Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Hidup Pengungsi Rohingya Terlunta di Banyak Negara

Pengungsi Rohingya menyebar ke banyak negara. Hidup terkatung-katung tanpa kepastian masa depan.

24 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK hanya di Aceh, pengungsi Rohingya juga terdampar di banyak negara di Asia. Umumnya mereka membayar jasa para penyelundup manusia agar bisa keluar dari Myanmar yang dikuasai junta militer yang menindas mereka. Salah satunya Yasmin, yang mendarat di Malaysia pada 2017 setelah menempuh perjalanan darat selama 15 hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan 30 tahun ini tinggal di Negara Bagian Rakhine. Kerusuhan komunal pada 2012 membuat Yasmin dan keluarganya tinggal bertahun-tahun di kamp pengungsian. “Keadaan sangat tidak aman bagi keluargaku,” kata Yasmin pada 23 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, hidup suku Rohingya sudah berat. Mereka acap mendapat diskriminasi karena beragama Islam dan lahir sebagai orang Rohingya. Mereka tak sebebas suku lain di Myanmar, terutama perempuan yang mendapat diskriminasi tambahan, seperti tak bisa bersekolah. Yasmin beruntung karena bisa mengenyam pendidikan hingga kelas X.

Setelah neneknya wafat pada 2017, Yasmin dan saudara laki-lakinya memutuskan meninggalkan kamp dan pergi ke Malaysia, tempat saudaranya yang lain lebih dulu bermigrasi. “Jika aku ke Malaysia, aku dapat memperbaiki hidupku, menyokong diriku dan keluargaku serta kaumku karena aku dapat bekerja di sana. Aku juga dapat bersekolah lagi,” ujarnya.

Seorang penyelundup bersedia mengantar dengan upah 8.000-9.000 ringgit atau sekitar Rp 30 juta. Bersama puluhan orang Rohingya lain, ia naik truk dari Rakhine. Perjalanan darat itu berganti-ganti kendaraan. Mereka acap berjalan kaki untuk mencapai jemputan mobil berikutnya. Dalam perjalanan itu, tak sedikit orang Rohingya yang tewas, atau diperkosa, paling umum dipukuli oleh penyelundupnya.

Setelah 15 hari perjalanan, Yasmin dan adik laki-lakinya tiba di Malaysia. Tapi penyelundup itu masih meminta Rp 49 juta sebagai uang pelepasan. “Mereka benar-benar kejam,” ucapnya. “Mereka benar-benar berdagang manusia.”

Setelah lepas dari para penyelundup itu pun Yasmin tak bisa bebas di Malaysia. Sebagai imigran gelap, ia tak mudah mendapatkan pekerjaan. Mula-mula ia bekerja di pabrik pakaian sebelum menjadi penerjemah di sebuah organisasi nonpemerintah. “Kami seperti mengapung di sungai,” kata Yasmin. “Tak punya tempat pulang dan hanya bergantung kepada UNHCR.”

Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus pengungsian bagi penduduk yang terusir dari negara mereka, seperti warga Rohingya, itu yang menjamin keberadaan orang seperti Yasmin. UNHCR biasanya mencarikan negara yang bersedia menampung pengungsi Rohingya. Malaysia kebetulan negara yang tak menolak sehingga Yasmin bisa tetap tinggal di sana.

Sahat Zia Hero juga meninggalkan Myanmar pada 2017. Lelaki asal Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, itu menyeberang ke Bangladesh bersama ribuan orang Rohingya lain ketika militer mempersekusi warga Rohingya. Tim Pencari Fakta Independen Dewan Hak Asasi Manusia PBB tentang Myanmar menyimpulkan bahwa militer Myanmar telah melakukan genosida terhadap masyarakat Rohingya pada masa tersebut.

Sahat Zia Hero. Instagram @ziahero

Menurut Zia, perjalanan ke Bangladesh sulit dan berbahaya. “Jaraknya sangat jauh,” ujarnya pada 22 Desember 2023. Ia dan warga suku Rohingya lain menghuni kamp pengungsi di Cox's Bazar, yang diperkirakan dihuni sekitar sejuta pengungsi Rohingya. Lama-kelamaan kamp ini penuh sesak sehingga air bersih kurang, layanan kesehatan makin membuat nelangsa, sampai muncul konflik dan kejahatan.

Bantuan makanan bulanan PBB hanya bisa untuk makan selama setengah bulan. Menurut UNHCR, sejak Juni 2023, dana makanan untuk pengungsi Rohingya dipangkas menjadi US$ 8 atau sekitar Rp 124 ribu per orang per bulan.

Masalahnya, kata Zia, para pengungsi dilarang keluar dari kamp dan tidak boleh bekerja sehingga hidup mereka hanya bergantung pada bantuan UNHCR. “Ini menimbulkan krisis pangan dan krisis kesehatan. Ratusan pasien setiap hari datang ke pos kesehatan, tapi kebanyakan dari mereka tak mendapat penanganan dan pengobatan yang tepat,” tutur pendiri Rohingyatographer Magazine yang meraih dua penghargaan pada tahun ini, Prince Claus Seed Award dan Nansen Refugee Regional Award, tersebut.

Para pedagang manusia, menurut Zia, kerap datang ke kamp dan membujuk orang-orang untuk kabur. “Jaringan perdagangan manusia ini besar karena mereka terhubung satu sama lain dari wilayah lokal di Bangladesh dan sebagian yang tinggal di Myanmar hingga ke negara lain seperti Indonesia, Thailand, dan Malaysia,” ujarnya.

Menurut Zia, kelompok ini biasanya meminta ongkos 1 lakh taka Bangladesh atau sekitar Rp 14 juta per orang. Para penyelundup memberi iming-iming pekerjaan di negara tujuan dan bagi perempuan dijanjikan mendapatkan suami. Banyak orang tergiur karena tak punya pilihan. Menurut UNHCR, selama Januari-Agustus 2023, sebanyak 3.400 orang mencoba menyeberang ke banyak negara dan 207 orang dinyatakan hilang atau meninggal di tengah perjalanan.

Menurut May Yu, warga Rohingya yang sedang menempuh studi pascasarjana di sebuah universitas di Thailand, perlakuan tiap negara berbeda-beda dalam menyambut pengungsi Rohingya. Thailand dan Malaysia akan menahan mereka. “Di Bangkok saya kira ada lebih dari seribu pengungsi Rohingya yang berada di tempat penahanan. Mereka sudah 6-7 tahun di sini, tapi tak ada orang yang membicarakan masalah penahanan ini,” katanya pada 22 Desember 2023. “Ini membuat hidup mereka dalam ketidakpastian.”

Pemerintah Indonesia tidak menahan para pengungsi Rohingya. Sejak 2012, masyarakat Aceh bahkan membantu kapal mereka yang terdampar. Namun belakangan muncul penolakan. Kapal pengungsi Rohingya yang akan mendarat didorong kembali ke laut. Mereka yang bisa masuk ke Aceh juga tak tenang karena khawatir mendapat persekusi. “Sungguh hidup sangat tidak tenang,” ucap Sanaullah, pengungsi Rohingya yang hidup berpindah-pindah di Aceh.

Sanaullah tiba di Aceh pada 10 Desember 2023 bersama 137 pengungsi lain. Kini mereka terus bergerak karena tak bisa tinggal menetap di satu tempat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Raihan Lubis dari Banda Aceh berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mereka yang Hidup Mengapung". Artikel ini diperbarui pada 25 Desember 2023 dengan perubahan mengenai kerusuhan pada 2012 di paragraf ke-2.

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus