Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagasan bahwa Jabodetabek harus direncanakan dan dibangun secara konseptual sebagai suatu kesatuan memang sudah seusia Bang Ali. Tiga puluh tahun lampau, Bang Ali melontarkan gagasan itu, dan kini, dua pekan lalu, ia mengangkatnya kembali ke hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dan Gubernur Sutiyoso yang tahu diri atas keterbatasan popularitasnya, nebeng Bang Ali untuk isu serumit ini.
De facto, wilayah dengan jumlah penduduk lebih dari 20 juta itu telah menyatu sebagai suatu pasar, pusat produksi-konsumsi yang dominan di Indonesia. Bertambahnya prasarana jaringan telah memperkuat bentuk itu sebagai suatu entitas sosiologis. Secara ekologis pun, para aktivis telah berulang kali berteriak: perencanaan masa depan jangan dibatasi hanya oleh batas administratif, melainkan pada kesatuan watershed area.
Jabodetabek bukanlah satu-satunya wilayah dengan karakteristik demikian. Ada juga Gerbangkertasusila (Surabaya dan sekitarnya), Semarang dan sekitarnya, dan tak lama lagi mungkin Makassar dan sekitarnya, serta Medan dan sekitarnya.
Sesudah Perang Dunia II, kita memang menyaksikan ledakan kota-kota besar di dunia, yang jumlah terbesarnya di negara-negara berkembang berukuran raksasa seperti Indonesia, Cina, dan India. Dan tentang Jabodetabek, "perencanaannya" telah dilakukan berulang kali di masa lampau. Kelembagaan koordinasi pun dibentuk. Tapi semuanya dianggap tak berdaya guna. Apa pasal? Benarkah masalahnya ada pada fragmentasi kepemerintahan dan karena itu harus dijawab dengan penyatuan di bawah satu kepemerintahan?
Aglomerasi perkotaan terjadi karena terdorong oleh industri yang telah mencapai economies of scale, di samping tekanan pertumbuhan penduduk dan keuntungan-keuntungan mobilitas sosial-budaya yang ditawarkannya. Pertama-tama ada istilah metropolis, sejak abad ke-18, untuk Jakarta atau Batavia ketika itu. Salah satu sifatnya yang penting adalah primacy yang tinggi. Sebuah metropolis atau kota-raya secara mencolok mendominasi wilayah sekitarnya, sambil menciptakan saling ketergantungan di antara mereka. Kedudukannya seperti satu induk dan anak-anaknya yang masih menyusui.
Istilah-istilah baru seperti megacities dan megalopolis sangat menekankan karakter primacy keseluruhan aglomerasi perkotaan ini terhadap wilayah sekitarnya yang lebih luas lagi, bahkan terhadap keseluruhan negara atau kawasan antarnegara. Lihatlah aglomerasi pada kawasan yang disingkat Boswash (Boston, New York, Philadelphia, Baltimore, dan Washington), atau Chipitts (Chicago, Detroit, dan Pittsburgh), Tokaido (Tokyo, Yokohama, Nagoya, Kyoto, dan Osaka), dan Sansan (dari San Francisco sampai San Diego), serta kawasan pantai barat Belanda dari Amsterdam sampai Rotterdam.
Istilah megalopolis berasal dari Lewis Mumford (The Culture of Cities, 1938) yang pandangannya memang sangat negatif mengenai kota-besar. Bagi Mumford, megalopolis adalah jalan menuju Nekropolis, kota kematian tempat daging menjadi debu dan kehidupan menjadi pilar garam yang tak berarti. Dalam buku puncak kariernya, The City in History (1961), megalopolis digambarkan di bawah judul-judul negatif yang mengerikan: Accretions of Power, The Slavery of Large Numbers, The Tentacular Bureaucracy, The Removal of Limits, Sprawling Giantism, The Shadow of Success, dan The Bursting Container. Sewaktu menulis bukunya, New Yorklah yang ada di dalam benaknya, tapi tak dapat disangkal bahwa tulisan Mumford menggambarkan sebagian keadaan Jakarta sekarang, misalnya:
"Pengurasan daya fisik, kekalahan mental, dari lingkungan-lingkungan yang mengekang ini, jalan-jalan yang kumuh, ketergesaan dan bising terminal: banyak darinya telah menghantui mereka yang makmur dan berhasil maupun kaum proletar yang terbenam.
" kota-kota melebar tanpa tujuan, memotong urat nadi keberadaan regionalnya, mencemarkan sarangnya sendiri, berupaya meraih langit sesudah bulan: makin banyak keuntungan di atas kertas, makin banyak tiruan palsu dalam kehidupan. Di bawah rezim demikian, makin besarlah kekuasaan yang tergenggam oleh sejumlah orang yang makin lama makin sedikit...
"Di dalam metropolitan ini, kertas, tinta dan seluloid lebih nyata daripada daging dan darah. Di dalamnya, sejumlah besar massa rakyat, karena tak mampu meraih kehidupan yang lebih memuaskan, menganggap hidup sebagai kepalsuan, dan bersikap sebagai pembaca, penonton, pengamat pasif saja: mereka menatap orang-orang ganas yang memerah kehidupan dalam pemogokan atau kerusuhan, arena tinju ataupun serangan militer, padahal untuk menolak tirani kecil yang berupa atasan langsungnya pun mereka tidak memiliki nyali ."
Jean Gottmann (1961) mengalihkan perhatian dari diskusi sosial kultural ke diskusi tata-ruang fungsional. Dia mendefinisikan megalopolis sebagai bentangan urban dan suburban yang hampir sambung-menyambung, memiliki konsentrasi penduduk yang besar dengan kepadatan rata-rata yang relatif tinggi dalam suatu bentang kawasan yang luas dan berhubungan satu sama lain melalui jalur komunikasi cepat.
Istilah megacities dipopulerkan terutama oleh Janice Perlman (Time Magazine, January, 11, 1993), dengan merujuk kepada kecenderungan regionalisasi yang makin nyata, dan menyambungnya kota-kota menjadi kumpulan yang lebih besar (conurbation) yang melibatkan jumlah penduduk hingga 20 juta atau lebih. Ini merupakan kesempatan untuk memperluas bidang kerja perencanaan tata ruang, regional planning, suatu proyek baru bagi para perencana fisik dan ekonomi yang bersama-sama dengan kapital terus memekarkan ambisinya untuk menguasai struktur ruang yang makin besar. Bagi Castells (1998), ciri khas dari megacities masa kini: terhubung secara global dan tercerabut secara lokal, baik secara fisik maupun secara sosial.
Metropolis juga senantiasa diasosiasikan dengan pencakar langit (dalam bahasa Inggris dan Prancis: skyscrapers dan gratte-ciel) atau pencakar awan (dalam bahasa Jerman dan Belanda: Wolkenkratzer dan wolkenkrabber), seperti kota Babilonia diasosiasikan dengan Menara Babel. Tersirat di sini, budaya metropolis yang tak terdiri dari satu, tetapi banyak bangsa yang berbeda bahasa, meski berkumpul dan tersatukan oleh ambisi bersama: menegakkan firdaus di bumi. Mayoritas penduduk Jakarta adalah pendatang, yang tertarik oleh ambisi itu.
Integrasi yang sangat ketat untuk meningkatkan efisiensi dan, karena itu, daya saing global dari aglomerasi perkotaan raksasa ini, juga sekaligus diperlukan untuk mencegah kegagalannya sebagai mesin ekonomi harapan seluruh negara maupun sebagai tempat bermukim yang bermutu. Ada integrasi multisektor dan integrasi keruangan antarwilayah.
Kenyataannya, kedua integrasi itu sama sekali belum efektif, sekalipun di dalam masing-masing wilayah yang sudah berada di bawah satu payung administrasi kepemerintahan. Jakarta, misalnya, menyengsarakan penghuninya karena tidak ada integrasi yang memuaskan antara rencana transportasi dan rencana tata guna lahan. Memang, integrasi kewilayahan dapat memperbaiki integrasi multisektor (pada tingkat ruang lebih luas). Tetapi teranglah bahwa integrasi administratif kepemerintahan tidak otomatis menjamin integrasi substantif.
Cara berpikir bahwa integrasi harus identik dengan satu payung pemerintahan adalah absurd. Bukankah semua wilayah Indonesia sebenarnya sudah terintegrasi ke dalam satu payung kepemerintahan NKRI? Sedangkan beberapa wilayah Indonesia seperti Riau bahkan lebih dekat secara geografis maupun ekonomi, bahkan kultural, dengan Singapura atau Malaysia. Hal itu tak berarti kita harus menyatukan mereka dengan negara jiran itu secara kepemerintahan; sementara secara ekonomi justru baik dikaitkan, misalnya melalui konsep zona pembangunan ekonomi bersama. Sebaliknya adalah wilayah metropolitan Tokyo dan sekitarnya: terdiri dari bagian-bagian beberapa prefektur yang berbeda, tetapi patuh pada satu rencana/skenario besar yang disepakati bersama.
Kuncinya adalah substansi perencanaan dan sumber daya manusia yang disiplin dalam menegakkan pembangunan sesuai dengan rencana yang dipatuhi bersama. Di atas segalanya, harus ada rasa kepemilikan seluruh penduduk, yang hanya dapat dicapai melalui proses komunikasi sosial-politik yang baik. Perencanaan dan koordinasi lintas batas adalah tantangan yang biasa saja, tak usah didramatisasi.
Dinamika yang muncul dari negosiasi antara wilayah-wilayah otonom yang setara justru menguntungkan karena dapat meningkatkan efisiensi, melepaskan diri dari hegemoni yang cenderung tidak adil dan tidak efisien. Contohnya adalah masalah sampah Jakarta, yang selama puluhan tahun sebelum reformasi tak pernah dibahas secara terbuka, tidak efisien, dan membebani wilayah sekitar secara semena-mena. Sekarang, Jakarta terpaksa bernegosiasi secara setara, rasional dan terbuka dengan kabupaten jiran. Hal ini menguntungkan publik karena mereka menjadi tahu biaya sesungguhnya dari sampah mereka, dan dapat mengikuti proses perumusan kebijakan secara transparan. Dalam jangka panjang, justru dinamika ini bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi internal di dalam Jakarta sendiri, misalnya bila dijadikan dorongan untuk mengurangi produksi sampah secara sistematis.
Bahwa dalam proses negosiasi terjadi kerja yang tak mudah, itu berarti pemerintah harus bekerja lebih keras, bukan menggampangkannya dengan mengkooptasi wilayah-wilayah jiran di bawah payung kepemerintahannya, yang justru akan menghapus dinamika yang menguntungkan tersebut. Karena itu, megapolitanisme sebagai suatu konsep pembangunan tak perlu menjadi megalomania dalam pemusatan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo