Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Departemen Penerangan adalah perangkat negara yang harus melindungi kepentingan-kepentingan negara . Sudah menjadi tugas kami untuk membela apa pun tindakan yang diambil pemerintah."
ALI Moertopo melontarkan pernyataan ini ketika diangkat menjadi Menteri Penerangan RI, selang beberapa pekan setelah pembredelan pers besar-besaran pada 1978. Ia kemudian menjadi arsitek utama di balik proses transformasi fungsi Departemen Penerangan yang jauh melampaui batas fungsi information apparatusseperti lazim dikenal dalam khazanah negara demokrasi modern. (Dhakidae, 1991)
Di bawah kendali Menteri Mashuri dan Ali Moertopo, departemen tersebut secara sistematis mengalami reinkarnasi menjadi perangkat ideologis-represif negara Orde Baru. Lingkup kerjanya tak lagi sebatas fungsi public service pada ranah informasi dan komunikasi, namun terutama sekali menyukseskan program pemerintah, menjaga legitimasi kekuasaan dan ketertiban umum.
Pada tataran praksis, wewenang Departemen Penerangan mencakup tindakan represif yang dianggap perlu terhadap institusi atau individu pers yang "anti-pemerintah" serta unsur sipil yang berani menentang konsensus nasional yang telah ditetapkan negara.
Alih-alih membangun komunikasi timbal-balik antara negara dan masyarakat, yang terjadi dengan Departemen Penerangan kemudian adalah aksi-aksi sepihak negara dalam "menertibkan" ruang publik. Dengan tinggi hati, Negara di sini memposisikan diri sebagai "juru penerang", yang akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang "optimis, bersikap mental positif, serta mempunyai kesadaran bernegara". Dalam kerangka yang sama, pers ditempatkan sebagai bagian dari sistem penerangan nasional yang harus tunduk kepada Departemen Penerangan. (Dhakidae 1991)
Tak pelak, Orde Baru menjadi periode panjang, ketika tindakan "penerangan" secara radikal mengalami transformasi makna dari sekadar tindakan "memberitahukan" menjadi tindakan "memaksakan tafsir kebenaran", dari sekadar tindakan "mengkomunikasikan" menjadi upaya untuk "menyeragamkan pikiran".
Pertanyaannya kemudian, apakah makna fakta-fakta sejarah itu bagi bangsa Indonesia ke depan. Membuka kembali lembaran-lembaran masa lalu yang sarat dengan peng-alaman pahit, menurut Th. Adorno, adalah suatu keharusan imperatif. Ingatan kolektif yang terbentuk harus menjadi sandaran bagi setiap keputusan agar pengalaman pahit di masa lalu tidak terulang.
Namun keharusan imperatif itu tampaknya terbentur oleh fakta bahwa sebagai bangsa, kita mempunyai persoalan serius dalam hal ingatan. Bukan saja ingatan terhadap sesuatu yang telah lampau, namun juga terhadap pengalaman yang belum lama berlalu. Ingatan kita bahkan sudah mulai kabur terhadap apa yang terjadi pada tahun-tahun terakhir sebelum Orde Baru runtuh. Meminjam istilah Eep Saefulloh Fatah (2004), "Masa lalu tak pernah diperiksa, dan kita mengalami amnesia sejarah."
Lupa sejarah! Kesan ini pula yang muncul ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan status Kementerian Komunikasi dan Informasi menjadi Departemen Komunikasi dan Informatika. Beberapa alasan untuk membentuk departemen baru ini sesungguhnya masuk akal. Atas nama efisiensi, fungsi "pos dan telekomunikasi" mungkin memang perlu disubordinasikan di bawah Departemen Komunikasi dan Informatika. Departemen ini di sisi lain juga menjadi alternatif solusi bagi kendala pemerintah dalam melakukan diseminasi informasi dan komunikasi politik.
Namun tetap tidak ada jaminan bahwa sejarah itu tidak terulang: lembaga semacam Departemen Komunikasi dan Informatika lebih difungsikan sebagai repressive-ideologis state apparatus daripada sebagai information apparatus. Se-bab, pada saat yang sama kita menyaksikan upaya sistematis (legal-formal) untuk mengembalikan otoritas pemerintah dalam mengontrol kehidupan pers dan penyiaran, terutama dengan melemahkan legitimasi independent state body semacam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers.
Betapa keras "ikhtiar politik" Kementerian Komunikasi dan Informasi sejauh ini untuk merebut kembali fungsi regulator penyiaran, meskipun UU Penyiaran No. 32/2002 telah mengamanatkan fungsi tersebut kepada KPI. Demikian juga dengan hasrat kementerian itu untuk "membina" kehidupan media cetak juga tidak pernah surut, meskipun UU Pers No. 40/1999 dengan tegas telah melimpahkan peran itu kepada Dewan Pers.
Yang juga terabaikan di sini adalah fakta sejarah bahwa pemerintah tidak berhasil membuktikan diri sebagai regulator yang baik. Ketika otoritas tertinggi di bidang pers dan penyiaran dipegang oleh Departemen Penerangan (dan Departemen Perhubungan), yang terjadi justru monopoli kepemilikan media oleh orang-orang pemerintah dan pengusaha kroni, monopoli kertas, praktek jual-beli frekuensi radio sebagai lahan korupsi, serta mobilisasi dukungan media untuk partai pemerintah (Golkar).
Mempertanyakan keberadaan Departemen Komunikasi dengan demikian adalah upaya "ingat melawan lupa". Pemerintah berusaha mengisolasi proses perumusan kebijakan dari fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya mempunyai relevansi langsung dengan kebijakan itu. Uniknya, unsur masyarakat sipil tak menunjukkan respons signifikan terhadap masalah ini.
Satu lagi fakta pahit yang harus diterima: pembentukan Departemen Komunikasi dan Informatika tidak didahului dengan mekanisme debat publik yang terbuka. Tidak ada opsi buat keterlibatan publik di sini. Keputusan politik itu sepenuhnya menjadi hak prerogatif presiden. Meskipun dalam prakteknya, publik jugalah akhirnya yang pertama-tama menanggung risiko dari kebijakan yang dilahirkan departemen baru itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo