terkesan hanya formalitas rutin. Maka temuan PPATK sepatutnya menjadi amunisi bagi KPU, Bawaslu, dan lembaga penegak hukum lain untuk mengejar peserta pemilu yang mencoba menyembunyikan sumber duit kampanye. Undang-undang yang sama jelas melarang peserta pemilu menerima sumbangan dari hasil kejahatan.
Jika terbukti hasil pembobolan BPR di Jawa Tengah itu digunakan untuk pembiayaan politik, pelakunya jelas melakukan kejahatan sistematis. Aparat penegak hukum mesti mengusutnya hingga tuntas demi melindungi para nasabah sekaligus mencegah kejahatan politik lebih besar. Kecuali, meminjam istilah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang videonya viral di media sosial: transparansi dana politik dianggap “ndasmu”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Transparansi Dana Politik ‘Ndasmu'"