Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Amerika Serikat berencana memulihkan program International Military and Education Training (IMET) untuk Tentara Nasional Indonesia yang telah dibekukan sejak 1992. Indonesia, kata Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, telah "memenuhi syarat" untuk diikutsertakan kembali dalam program itu. Prakarsa ini datang dari Gedung Putih, namun realisasinya akan sangat bergantung pada dinamika internal di Kongres dan Senat, yang berwenang menolak atau menyetujuinya.
Pernyataan bahwa Indonesia telah "memenuhi syarat" ini menegaskan bahwa program IMET, seperti pinjaman dan bantuan luar negeri lainnya, senantiasa disertai serenceng persyaratan. Ini hal yang lumrah dalam diplomasi internasional yang, suka atau tidak, kerap didasarkan atas kaidah klasik: there's no such thing as free lunch.
Cina, misalnya, sudah terkena embargo senjata AS dan Uni Eropa (UE) sejak Insiden Tiananmen dua dasawarsa silam. Belakangan, niat UE mencabut embargo ditentang AS yang menjadikan isu itu sebagai bargaining chip dalam tarik-menarik kepentingan di antara ketiga kekuatan ekonomi dunia itu. Seperti Cina, syarat "resmi" yang diterapkan AS (plus UE dan Australia) kepada Indonesia adalah komitmen atas penegakan HAM.
Niat Washington memulihkan hubungan militer kedua negara yang terputus akibat insiden bumi hangus di Timor Leste 1999 sejatinya bukan hal baru. Ketika Megawati Soekarnoputri menduduki kursi kepresidenan pada 2001, Gedung Putih mengisyaratkan niat serupa, tapi realisasinya terhambat Kongres dan Senat AS. Mereka menilai TNI tak serius menegakkan HAM, terutama menyangkut penyelesaian hukum kasus pelanggaran HAM di Timor Leste dan insiden penyerangan dua warga AS di Timika, Papua.
Tak seperti Cina yang secara swadaya mencukupi kebutuhan pertahanannya, Indonesia sangat tergantung pada pasokan peranti militer dari luar negeri. Penanganan bencana di Aceh menunjukkan betapa compang-campingnya peranti TNI akibat larangan penjualan senjata berikut suku cadangnya dari AS dan UE. Dalam kaitan ini, sentimen ultranasionalis, yang diserukan sebagian kalangan DPR, untuk menolak pemulihan program IMET bila disertai "syarat penegakan HAM", terasa kurang realistis.
Kita bisa berargumen bahwa AS telah kehilangan dasar moral untuk menyantelkan persyaratan HAM kepada TNI, mengingat "prestasi" tentaranya dalam pelanggaran HAM di Afganistan, Irak, dan Guantanamo, Kuba. Namun, argumen moral ini "kurang bunyi" dalam real politics internasional yang, apa boleh buat, lebih ditentukan oleh real power. TNI memerlukan IMET, bukan saja agar para perwiranya yang lama terisolasi bisa tampil ke panggung pergaulan militer dunia, tapi karena program itu membuka peluang bagi ketersediaan sumber daya manusia untuk memodernisasi sistem pertahanan nasional.
Hal itu bukan berarti Indonesia sama sekali tak punya chip untuk tawar-menawar dengan AS. Posisi tawar Jakarta sempat "naik" ketika Washington mendesak Megawati agar melibas "Islam radikal" yang mereka tuding sebagai kaki tangan Usamah bin Ladin dengan iming-iming, di antaranya, pemulihan kerja sama militer. Syukurlah, Megawati menolak proposal ini setelah menimbang implikasinya atas stabilitas politik dalam negeri.
Dalam konteks perubahan keamanan global pascatragedi 11 September 2001, bisa jadi rencana pemulihan program IMET bukan tawaran "makan siang gratis" semata. AS memerlukan mitra handal di Indonesia, negara muslim terbesar di dunia, dalam "perang melawan teror"-nya. Namun, akan sangat tidak taktis bila pemerintahan Bush mengulang proposal yang sama kepada Presiden Yudhoyono. Maka, IMET, komponen edukasi yang tak terkait langsung dengan program belanja senjata yang lebih sensitif dan strategis, adalah pintu yang relatif aman untuk melibatkan militer Indonesia. Apalagi, banyak pihak di AS sendiri mengkritik pembekuan program IMET.
Pembekuan program yang telah melahirkan sejumlah perwira "moderat" ini?Yudhoyono salah satunya?dinilai sebagai langkah kontraproduktif yang turut memicu tumbuhnya generasi perwira TNI yang inward looking, bahkan cenderung xenofobia. Di tengah menguatnya sentimen global anti-AS, pemulihan program IMET tampaknya diniatkan sebagai upaya jangka panjang untuk menumbuhkan jajaran perwira TNI, yang kalau tidak berempati, setidaknya tidak bersikap antipati, terhadap AS.
Jadi, terpulang kepada pemerintahan Yudhoyono untuk piawai menjemput peluang internasional tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional. Namun, jelas, kontroversi persyaratan HAM dalam IMET itu menegaskan keharusan bagi TNI untuk menuntaskan reformasi internalnya, terutama menyangkut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM secara kredibel dan akuntabel, tanpa tekanan luar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo