Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA ada yang bertanya, "Dari mana datangnya cinta?", sebuah klise siap menjawab pertanyaan ini dengan "mudah": dari mata turun ke hati. Tapi, jika tiba-tiba ada yang bertanya, "Dari mana datangnya makna?", tak ada klise yang membuat kita mudah menjawabnya.
Dalam bahasa, kita biasa mendengar orang berkata, "Ada buku di atas lemari itu"; "Motor itu kotor sekali"; "Batu besar itu menghalangi jalan." Mengapa deretan huruf b-u-k-u, m-o-t-o-r, dan b-a-t-u memunculkan makna bagi mereka yang mendengarnya? Dari mana datangnya makna itu?
Para ahli bahasa tradisional lazimnya mencoba menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa deretan huruf yang membentuk kata itu bermakna karena rujukan mereka pada realitas (sifat referensial). Mereka mengatakan bahwa kata "buku" atau "motor" atau "batu" itu bermakna karena langsung menunjuk pada suatu benda yang ada dalam realitas.
Namun Ferdinand de Saussure, linguis dari Swiss, punya tawaran jawaban yang berbeda dan, karena itu, menarik (karena sesungguhnya segala sesuatu yang berbeda itu menarik) terhadap pertanyaan yang terdengar sederhana tapi pelik tersebut. Bagi salah seorang pemikir terpenting abad ke-20 yang buah pemikirannya sangat mempengaruhi berbagai bidang kebudayaan ini, makna muncul bukan karena apa yang inheren ada dalam sesuatu itu sendiri-deretan huruf yang membentuk kata. Juga bukan karena rujukan langsung deretan huruf itu pada realitas. Menurut dia, makna muncul semata-mata karena sesuatu itu berbeda dengan sesuatu yang lain. Pendeknya, makna muncul karena perbedaan.
Ketika kita menulis atau berbicara, misalnya mengatakan "ada buku di atas lemari itu", kita mungkin yakin bahwa kita melakukan tindakan yang bersifat referensial (yakni menunjuk langsung pada realitas), tapi sebenarnya yang kita lakukan adalah suatu tindak komunikasi linguistik khusus (parole) yang muncul dari suatu sistem bahasa sinkronis yang tersedia (langue). Acuan dari tanda tersebut (yakni "buku") adalah pada sistem bahasa, tidak secara langsung pada realitas di dunia.
Deretan huruf b-u-k-u yang kemudian membentuk kata "buku" itu memiliki makna hanya karena berbeda dengan kata-kata lain yang mirip, berkaitan, dan/atau serumpun dalam sebuah sistem bahasa tertentu pada sebuah masa tertentu (bahasa Indonesia): "bulu", "bolu", "buru", dan seterusnya. Inilah yang disebut sifat diferensial dalam bahasa. Penanda "buku" memiliki tempatnya dalam sistem bahasa (la langue) karena posisinya dalam kaitannya dengan berbagai rangkaian bunyi dan kata lain (penanda-penanda yang lain). Menulis atau mengatakan kalimat "ada buku di atas lemari itu" berarti memilih kata "buku" dari serangkaian bunyi (penanda) yang berkaitan-"bulu" atau "bolu" atau "batu" atau "buru" atau "baku" dan seterusnya-serta kata-kata yang berkaitan, seperti "kertas" atau "kitab", dan semua nama khusus buku, seperti buku gambar atau buku tulis.
Pandangan yang dikemukakan Saussure itu juga berarti menegaskan bahwa makna (terutama dalam bahasa) bersifat nonreferensial: sebuah tanda (misalnya "buku") bukanlah sebuah acuan kata pada obyek tertentu di dunia, melainkan suatu kombinasi, yang umum disetujui, antara sebuah penanda (bunyi/citra) dan sebuah petanda (konsep). Dalam bahasa Indonesia, kita menggunakan kata "buku" bukan karena ia secara harfiah menunjuk pada obyek buku tertentu di dunia, melainkan karena penanda "buku" dihubungkan dengan konsep tertentu yang ada dalam kepala penggunanya. Dalam bahasa Inggris, kita menggunakan kata "book" untuk mengacu pada konsep yang sama, dalam bahasa Spanyol "libro", dalam bahasa asli Saussure, bahasa Prancis, penanda itu diwakili kata "livre", dan seterusnya.
Dari sini kita juga bisa melihat bahwa makna muncul karena watak (tanda) bahasa yang bersifat arbitrer, yakni mereka memiliki makna bukan karena fungsi referensialnya, melainkan karena fungsi mereka dalam sebuah sistem linguistik yang hadir pada suatu masa tertentu-bahasa yang hadir dalam suatu masa tertentu disebut sebagai sistem bahasa sinkronis, yang berbeda dengan unsur diakronis bahasa, yang berkembang bersama waktu.
Gagasan Saussure tentang bahasa tersebut bisa diperluas ke wilayah lain: keanekaan, keberagaman, dan perbedaan adat, perilaku, budaya, bahkan keyakinan atau agama, yang sebenarnya merupakan berkah karena justru perbedaan dan keanekaan itulah yang memberi makna pada sesuatu itu. l
Zaim Rofiqi
Penulis cerita pendek, puisi, dan esai; penerjemah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo