Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Bagaimana Pengungsi Rohingya Bisa Sampai ke Aceh?

Pengungsi Rohingya bertaruh nyawa untuk bisa sampai di Aceh. Ditolak masyarakat dan nasibnya tak jelas.

24 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERPAAN angin membuat tubuh Sanaullah menggigil setiap malam. Duduk di atas kapal kayu yang mengangkutnya dari Pantai Teknaf, Bangladesh, laki-laki dari etnis Rohingya itu tak bisa menghindari sapuan angin laut yang sangat kencang. Dingin kian menggigit ketika hujan turun. Terpal yang menutup tubuhnya bersama puluhan laki-laki lain tak sanggup mengusir hawa beku.

Lebih dari sebulan, sejak 5 November 2023, Sanaullah bertaruh nyawa melintasi Laut Andaman menuju Aceh. Tak terhitung berapa kali tubuhnya kuyup akibat ombak mengguyur kapal. Kala siang tiba, badannya mengering saking panasnya. Bibirnya pecah dan kulitnya pun menggelap karena tak henti tersiram sinar matahari.

Masuk ke kapal bukan pilihan. Di sana sudah ada puluhan perempuan dan anak-anak berjejalan. Kapal sepanjang 20 meter yang ditumpangi para pengungsi Rohingya itu mengangkut 137 orang. “Perjalanan ini seperti mimpi yang mengerikan,” kata Sanaullah di pos pengungsi Rohingya di gedung Meuseuraya, Banda Aceh, 20 Desember 2023.

Laporan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) menyebutkan hampir semua kapal nelayan yang digunakan pengungsi Rohingya berkapasitas kecil dan tak bisa menampung banyak manusia. “Banyak penumpang hanya bisa duduk, tak bisa rebahan,” ujar Assistant Protection Officer UNHCR Indonesia Hendrik Therik, 22 Desember 2023.

Tak hanya menghadapi ganasnya laut, para pengungsi Rohingya juga harus bertahan dengan perbekalan yang minim. Sepekan sebelum mereka tiba di daratan Aceh, hanya tersisa beras dan bumbu masak seadanya. Mohammad Sahidul Islam, pengungsi yang bertugas menjadi juru masak, harus mengirit-irit makanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang anak pengungsi Rohingya mengenakan gelang penanda dari UNHCR setelah mendarat di Kabupaten Aceh Besar, Aceh, 10 Desember 2023. Antara/FB Anggoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nasi yang menjadi menu setiap hari pun berubah menjadi bubur. Sahidul memasaknya dengan menambahkan bawang, cabai, dan garam. Laki-laki mendahulukan perempuan dan anak untuk makan. Dalam kondisi itu, para pengungsi Rohingya mulai putus asa. “Kami tak yakin bisa selamat,” ucap mantan guru bahasa Inggris itu.

Para pengungsi Rohingya harus menempuh jarak sekitar 1.200 mil laut. Tak semua orang bisa bertahan berminggu-minggu hidup di kapal. Rehana Begom, 24 tahun, menyaksikan seorang pengungsi perempuan meninggal di hadapannya. Rehana menyaksikan perempuan itu sudah dalam kondisi lemah saat memulai perjalanan dari Cox’s Bazar, Bangladesh, Oktober 2023.

Setelah hampir dua minggu perjalanan, perempuan itu meninggal di atas Laut Andaman. Jenazahnya dikafani dan disalatkan sebelum dilarung ke laut. “Agar tidak menimbulkan penyakit,” kata Rehana kepada Tempo, 21 Desember 2023. 

Seperti pengungsi lain, Rehana menghadapi buasnya perjalanan laut. Harapan hidup Rehana, juga Sanaullah dan Sahidul, menyala ketika mereka melihat dataran Aceh dari kejauhan. Kapal Rehana berlabuh di pantai Beurandeh, Pidie, pada 19 November 2023. Sedangkan kapal Sanaullah mendarat di perairan Desa Lamreh, Aceh Besar, pada 10 Desember 2023.

Namun harapan itu segera pupus. Penduduk setempat menolak kedatangan pengungsi Rohingya di kampung mereka. Para penyintas yang terusir dari negara asal mereka, Myanmar, kembali mendapat penolakan di tanah harapan.

•••

GELOMBANG pengungsi Rohingya menuju Aceh terjadi sejak 2015. Pada 2020-2022, sebanyak 1.152 pengungsi menjejak Aceh. Dalam dua bulan terakhir, jumlah pengungsi kian meningkat. Sejak 14 November hingga 14 Desember 2023, ada 10 kapal yang mendarat di Aceh dengan jumlah pengungsi 1.595 orang.

Assistant Protection Officer UNHCR Indonesia Hendrik Therik menyebutkan, menjelang akhir tahun, tren kedatangannya cenderung terus meningkat. “Ada banyak faktor penyebab tingginya angka ini. Yang pertama kami duga adalah situasi di Cox's Bazar,” ujar Hendrik kepada Tempo, 21 Desember 2023.

Cox's Bazar merupakan distrik perbatasan di Bangladesh yang menampung lebih dari 1 juta pengungsi etnis muslim Rohingya yang melarikan diri dari penumpasan militer di Myanmar pada 2017. Sepanjang tahun ini, UNHCR menerima 1.400 laporan kejahatan yang terjadi di sana, dari penculikan hingga pembunuhan.

Petugas UNHCR mengumpulkan sejumlah orang Rohingya saat tiba di penampungan sementara Mina Raya, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Aceh, 14 November 2023. Antara/Ampelsa.

Maret 2023, kebakaran besar melanda Camp 11 di Cox's Bazar, yang menghancurkan 2.000 tenda dan membuat 12 ribu pengungsi kehilangan tempat tinggal. UNHCR menyebutkan setidaknya 90 fasilitas, termasuk rumah sakit dan pusat pembelajaran, ikut terbakar. “Situasi di Cox's Bazar tak kondusif untuk orang hidup normal,” kata Hendrik.

Faktor lain adalah pemotongan dana dari donor kepada lembaga-lembaga penyalur bantuan, seperti World Food Programme, beberapa waktu belakangan. Pemotongan ini ikut mengurangi jatah makanan yang diberikan kepada para pengungsi di seluruh dunia, termasuk di Cox's Bazar. “Dengan bantuan yang terbatas, orang mencari peluang hidup di tempat lain,” tutur Hendrik.

Tujuan para pengungsi Rohingya bukan hanya Aceh. Banyak yang mencoba masuk ke Thailand lewat jalur darat. Jika lewat jalur laut, tujuannya adalah Malaysia dan Indonesia. Kepastian tujuan ini hanya diketahui oleh agen perjalanan ilegal yang oleh UNHCR dianggap sebagai penyelundup manusia.

Para agen ini meminta bayaran dari Rp 6 juta hingga Rp 14 juta untuk memberangkatkan pengungsi lewat jalur laut. Mereka mematok harga lebih murah untuk rombongan keluarga. Beberapa agen menjanjikan tempat tinggal baru, tapi ada juga yang hanya menjanjikan keluar dari Cox's Bazar.

Sanaullah, yang telah tiba di Aceh, misalnya, mengaku tak mengenal agen yang membawanya. Ia bertemu dengan agen yang berjanji membawanya pergi dari Cox's Bazar. Setelah membayar 100 ribu lakh taka Bangladesh atau sekitar Rp 14 juta, Sanaullah dibawa dengan kapal kecil ke tengah laut. “Di sana kapal yang lebih besar sudah menunggu,” ucapnya.

Sedangkan Ayesha sudah dijanjikan akan dibawa ke Aceh oleh seorang agen. Sejak awal, Aceh menjadi tujuan utama perempuan 30 tahun itu. Oktober 2023, ibu dua anak itu mendengar suaminya lebih dulu mendarat di Aceh dan dia ingin segera menyusul. Membawa dua anaknya, ia meninggalkan orang tua dan saudaranya di Cox's Bazar demi bertemu dengan suaminya.

Hingga pekan lalu Ayesha belum mendengar kabar dari suaminya. “Saya berharap bisa bertemu dengan suami saya. Saya harap dia baik-baik saja,” kata Ayesha, 20 Desember 2023.

•••

DITOLAK sebagian penduduk Aceh, para pengungsi Rohingya kini hidup di sejumlah tempat pengungsian. Sanaullah, misalnya, ditampung di ruang bawah tanah gedung Meuseuraya, Banda Aceh, berseberangan dengan kantor Gubernur Aceh. Meuseuraya—salah satu gedung terbesar di Aceh—dalam bahasa setempat berarti tradisi saling membantu dan bergotong-royong.

Sebanyak 137 pengungsi hidup di ruang bawah tanah beralas terpal. Pengungsi perempuan dan laki-laki dipisahkan oleh kain pembatas yang terikat tali rafia. Saat Tempo datang ke sana pada 20 Desember 2023, baju-baju kotor terlihat bergelantungan. Bau tak sedap pun tercium dari segala penjuru.

Sebagian perempuan remaja dan dewasa memakai kerudung besar dan bercadar. Sejumlah anak balita hanya mengenakan kaus atau singlet. Mereka berlarian atau berteriak di tengah pengapnya ruangan. “Sangat panas dan ribut, seperti di kapal,” ujar Sanaullah.

Kondisi tak jauh berbeda terlihat di pos pengungsian Rehana di Mina Raya, Kabupaten Pidie. Bekas panti asuhan itu setahun terakhir beralih fungsi menjadi penampungan 438 pengungsi Rohingya, terbanyak di Aceh. Di dalam bangunan, 40-50 orang berjejalan di setiap ruangan berukuran 10 x 5 meter yang hanya memiliki satu jendela dan dua pintu.

Toh, sebagian pengungsi di Mina Raya merasa kondisi ini jauh lebih baik ketimbang tempat pengungsian mereka di Cox's Bazar, Bangladesh. Salima, 19 tahun, pengungsi yang berasal dari Distrik Kutupalong di Cox's Bazar, mengatakan para perempuan di Kutupalong kerap menjadi target kejahatan dan obyek kekerasan seksual.

Salima bercerita, anak-anak Rohingya hanya bisa bersekolah di dalam kamp. Polisi di kamp Kutupalong juga dinilai tak bisa memberikan rasa aman. Menurut Salima, sebagian di antaranya bekerja sama dengan preman yang suka memalak pengungsi. “Tak ada harapan hidup di Kutupalong, tak ada perubahan apa pun,” katanya kepada Tempo, 21 Desember 2023.

Perasaan yang sama diakui Sanaullah. Di kamp pengungsi Rohingya terbesar di dunia itu, hampir setiap hari ia didatangi preman untuk dimintai uang. Meski tinggal di ruang bawah tanah di gedung Meuseuraya, ia merasa hidupnya lebih aman ketimbang tetap tinggal di Cox's Bazar. “Penduduk Aceh muslim dan pasti akan menerima kami,” ucapnya.

Meski nasibnya di Indonesia belum jelas, sekarang Sanaullah bisa duduk menikmati sore dengan memakan biskuit ditemani minuman ringan yang dibagikan oleh kelompok perempuan di Banda Aceh.

•••

WAKTU menunjukkan pukul delapan malam saat 180 pengungsi Rohingya tiba di depan kantor Bupati Pidie, Aceh, 21 Desember 2023. Mereka awalnya tinggal di tenda pengungsian di tepi pantai di Blang Raya, Muara Tiga (Laweung). Namun warga setempat menolak keberadaan mereka dan menggunakan tiga truk untuk memindahkan para pengungsi ke kantor Bupati Pidie.

Penjabat Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto, langsung mencari titik pengungsian baru. Ia memanggil perwakilan UNHCR hingga Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) ke kantornya. Wahyudi juga mengumpulkan keuchik atau kepala desa dari tiga kampung, yakni Kulee, Kulam, dan Pasi Beurandeh dari Kecamatan Batee.

“Saya minta tolong ke keuchik di tiga desa ini, siapa yang mau menampung,” kata Wahyudi kepada Tempo, 22 Desember 2023. Namun pertemuan yang berjalan hingga satu jam setelah hari berganti itu berakhir buntu. Ketiga desa sama-sama mau menampung dengan syarat bisa mengelola duit makan untuk para pengungsi yang disediakan oleh IOM dan UNHCR. 

Menemui jalan buntu, Wahyudi akhirnya memutuskan para pengungsi itu dikembalikan ke Laweung. Namun titik pengungsiannya ada di pinggiran hutan yang jauh dari permukiman. Pemindahan para pengungsi dari depan kantor bupati baru selesai dinihari. “Nasib mereka sekarang belum jelas, tapi setidaknya kemarahan masyarakat berkurang,” ujar Wahyudi.

Belum juga sehari para pengungsi tinggal di pinggir hutan, warga Laweung memaksa mereka kembali ke tengah kota. Mereka diturunkan lagi di depan kantor bupati pada Sabtu subuh, 23 Desember 2023. Namun warga Pidie juga menolak dan memaksa mereka berjalan kaki sejauh 1 kilometer ke kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pidie.

“Sampai sekarang mereka masih di sana, nasibnya belum jelas,” tutur Nurmalawati dari Yayasan Bale Seribu Bintang pada 23 Desember 2023.

Mau tak mau, pemerintah pun harus mencari lokasi pengungsian baru. Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, kewenangan penetapan lokasi pengungsi ada di tangan pemerintah.

Pada 6 Desember 2023, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengumpulkan 14 petinggi kementerian dan lembaga untuk menyiasati gelombang pengungsi Rohingya. Mahfud menegaskan bahwa Indonesia akan menjalankan prinsip non-refoulement, tak akan mengembalikan pengungsi ke tempat yang membuat mereka menghadapi persekusi.

Sehari seusai rapat, Kementerian Dalam Negeri mengirim surat ke tiga provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Riau. “Tiga daerah ini pernah menampung pengungsi,” kata Benny M. Saragih, anggota tim Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, 21 Desember 2023.

Meski begitu, Benny mengatakan hingga saat ini belum ada daerah yang melaporkan kesediaan dan kesiapan menyediakan wilayah untuk menampung. “Kami masih menunggu,” ucapnya.

UNHCR pun sudah bersurat resmi kepada pemerintah untuk meminta tambahan pengungsian. Dari sepuluh titik pengungsian di Aceh saat ini, hanya tiga lokasi yang telah lama menjadi tempat mengungsi. “Itu pun sudah overcapacity. Sudah lebih dari 400 orang tertampung padahal kapasitasnya mungkin hanya 300 orang,” ujar Hendrik Therik dari UNHCR.

Meski gelombang penolakan masih besar, ada berbagai kelompok yang membantu para pengungsi. Nurmalawati mengatakan kebanyakan warga yang menolak menilai para pengungsi Rohingya tak tahu aturan, jorok, dan tidak punya akhlak. “Bagaimanapun, mereka hidup dan dibesarkan di tengah konflik berkepanjangan. Kita seharusnya memahami itu,” kata Nurmalawati.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Raihan Lubis dari Banda Aceh berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terusir di Tanah Harapan"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus