Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cuitan Politik Raja Properti

Donald Trump dituduh menggunakan Twitter untuk menyebarkan kebohongan dan kebencian. Mengantarkannya menjadi Presiden Amerika Serikat.

25 Februari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DONALD John Trump memang kontroversial. Banyak pernyataannya yang memicu perdebatan publik di Amerika Serikat, bahkan dunia, terutama ketika Trump menjalani masa kampanye sebagai calon Presiden Amerika dari Partai Republik pada 2015-2016. Tak mengherankan jika pria kelahiran New York, 14 Juni 1946, itu kerap menjadi sorotan pemberitaan media massa, baik di dalam maupun luar Amerika Serikat.

Dalam perkembangannya, kontroversi Trump tak hanya berakhir pada perdebatan publik dan pemberitaan media massa. Tiga tahun terakhir, puluhan buku mengenai Trump telah terbit. Beberapa di antaranya menyajikan analisis dari berbagai pernyataan Trump. Misalnya, Have I Got a Lie for You!: A Fabulous Show of Donald Trump’s Fibs, Fabulations, and Falsehoods (2016), tentang kebohongan Trump selama kampanye-salah satunya soal imigrasi dan perbatasan dengan Meksiko. Ada juga Trump Talking: The Donald, in His Own Words (2016) dan I Am What I Am: 601 Original Quotes and Quips of Donald Trump (2016).

Dari semua buku tentang pernyataan Trump, How Trump Thinks: His Tweets and the Birth of a New Political Language (2017) menjadi salah satu yang paling menarik. Buku itu ditulis oleh dua warga Inggris, Peter Oborne, kolumnis Daily Mail, serta Tom Roberts, peneliti media dan politik. Isinya tentang analisis terhadap cuitan-cuitan Trump di Twitter lewat akun pribadinya, @realDonaldTrump. Kedua penulis memilih berbagai cuitan-dari hampir 35 ribu cuitan-Trump di Twitter pada 2009-2017. Cuitan-cuitan itu dianggap berkontribusi mengantarkan Trump menjadi presiden ke-45 Amerika Serikat.

Menurut Oborne dan Roberts, Trump berhasil mengeksploitasi Twitter melalui cuitan-cuitannya yang mengedepankan sentimen negatif dan kebohongan. Dengan cara itu, Trump seolah-olah membawa kemarahan dan kekecewaan rakyat Amerika kepada pemerintah Barack Obama. Melalui cuitannya, Trump juga secara revolusioner menyuguhkan komunikasi politik secara langsung dengan para pemilih. Walhasil, Trump mendapatkan simpati dari banyak pemilih. "Tweet-tweet Trump layak dipelajari karena mengubah Amerika Serikat dan dunia," kata Oborne dan Roberts dalam buku itu.

Trump membuat akun Twitter @realDonaldTrump pada Maret 2009 atau tiga tahun setelah media sosial itu diluncurkan. Adalah Peter Costanzo, seorang ahli pemasaran, yang meminta Trump membuat akun tersebut. Alasannya, untuk mendorong penjualan buku terbaru Trump saat itu, Think Like a Champion: An Informal Education in Business and Life. Ketika Trump pertama kali nge-tweet pada Mei 2009, hanya 216 akun yang mem-follow dia. Angka itu meningkat perlahan-lahan dalam kurun yang cukup lama. Kini, pengikut Trump sudah mencapai 48,1 juta akun.

Mulanya Trump menggunakan Twitter untuk mempromosikan buku-bukunya dan reality show di televisi, The Apprentice-Trump merupakan produser dan pembawa acaranya. Saat itu, Trump masih tampil sebagai seorang pebisnis yang memimpin The Trump Organization, perusahaan induk semua bisnisnya. Ia jauh dari kesan sebagai seorang politikus. Di Twitter pun Trump tampak bersahabat dengan Bill Clinton dan Hillary Clinton. Begitu juga dengan Obama.

Sikap itu berubah tatkala Trump memasuki ranah politik pada 2011. Ia mulai berada dalam lingkaran wacana sebagai calon Presiden Amerika dari Partai Republik. Cuitan-cuitan Trump kemudian menjadi penuh kritik tajam terhadap berbagai kebijakan pemerintah Obama. Bahkan ia beberapa kali menyerang dengan menggunakan kabar bohong. Lewat telepon selulernya, Trump kerap meluncurkan cuitan yang seakan-akan ingin menciptakan perseteruan dengan pemerintah.

Pada 26 Juli 2011, misalnya, Trump menulis cuitan kritik terhadap kebijakan ekonomi Obama. "Obama, sadly, has no business or private sector background-and it shows (Sayangnya, Obama tidak punya pengalaman bisnis atau sektor swasta-dan itu terlihat)," ujar Trump. Padahal, menurut Oborne dan Roberts, Obama berhasil menurunkan angka pengangguran secara signifikan di Amerika, dari 10 persen di awal menjadi 4,7 persen pada akhir pemerintahannya. Hal ini menunjukkan kondisi perekonomian Amerika di bawah Obama bisa dibilang cukup baik.

Trump juga seakan-akan membangkitkan kesadaran rakyat bahwa Amerika mulai tertinggal oleh negara lain. Salah satunya Cina. "Wake Up America -- China is eating our lunch (Ayo bangun Amerika -- Cina melahap makan siang kita)," cuit Trump pada 3 Agustus 2011. Untuk meningkatkan semangat keamerikaan, Trump berulang kali menggunakan istilah "Let’s Make America Great Again" dalam cuitannya. Istilah itu sebelumnya dipopulerkan presiden ke-40 Amerika, Ronald Reagan, ketika menjalani masa kampanye presiden pada 1980.

Pada masa kampanye, Trump terus melancarkan serangan lewat Twitter kepada pesaingnya, Hillary Clinton, calon presiden dari Partai Demokrat. Pada 2 Januari 2016, misalnya, ia menulis cuitan yang menyebut Hillary tak memiliki kekuatan dan stamina untuk menjadi presiden. Bahkan, dalam berbagai cuitannya, Trump menjuluki Hillary Clinton sebagai "Crooked Hillary". Trump juga menganggap Hillary sama dengan politikus lainnya. "This is the simple fact about @HillaryClinton: she is a typical politician - all talk, no action. #Debates2016 (Ini fakta sederhana tentang Hillary: dia seperti politikus lain - banyak bicara, tanpa aksi nyata)," cuit Trump pada 26 September 2016.

Dengan cerdik, Trump menggunakan Twitter untuk menghubungkannya secara langsung dengan para pemilih. Tak jarang ia melakukan live tweeting dalam acara televisi atau kesempatan di depan publik. Spontanitas inilah yang tidak ditunjukkan Hillary. Sebab, berbeda dengan Trump yang nge-tweet sendiri, isi cuitan Hillary ditentukan timnya dan butuh waktu hingga sembilan jam untuk diunggah ke Twitter. "Selama waktu itu, momentumnya telah terlewat dan sentimennya pun basi," ucap Oborne dan Roberts.

Menurut Oborne dan Roberts, Twitter telah menjadi senjata politik yang mematikan di tangan Trump. Ia menggunakan Twitter untuk menyebarkan kebohongan dengan tujuan menghancurkan musuh politiknya. Trump tidak peduli jika yang ia sampaikan ternyata tidak benar. Para pemilihnya pun tampaknya larut dalam propaganda dengan me-retweet cuitan-cuitan Trump. Mereka bahkan menciptakan istilah "Trump Train", sebuah gerakan untuk mengantarkan Trump ke Gedung Putih.

Pakar media sosial Nukman Luthfie mengatakan sejak awal Trump sudah mengetahui potensi Twitter untuk mendukung berbagai kepentingannya. Karena itu, pada masa kampanye presiden, tak mengherankan jika dia kerap menggunakan Twitter untuk menyerang Hillary dan orang-orang dari Partai Demokrat yang menjadi lawan politiknya. "Tweet-tweet-nya provokatif dan memang dimanfaatkan untuk tujuan dia," kata Nukman.

Bahkan, menurut Nukman, Trump bisa dibilang bersikap out of the box karena tak mau meninggalkan akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump, setelah resmi menjabat Presiden Amerika pada 20 Januari 2017. Padahal, sebelumnya, seseorang yang terpilih menjadi presiden akan melepas akun pribadi untuk sementara dan beralih ke akun POTUS yang dikelola Arsip Nasional Amerika (NARA). Obama, misalnya, melepas akun @BarackObama dan beralih ke @POTUS44, kemudian kembali lagi ke akun pribadinya setelah lengser dari kursi presiden.

Sebaliknya, Trump seperti tak tertarik menggunakan akun @POTUS yang disediakan untuknya. "Dia ingin punya kuasa terhadap akunnya sendiri," ujar Nukman. Sikap itu seolah-olah menegaskan kecintaan Trump kepada Twitter seperti yang pernah ia cuitkan pada 10 November 2012: "I love Twitter... it’s like owning your own newspaper-without the losses (Saya suka Twitter... rasanya seperti memiliki koran sendiri-tanpa kerugian)."

Prihandoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus