Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kaset Rusak Dana Kampanye Ilegal

Temuan PPATK soal dana kampanye ilegal dalam Pemilu 2024 seperti kaset rusak. Hanya bisa diselesaikan penegak hukum.

24 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP musim pemilihan umum, selalu muncul keluhan soal politik biaya tinggi. Namun biaya tinggi ini tak pernah tecermin dalam laporan dana kampanye peserta pemilu. Laporan dana kampanye, baik pemilu legislatif, pemilihan presiden, maupun pemilihan kepala daerah, selalu memuat angka yang masuk akal.

Satu-satunya indikasi formal yang bisa menjustifikasi politik biaya tinggi adalah kebijakan pembentuk undang-undang pemilihan umum yang terus menaikkan batas maksimal sumbangan dana kampanye untuk partai politik dan pasangan calon presiden-wakil presiden. Pada Pemilu 2004, sumbangan dana kampanye dari perseorangan maksimal Rp 100 juta dan badan hukum swasta Rp 750 juta. Sedangkan pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024, batasan donasi individu Rp 2,5 miliar dan Rp 25 miliar untuk kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah.

Masalahnya, pembatasan itu tak berlaku bagi calon legislator atau partai politik yang bisa menyumbang sebanyak apa pun. Skema ini memberikan fleksibilitas luar biasa bagi dominasi uang dalam pembiayaan kampanye. Undang-Undang Pemilu pun tak pernah mengatur pembatasan belanja kampanye (spending cap) peserta pemilu. Jika Undang-Undang Pemilu memungkinkan penggunaan dana besar untuk pembiayaan, kenapa politik biaya tinggi tak pernah tergambar dalam laporan dana kampanye?

Besar kemungkinan pembiayaan itu berasal dari sumber ilegal dan untuk kepentingan ilegal pula. Kondisi itu terkonfirmasi dari pernyataan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, yang menyebutkan peningkatan transaksi mencurigakan terkait dengan Pemilu 2024 sebesar 100 persen. Padahal rekening khusus dana kampanye sebagai satu-satunya penampung aliran dana kampanye cenderung tak bergerak. PPATK menengarai ada aliran dana tambang ilegal dan penyalahgunaan fasilitas pinjaman bank perkreditan rakyat yang diduga dipergunakan untuk kepentingan partai.

PPATK juga memantau adanya ratusan ribu safe deposit box di bank umum swasta nasional dan bank badan usaha milik negara pada rentang Januari 2022-30 September 2023. Dalam suratnya kepada Komisi Pemilihan Umum, PPATK menjelaskan uang dari transaksi itu berpotensi digunakan untuk penggalangan suara (politik uang) yang akan merusak demokrasi Indonesia.

Dugaan skandal dana ilegal untuk pembiayaan kampanye pemilu bukan barang baru. Di setiap pemilu, kecurigaan laporan dana sekadar basa-basi, seperti kaset rusak diputar ulang, tanpa solusi sama sekali. Maka bisa dibilang pengaturan dana kampanye memang secara sistemik didesain untuk tak mampu mewujudkan pengelolaan dana kampanye yang akuntabel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Problematika Pengaturan

Apa penyebab persoalan itu? Pertama, masalah dalam pendefinisian kampanye. Definisi kampanye yang dibuat rigid oleh KPU, yaitu harus memenuhi unsur ajakan memilih serta memuat citra diri berupa nomor urut dan tanda gambar secara kumulatif, membuat banyak aktivitas tak dapat diklasifikasi sebagai kegiatan kampanye. Akibatnya, sejumlah pengeluaran peserta pemilu, seperti pengadaan alat peraga, tak masuk laporan dana kampanye. 

Kedua, ruang lingkup dana kampanye terbatas pada uang, barang, dan jasa untuk membiayai kampanye. Padahal pengeluaran peserta pemilu tak hanya ada di masa kampanye, yang pada Pemilu 2024 berjalan 75 hari. Duit digelontorkan sejak peserta pemilu mempersiapkan pencalonannya. Juga pada masa tenang, hari-H pemilu, dan saat rekapitulasi suara. Tapi itu semua kerap tak dilaporkan. Termasuk biaya saksi di tempat pemungutan suara, yang disebut mahal, kerap tak dilaporkan.

Ketiga, pelaporan dana kampanye kontradiktif dengan sistem pemilu. Untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah yang menerapkan sistem proporsional terbuka, pelaporan dana kampanye dilakukan oleh partai politik. Calon legislator tak memiliki rekening khusus dana kampanye dan laporannya dikirim via partai untuk dikonsolidasi menjadi bagian dari laporan partai. 

Temuan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem (2013, 2020), partai tak mengawal serius kebenaran laporan dana kampanye calon legislator. Banyak calon legislator tak mencatat pengeluaran mereka dan hanya mengira-ngira jumlah pengeluaran kampanye. Pengeluaran itu dicatatkan sebagai sumbangan natura dan jasa untuk partai. Pada pemilihan legislatif 2019, sumbangan tersebut mencakup 84,12 persen dari keseluruhan dana kampanye yang diterima partai.

Keempat, skema laporan tak bisa menjadi rujukan pemilih dan kantor akuntan publik (KAP) untuk menilai kejujuran dan akuntabilitas peserta pemilu karena persoalan batasan waktu. Laporan penerimaan sumbangan dana kampanye, misalnya, disampaikan pada 28 November 2023-11 Februari 2024. Sedangkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dilaporkan kepada KPU paling lama 15 hari seusai pemungutan suara. 

KAP punya waktu mengaudit 15 hari setelah laporan diterima. KAP cuma mengaudit kepatuhan terhadap ketentuan dan prosedur peraturan perundang-undangan. Keluaran audit kepatuhan sebatas opini patuh atau terdapat ketidakpatuhan tanpa mampu membuktikan apalagi menginvestigasi kebenaran laporan dana kampanye tanpa ada rujukan lain.

Kelima, pengawasan dan penegakan hukum yang lemah. Undang-Undang Pemilu memberikan kewenangan pengawasan dana kampanye kepada Badan Pengawas Pemilu. Namun Bawaslu tak punya otoritas untuk mengakses dan menelusuri aliran dana. Dengan pemilu serentak, kombinasi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, serta keterlibatan ratusan ribu calon legislator, tak perlu berharap Bawaslu mau dan mampu menelusuri serta mengungkap aliran dana kampanye ilegal.

Pengawasan dana kampanye pun menjadi isu pinggiran yang bukan prioritas pengawas pemilu. Ketika menyeruak soal dana kampanye ilegal dari PPATK, Bawaslu menyatakan hanya mengawasi rekening khusus dana kampanye dan laporan dana kampanye resmi. Padahal sulit untuk bisa mendapati dana ilegal masuk via rekening atau laporan resmi peserta pemilu. Manipulasi selalu terjadi di ruang gelap dan kotor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rombak Total Aturan

Pendanaan kampanye ilegal dan jual-beli suara merupakan dua hambatan serius bagi konsolidasi banyak negara demokrasi. Belajar dari Meksiko, pintu masuknya melalui penegakan rule of law melalui perombakan total Undang-Undang Pemilu dan sistem pelaporan dana kampanye (Gilles Serra, 2016). 

Indonesia butuh undang-undang khusus yang mengatur keuangan politik secara komprehensif. Dana partai ataupun duit kampanye diatur menyeluruh dan terhubung satu sama lain, sehingga tak ada lagi celah dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas dana politik yang terkait dengan aktivitas partai di luar atau saat siklus pemilu berlangsung. 

Agar penegakan hukum menjadi efektif, diperlukan lembaga serupa Federal Election Commission (FEC) di Amerika Serikat yang khusus dibentuk untuk mengawasi dana kampanye. Dalam pemilu Amerika, FEC punya tugas menegakkan Undang-Undang Keuangan Kampanye Federal, termasuk memantau larangan sumbangan serta membatasi dan mengawasi pendanaan publik untuk kampanye presiden. Dengan begitu, tak ada lagi silang sengkarut soal akuntabilitas, pengawasan, dan penindakan atas pelanggaran ketentuan dana kampanye.

Ruang lingkup dana kampanye pun harus diperluas, mencakup semua dana yang diterima dan dibelanjakan peserta pemilu minimal setahun sebelum dan sesudah berlangsungnya tahapan pemilu. Setiap calon legislator diwajibkan membuat rekening khusus dan melaporkan dana kampanyenya langsung kepada KPU. Rekening khusus dana kampanye serta laporan dana kampanye partai dan semua calon diaudit menyeluruh dengan audit investigatif.

Kini, pada Pemilu 2024, sudah pasti kita akan kembali menemukan laporan dana kampanye yang tak mencerminkan fakta sesungguhnya. Pembuat undang-undang juga tak mungkin mengubah aturan soal dana kampanye. Kita hanya bisa berharap pada aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Penegak hukum harus mengoptimalkan peluang menggunakan semua instrumen hukum di luar Undang-Undang Pemilu. Misalnya, menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. KPK melalui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juga bisa menyelisik potensi keterlibatan penyelenggara negara mengingat banyak peserta pemilu yang berstatus petahana.

Laporan dana kampanye adalah indikator paling mendasar dari integritas dan sikap antikorupsi serta mencerminkan pengelolaan kompetisi pemilu yang adil dan setara. Mengharap iktikad baik peserta pemilu sangat tak mungkin karena aturannya pun sengaja dibuat mandul. Karena itu, negara harus hadir melalui keseriusan berbagai instansi berwenang untuk mengungkap aliran uang kotor temuan PPATK. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kaset Rusak Dana Kampanye Ilegal"

Titi Anggraini

Titi Anggraini

Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus