BERPIHAKKAH angkatan muda terpelajar kita dari kampus dalam
proses Pemilihan Umum 1977 ini? Ajakan Ketua Umum DMUI untuk
memilih parpol hasil penjajagan perbandingan jumlah suara di
kampus ITB pernyataan-pernyataan mahasiswa Bandung dan Sulsel
surat terbuka Generasi Muda Indonesia, pembentukan Forum
Demokrasi dan Hak-Hak Azasi dan entah apa lagi semuanya seolah-
olah memberikan jawaban yang mengiyakan. Namun, benarkah
demikian?
Kita perlu merumuskan kembali arti konsep ketakberpihakan
itu. Menurut hemat saya itu adalah suatu prinsip yang
didasarkan pada kemerdekaan buat tetap mempertahankan sikap
yang adil, dan benar di tengah berbagai kontroversi duniawi.
Ketakberpihakan tidaklah identik dengan sikap eskapis. Sama
sekali tak melibatkan diri ke lalam suatu masalah kemasyarakat
bisa juga berarti suatu sikap berpihak. Seseorang yang
mendiamkan kebenaran dan hanya melibatkan kesewenang-wenangan
merajalela di sekitarnya bisa juga dikatakan berpihak kepada
pelaku kesewenang-wenangan ini. Agaknya karena itulah maka
Arthur Bestor pun berkata dalam In Defense of Intelektual
Integrity (Ecounter, October, 1972) bahwa. Bersikap tak
berpihak objektip dan adil tidaklah berarti meninggalkan
gelanggang. Ketakberpihakan karenanya dalam suatu konsep
dinamis. Ia berada di seberang memilih dan tidak memilih sisi.
Dan ia sangat ditentukan oleh tujuan final yang hendak dicapai.
UTOPIS? REVOLUSIONER?
Tapi apakah sesungguhnya tujuan final dari angkatan muda yang
telah tampil dari bangku kuliahnya selama dua generasi?
Tanpa menampilkan adanya keragaman, tujuan final mereka adalah
suatu masyarakat Indonesia yang bebas dari segala bentuk
penindasan, yang adil dan makmur, dimana hak-hak azasi
dihormati. Sama dengan cita-cita sentral dari Konstitusi kita,
merekapun bertujuan menciptakan suatau bangsa yang terhormat di
tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Tanpa direncanakan suatu tradisi luhur telah dimulai dari
kampus. Sejarah memperlihatkan betapa tingginya kadar integritas
mereka kepada tujuan final tersebut, baik antara Angkatan 28
maupun Angkatan 66 dan satu dua peristiwa kontroversiiltak cukup
kuat utnuk mengusik nama harum yang telah mereka patrikan.
Sukarno-Hatta dan kawan-kawan menggugat penjajahan dari kampus.
Angkatan 66menggugat kediktatoran dari kampus. Mahasiswa kita
sekarang menggugat hal-hal yang mereka oandang tak bisa
ditolerir dalam suatu kehidupan bernegara yang beradab juga dari
kampus.
Nampaknya arah gejala masa datang maish tetap demikian. Jika
potensi TNI memiliki praktis untuk selalu menjaga keutuhan
bangsa, mahasiswa Indonesia memiliki potensi idiil untuk selalu
mengingatkan kita akan arah yang benar bagi Republik ini. Pada
integritas nasional itulah kita seyogyanya membedakan gerakan
mahasiswa kita dengan gerakan mahasiswa-mahasiswa negara maju.
Ada dua faktor objektif yang memungkinkan mahasiswa tak
berpihak.Dalam lembaga pendidikan, merak dilatih untuk berpikir
kritis dan bersikap terbuka. Sebab hanya dengan demikian
kebenaran-kebenaran ilmiah bisa ditemukan dan dipertahankan. Di
lain pihak, meraka umumnya belum terdesak mencari nafkah
sendiri, sehingga tawar-menawar, yang seringkali teramat pahit,
antara kenyataan dengan cita-cita belum mereka hadapi sebagai
tantangan dari hari ke hari Katakanlah sistim patronoge bertahan
secara samar. Perlindungan dan bantuan yang mereka terima
selama kuliah biasanya terletak pada interaksi antara penanggung
biaya pendidilan (biasana orangtua) dengan perguruan tinggi
dan mahasiswa (yang biasanya adalah anak). Sebagian di antara
Ine*ka segera bersuara lain begitu mereka meninggalkan kampus,
karena mereka "terpaksa" mempersembahkan keahliall kepada sekian
kekuatan yang mempunyai tujuan-tujuannya sendiri.
TAK BERFIHAK, TAPI PARTISIPASI
Di sini. ketakberpihakan sebagai konsep hendaknya dilihat dulam
hubungannya dengan tiap sarana atau mekanisme untuk mencapai
tujuan final, dan tidak dalam hubungannya dengan tujuan final
itu sendiri. Untuk yang disebut terakhir, mahasiswa justru
berpartisipasi. Dengan konsep itu mereka bebls berpindah --
tanpa harus berpihak - dari suatu sarana atau mekanisme ke
sarana atau mekanisme lainnya. Komitmen utama mereka adalah
bagaimana mewujudkan tujuan final itu. Ketkkberpihakan dan
partisipasi jadinya merupakan dua wajah yang berlainan dari
sekeping uang logam.
Masih ingatkah kita akan politik koperasi dun non-koperasi yang
mereka lakukan silih berganti di zaman pergerakan kemerdekaan".
Masih ingatkah kita bahwa angkatan mudanya dengan gigih
menentang Sukarno adalah juga mereka yang pernah berdiri
berjam-jam di bawah terik matahari untuk melihatnya lewat
atau mendengarkan pidatona?
Begitulah. Di tengah-tengah sarana atau mekanisme yang ada,
perjuangan mereka tak sepi dari naik-turun pasang-surut
Berpindahnya para mahasiswa kita dari suatu posisi lainnya
seperti yang nampak terjadi dalam Pemilihan Umum terakhir
terutama sekali harus ditinjau dari kemungkinan berubahnya
kondisi yang dihadapi. Dan ini dengan sendirinya menurut
perubahan strategi demi mencapai tujuan final.
Maka tak ada dalih yang cukup kuat untuk curiga kepada
mahasiswa kita. Juga untuk menghambat partisipasi mereka dan
terutama karena mereka mahasiswa -- yang berangkat dari
nilai-nilai moral dan pemahaman akan Konstitusi negaranya
melainkan karena partisipasi segenap kelompok masyarakat memang
merupakan prasyarat bagi demokrasi, apalagi Demokrasi Pancasila
yang per definisi bahkan seharusnya lebih beradab daripada
sekian demokrasi yang kita kenal selama ini.
Samuel Huntington pengamat negara berkembang juga berkata dalam
bukunya yang terakhir No Easy Choice (1976) bahwa tiap
masyarakat yang sementara berubah dari ciri pedesaan yang
sederhana ke ciri perkotaan yang berindustri dan sangat
kompleks "berbagai perubahan pada semua tingkat bentuk dan dasar
partisipasi politik merupakan bagian tak terpisahkan dari
proses peralihan itu".
Pazrtisipasi tak berfihak dari angkatan muda terpelajar kita
bagaimanapun senantiasa kita butuhkan. Paling tidak sebagai
cermin wajah sendiri. Huntington dan Nelson boleh saja
menakut-nakuti kita dengan dua model pembangunan yang bagaikan
buah simalakama: Model teknokratis yang sangat mengekang
partisipasi politik dan terancam oleh purticipation explosian
atau model populis yang sangat terbuka dan terancam oleh
participatio Implosion. Tetapi sejarah biasa memberikan
alternatif-alternatifnya sendiri. Dan buah simalakama saja tak
cukup sah untuk membuat kita berpegang pada asas Machiavelli
yang tanpa moral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini