Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dari Kampus: Ketidakberpihakan ...

Mahasiswa diajak UNK tdk berpihak dlm proses pemilu 1977 suatu konsep dinamis untuk mencapai tujuan final. Mereka bebas berpindah tanpa berpihak. Tidak perlu dicurigai atau dihambat partisipasinya.

2 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERPIHAKKAH angkatan muda terpelajar kita dari kampus dalam proses Pemilihan Umum 1977 ini? Ajakan Ketua Umum DMUI untuk memilih parpol hasil penjajagan perbandingan jumlah suara di kampus ITB pernyataan-pernyataan mahasiswa Bandung dan Sulsel surat terbuka Generasi Muda Indonesia, pembentukan Forum Demokrasi dan Hak-Hak Azasi dan entah apa lagi semuanya seolah- olah memberikan jawaban yang mengiyakan. Namun, benarkah demikian? Kita perlu merumuskan kembali arti konsep ketakberpihakan itu. Menurut hemat saya itu adalah suatu prinsip yang didasarkan pada kemerdekaan buat tetap mempertahankan sikap yang adil, dan benar di tengah berbagai kontroversi duniawi. Ketakberpihakan tidaklah identik dengan sikap eskapis. Sama sekali tak melibatkan diri ke lalam suatu masalah kemasyarakat bisa juga berarti suatu sikap berpihak. Seseorang yang mendiamkan kebenaran dan hanya melibatkan kesewenang-wenangan merajalela di sekitarnya bisa juga dikatakan berpihak kepada pelaku kesewenang-wenangan ini. Agaknya karena itulah maka Arthur Bestor pun berkata dalam In Defense of Intelektual Integrity (Ecounter, October, 1972) bahwa. Bersikap tak berpihak objektip dan adil tidaklah berarti meninggalkan gelanggang. Ketakberpihakan karenanya dalam suatu konsep dinamis. Ia berada di seberang memilih dan tidak memilih sisi. Dan ia sangat ditentukan oleh tujuan final yang hendak dicapai. UTOPIS? REVOLUSIONER? Tapi apakah sesungguhnya tujuan final dari angkatan muda yang telah tampil dari bangku kuliahnya selama dua generasi? Tanpa menampilkan adanya keragaman, tujuan final mereka adalah suatu masyarakat Indonesia yang bebas dari segala bentuk penindasan, yang adil dan makmur, dimana hak-hak azasi dihormati. Sama dengan cita-cita sentral dari Konstitusi kita, merekapun bertujuan menciptakan suatau bangsa yang terhormat di tengah masyarakat bangsa-bangsa. Tanpa direncanakan suatu tradisi luhur telah dimulai dari kampus. Sejarah memperlihatkan betapa tingginya kadar integritas mereka kepada tujuan final tersebut, baik antara Angkatan 28 maupun Angkatan 66 dan satu dua peristiwa kontroversiiltak cukup kuat utnuk mengusik nama harum yang telah mereka patrikan. Sukarno-Hatta dan kawan-kawan menggugat penjajahan dari kampus. Angkatan 66menggugat kediktatoran dari kampus. Mahasiswa kita sekarang menggugat hal-hal yang mereka oandang tak bisa ditolerir dalam suatu kehidupan bernegara yang beradab juga dari kampus. Nampaknya arah gejala masa datang maish tetap demikian. Jika potensi TNI memiliki praktis untuk selalu menjaga keutuhan bangsa, mahasiswa Indonesia memiliki potensi idiil untuk selalu mengingatkan kita akan arah yang benar bagi Republik ini. Pada integritas nasional itulah kita seyogyanya membedakan gerakan mahasiswa kita dengan gerakan mahasiswa-mahasiswa negara maju. Ada dua faktor objektif yang memungkinkan mahasiswa tak berpihak.Dalam lembaga pendidikan, merak dilatih untuk berpikir kritis dan bersikap terbuka. Sebab hanya dengan demikian kebenaran-kebenaran ilmiah bisa ditemukan dan dipertahankan. Di lain pihak, meraka umumnya belum terdesak mencari nafkah sendiri, sehingga tawar-menawar, yang seringkali teramat pahit, antara kenyataan dengan cita-cita belum mereka hadapi sebagai tantangan dari hari ke hari Katakanlah sistim patronoge bertahan secara samar. Perlindungan dan bantuan yang mereka terima selama kuliah biasanya terletak pada interaksi antara penanggung biaya pendidilan (biasana orangtua) dengan perguruan tinggi dan mahasiswa (yang biasanya adalah anak). Sebagian di antara Ine*ka segera bersuara lain begitu mereka meninggalkan kampus, karena mereka "terpaksa" mempersembahkan keahliall kepada sekian kekuatan yang mempunyai tujuan-tujuannya sendiri. TAK BERFIHAK, TAPI PARTISIPASI Di sini. ketakberpihakan sebagai konsep hendaknya dilihat dulam hubungannya dengan tiap sarana atau mekanisme untuk mencapai tujuan final, dan tidak dalam hubungannya dengan tujuan final itu sendiri. Untuk yang disebut terakhir, mahasiswa justru berpartisipasi. Dengan konsep itu mereka bebls berpindah -- tanpa harus berpihak - dari suatu sarana atau mekanisme ke sarana atau mekanisme lainnya. Komitmen utama mereka adalah bagaimana mewujudkan tujuan final itu. Ketkkberpihakan dan partisipasi jadinya merupakan dua wajah yang berlainan dari sekeping uang logam. Masih ingatkah kita akan politik koperasi dun non-koperasi yang mereka lakukan silih berganti di zaman pergerakan kemerdekaan". Masih ingatkah kita bahwa angkatan mudanya dengan gigih menentang Sukarno adalah juga mereka yang pernah berdiri berjam-jam di bawah terik matahari untuk melihatnya lewat atau mendengarkan pidatona? Begitulah. Di tengah-tengah sarana atau mekanisme yang ada, perjuangan mereka tak sepi dari naik-turun pasang-surut Berpindahnya para mahasiswa kita dari suatu posisi lainnya seperti yang nampak terjadi dalam Pemilihan Umum terakhir terutama sekali harus ditinjau dari kemungkinan berubahnya kondisi yang dihadapi. Dan ini dengan sendirinya menurut perubahan strategi demi mencapai tujuan final. Maka tak ada dalih yang cukup kuat untuk curiga kepada mahasiswa kita. Juga untuk menghambat partisipasi mereka dan terutama karena mereka mahasiswa -- yang berangkat dari nilai-nilai moral dan pemahaman akan Konstitusi negaranya melainkan karena partisipasi segenap kelompok masyarakat memang merupakan prasyarat bagi demokrasi, apalagi Demokrasi Pancasila yang per definisi bahkan seharusnya lebih beradab daripada sekian demokrasi yang kita kenal selama ini. Samuel Huntington pengamat negara berkembang juga berkata dalam bukunya yang terakhir No Easy Choice (1976) bahwa tiap masyarakat yang sementara berubah dari ciri pedesaan yang sederhana ke ciri perkotaan yang berindustri dan sangat kompleks "berbagai perubahan pada semua tingkat bentuk dan dasar partisipasi politik merupakan bagian tak terpisahkan dari proses peralihan itu". Pazrtisipasi tak berfihak dari angkatan muda terpelajar kita bagaimanapun senantiasa kita butuhkan. Paling tidak sebagai cermin wajah sendiri. Huntington dan Nelson boleh saja menakut-nakuti kita dengan dua model pembangunan yang bagaikan buah simalakama: Model teknokratis yang sangat mengekang partisipasi politik dan terancam oleh purticipation explosian atau model populis yang sangat terbuka dan terancam oleh participatio Implosion. Tetapi sejarah biasa memberikan alternatif-alternatifnya sendiri. Dan buah simalakama saja tak cukup sah untuk membuat kita berpegang pada asas Machiavelli yang tanpa moral.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus