Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Berita Tempo Plus

Menyergap Smokel di Selat Malaka

Penyelundupan di perairan Teluk Nibung, Sumatera Utara, masih sering terjadi. Inilah laporan wartawan Tempo Nugroho Dewanto yang mengikuti operasi penyergapan.

7 Maret 2005 | 00.00 WIB

Menyergap Smokel di Selat Malaka
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senja masih menyemburatkan warna jingga. Namun, di langit, bulan tiga perempat mulai terlihat jelas bersama bintang-bintang. Laut tenang. Angin berembus sepoi-sepoi. Pemandangan dan suasana mengasyikkan di perairan Teluk Nibung seakan menjadi upah perjalanan panjang empat jam dari Pelabuhan Belawan, Medan.

Hari itu saya ikut tim Bea dan Cukai menangkap kapal penyelundup. Tim itu terdiri atas dua petugas khusus dari Jakarta dan 18 awak kapal patroli BC 8001 yang berasal dari Tanjung Balai Karimun, Riau. Wilayah operasi sudah ditetapkan: perairan Teluk Nibung, Sumatera Utara?daerah yang dikenal rawan smokel alias penyelundupan.

Kami bertolak pada Sabtu siang, dua pekan lalu, dari Pelabuhan Belawan. Kapal patroli yang kami gunakan panjangnya 28 meter dan dilengkapi peralatan cukup canggih. Ada alat penentu posisi atau global positioning system (GPS). Juga, radar yang bisa memantau kapal lain hingga radius 12 mil atau sekitar 21,6 kilometer.

Menggunakan mesin bertenaga 2.000 PK, kapal itu mampu melaju sampai kecepatan 23 knot. Jauh lebih cepat ketimbang kapal kayu yang biasa digunakan para penyelundup yang hanya bermesin 360 PK dengan kecepatan 8-10 knot. Di bagian haluan terlihat moncong mitraliur kaliber 12,7. Awak kapal juga dipersenjatai tujuh pucuk senapan semiotomatis Velmet dan dua pucuk revolver.

Laut ramah selama perjalanan menuju Teluk Nibung. Alun ombak hanya seperti buaian. Sesekali gerombolan burung camar terbang menemani kami. Setelah melewati Selat Berhala, kapal mendekati Pulau Pandan dan Pulau Salah Nama. Teringat saya pada pepatah Melayu lama yang sangat terkenal yang agaknya diilhami dua pulau itu:

Pulau Pandan jauh di tengah Di balik Pulau Salah Nama Walau badan hancur dikandung tanah Budi baik dikenang jua

Pada rembang petang kami tiba di perairan Teluk Nibung. Sauh pun dilempar, kira-kira 10 mil dari bibir pantai. Di sini telepon seluler kembali mendapat sinyal walau kadang-kadang hilang. Kemudahan teknologi juga bisa merugikan petugas. Menurut Komandan Patroli, Mahmud, perahu-perahu nelayan yang menjadi antek penyelundup bisa ikut mengirim pesan ke darat mengabarkan kehadiran kami.

Sekarang saat penantian. Sebagian awak mengisi waktu dengan bermain gaple di buritan. Sebuah perahu nelayan tiba-tiba mendekat. Mereka menyorongkan dua ember penuh berisi sotong alias cumi-cumi dan ikan bawal. Anehnya, mereka tak mau dibayar. "Mungkin mereka pernah ditolong kapal patroli," kata Asep, salah seorang petugas dari Jakarta.

Para awak segera meminta juru masak menggoreng bawal. Kami menikmati kudapan sore berupa bawal goreng dengan sambal kecap. Selanjutnya ia menyiapkan makan malam. Dari Belawan ia sudah menyiapkan bahan makanan berupa sayuran, daging, dan bumbu-bumbu dalam boks pendingin. Ada pula buah pisang dan lima ekor ayam hidup untuk bekal dalam perjalanan.

Malam itu kami menyantap nasi dengan lauk daging balado dan sayur kol putih. Saya memuji Syahrul, juru masak kapal, atas hasil kerjanya yang sungguh terasa lezat. "Dia pegawai honorer, kemarin ikut ujian masuk menjadi pegawai tapi belum lulus," kata Nasir, salah seorang awak kapal.

Setelah makan malam, saya kembali menikmati segarnya udara laut. Nakhoda Parlin memberi tahu, saat yang perlu diwaspadai adalah antara pukul 00.00 dan 03.00 dini hari, saat air pasang. Penyelundup biasa memanfaatkannya ketika masuk ke Teluk Nibung agar bisa merapat ke dermaga.

Pukul 22.00 saya memutuskan tidur untuk menyimpan tenaga. Kabin saya yang dilengkapi pendingin udara terasa nyaman. "Nanti kalau ada kapal penyelundup, saya bangunkan," kata Parlin. Awak kapal lainnya mendapat giliran jaga tiap empat jam, masing-masing terdiri atas tiga orang.

Rasanya belum terlalu lama memejamkan mata, saya terbangun mendengar lonceng elektrik kapal yang berbunyi keras dreett... dreett... dreett... tanda bersiap mengangkat sauh. Saya melihat jam, tepat pukul 00.30. Mesin kapal terdengar mulai menderu. Saya bergegas ke ruang kemudi mencari tahu apa yang terjadi.

Di luar langit gelap. Cahaya bulan dan bintang-bintang yang tadinya bersinar gemerlap kini tertutup awan. Parlin memberi tahu radar menangkap gerakan kapal dalam jarak dua mil. "Kami nyalakan lampu sorot, tanda memanggil, mestinya dia mendekat, tapi malah matikan lampu dan terus bergerak," katanya.

Perburuan pun dimulai. Hanya dalam waktu setengah jam, kapal buron berhasil dikejar. Setelah dekat terbaca namanya: KM Fadli Jaya. Kapal itu berukuran GT 173 alias bisa menampung muatan hingga 173 ton. Sewaktu kapal kami mendekat, awak Fadli Jaya buru-buru menaikkan dua bendera. Satu berwarna kuning, yang lain berwarna kotak-kotak hitam putih berukuran kecil.

Pengibaran kedua bendera itu menandakan kapal berasal dari luar negeri dan akan masuk wilayah pabean. Bendera kuning merupakan tanda siap diperiksa petugas karantina, sedangkan bendera kotak-kotak hitam putih menandakan siap diperiksa petugas imigrasi.

Setelah badan kapal saling merapat, Mahmud memanggil nakhoda Fadli Jaya ke atas kapal patroli untuk pemeriksaan dokumen. Rizal, sang nakhoda, mengaku kapalnya bertolak dari Port Klang, Malaysia, menuju pelabuhan Teluk Nibung.

Dari pemeriksaan dokumen, sekilas saja terlihat keanehan. Di sana tercatat berat barang hanya 26 ton. Padahal, barang yang diangkut terlihat menggunung sampai ke bagian atas palka (perut kapal). Menurut daya angkut yang tertera, kapal itu bisa memuat barang hingga 173 ton, bahkan lebih.

Petugas kemudian melakukan pemeriksaan fisik. Asep dan Nasir dibantu beberapa awak lain meloncat ke atas Fadli Jaya. Sejurus kemudian mereka menemukan contoh barang yang tak tertera dalam dokumen berupa kalkulator merek "Sugar" buatan Cina. Setelah didesak, Rizal mengaku kapalnya mengangkut beberapa barang lain yang juga tak tercatat dalam dokumen, contohnya susu, buah asinan, minuman dan makanan ringan.

Mahmud akhirnya memutuskan menyegel muatan Fadli Jaya. Begitu merapat di Teluk Nibung, nakhoda diperintahkan segera melapor ke petugas Bea dan Cukai setempat. Bersamaan dengan perginya Fadli Jaya, awan hitam yang semula menutupi rembulan terkuak. Langit kembali cerah. Saya balik ke kabin, membuat catatan, dan tak terasa jatuh tertidur.

Terbangun pukul 09.00 saya segera mandi dan bergabung dengan para awak yang mengobrol di buritan kapal. Selang beberapa waktu, terlihat bayangan dua buah kapal beriringan di kejauhan. Jaraknya masih sekitar 10 mil. Kami memberi isyarat meminta mereka mendekat. Kapal yang berada di bagian depan terus melaju, tapi tak tampak akan mendekati kami. Sedangkan kapal yang berada di bagian belakang malah terlihat memutar haluan.

Melihat gelagat seperti itu, Parlin segera memerintahkan mengangkat jangkar. Lonceng elektrik kembali terdengar. Mesin kapal dihidupkan. Tapi belum lagi sauh terangkat, haluan kapal yang berada di bagian depan terlihat mulai mengarah ke posisi kami. Jangkar pun urung diangkat dan kami menanti kapal itu merapat.

Setelah jarak makin dekat, terbaca na-ma kapal yang tertera di bagian anjungan: KM Arung Persada. Daya angkutnya 258 ton. Lebih besar ketimbang Fadli Jaya. Ketika dokumen diperiksa, tertera nama barang yang dibawa adalah kacang tanah, bawang merah, tas, sepatu, biskuit, dan kerupuk. Berat keseluruhan 31 ton. Jenis dan bobot muatan nyaris sama dengan bawaan Fadli Jaya semalam.

Lagi-lagi, kejanggalan segera terlihat. Kali ini lantaran dalam salah satu lembar dokumen tertera port clearance (penjelasan) dari pelabuhan asal, yaitu Port Klang, bahwa bobot muatan 130 ton. Dari situ saja ada selisih 99 ton. Melihat hal itu, Mahmud, Parlin, Asep, dan Hidayat berkumpul merundingkan sesuatu.

Sejurus kemudian tampak kesibukan. Mahmud pergi ke kabinnya dan menyiapkan dua pucuk senapan Valmet. Mengisi magasin dengan peluru. Mengokang senapan dan menguncinya kembali, kemudian membagikan kepada dua anak buahnya. Ketegangan menjalar. Apa yang terjadi? "Kita akan menempatkan petugas untuk menjaga kapal Arung Persada dan mengejar kapal yang melarikan diri," ujar Hidayat, petugas khusus dari Jakarta.

Tak lama lonceng elektrik berdering kembali, memberi tanda sauh siap diangkat. Dengan menyandang dua pucuk Valmet, empat petugas berloncatan ke atas kapal Arung Persada. Sebaliknya nakhoda Arung Persada dibawa untuk ikut melakukan pengejaran.

Tepat tengah hari kami mulai bergerak. Mesin terdengar menderu kencang. Kapal segera melaju dengan kecepatan penuh. Di ruang kemudi, Parlin dan Mahmud menyipitkan mata memandang ke arah depan, sementara mualim Sofyan memelototi radar dengan saksama. Mereka berusaha mencari posisi kapal mencurigakan yang melarikan diri itu. Kabut asap tipis sisa kebakaran hutan di semenanjung Malaysia menyelimuti permukaan laut.

Berselang 15 menit, kami berhasil mendekati sebuah kapal. Kecepatan mulai dikurangi. Petugas memberi isyarat agar kapal itu berhenti. Tapi kapal itu terus melaju, kendati perlahan. Setelah jarak cukup dekat, awak kapal itu berteriak kencang. Ia memberi tahu kapalnya cuma membawa belacan dari Pulau Alang menuju Tanjung Balai Asahan. Sayup-sayup aroma menyengat terasi memang tercium dari arah kapal itu.

Kegembiraan yang sempat membuncah mendadak sontak pupus. Mesin kapal kembali menderu. Kami kembali melaju. Sayang, setelah dua jam, pencarian tak membuahkan hasil. Kapal misterius itu seolah hilang ditelan kabut. "Mungkin kapal itu bersembunyi di daerah Sungai Sembilang," kata Parlin menyebut lokasi di sekitar Tanjung Balai Asahan. Ia tak mau ambil risiko menyisir daerah itu. Soalnya, di sana banyak jermal maupun sisa jermal yang bisa merusak baling-baling kapal.

Akhirnya, dengan tangan hampa kami berputar haluan kembali ke posisi semula. "Kita tak bisa meninggalkan empat kawan terlalu lama," ujar Hidayat. Di sana keputusan diambil: Arung Persada akan ditarik ke Belawan. Muatan yang tak tertera dalam dokumen berupa bungkus telepon seluler dicurigai berisi telepon seluler sungguhan.

Menjelang senja, kedua kapal mulai berlayar beriringan. Kami di depan, Arung Persada mengikuti di belakang. Perjalanan menuju Belawan kali ini terasa begitu lamban. Kecepatan kapal hanya 9-10 knot. Dini hari sekitar pukul 03.00 kami memasuki perairan Belawan. Arung Persada merapat di dermaga pangkalan Bea dan Cukai, sedangkan kami merapat di dermaga umum. Lelah setelah seharian mengikuti aksi pengejaran dan perjalanan kembali ke Belawan, saya tertidur pulas di kabin.

Ketika saya terbangun, matahari sudah tinggi. Air di kapal habis. Saya pun mandi di pangkalan yang jaraknya sekitar 300 meter dari dermaga. Pagi itu saya sarapan dengan lontong Medan yang terasa begitu pedas di lidah. Lewat tengah hari, isi kapal mulai dibongkar setelah petugas Bea dan Cukai rampung menyiapkan gudang dan truk pengangkut barang.

Dugaan petugas ternyata agak meleset tentang isi kapal. Di sana tak dijumpai telepon seluler. Namun, petugas menemukan aneka barang yang tak tertera dalam dokumen: berkotak-kotak keju, gelas pemanas, jam tangan dalam bentuk terurai, sarung, dan pengecas baterai telepon genggam merek Samsung dan Nokia, sendok, dan bijih plastik. Pembongkaran barang terus berlanjut.

Lewat tengah malam, apa yang diharapkan akhirnya muncul. Di dalam perut kapal dijumpai ribuan gulung tekstil dan ratusan bal garmen. Bagi Bea dan Cukai, ini terhitung tangkapan besar. Bea masuk tekstil mencapai 10 persen, sedangkan garmen 15 persen. Adapun pajak pertambahan nilai kedua barang itu masing-masing 10 persen.

Ada pula sebuah kotak kayu besar seukuran mobil Isuzu Panther. Isinya instalasi untuk pembangkit listrik tenaga uap. Sebuah hasil yang cukup memuaskan untuk operasi selama dua hari itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus