STING menyanyi tentang Cili, sebuah negeri yang jauh. Ia menyeru kepada Tuan Pinochet, ia mengutuk, dan ia meramal: "mereka" (para penguasa, tentu) akan "menari di atas kubur". Kita tak tahu kapan. Di Amerika Latin, dan di Afrika, dan di Asia, para penguasa tidak mudah diramalkan awal dan akhirnya. Yang jelas hanya ini: dengan atau tanpa tokoh macam Pinochet - yang kaku dan angker - orang berbisik terus, di tempat-tempat itu, tentang dua kutub yang tidak seimbang: "masyarakat warga negara" yang melempem dan "negara" yang kekar. Pada suatu tahap, semua ini dianggap wajar. Para ahli bilang itu sudah semestinya. Demokrasi seperti di Barat memang mustahil. Para warga negara toh tak punya kekuatan sosial-ekonomi. Negara tidak lagi tampak sebagai monster yang paling dingin hatinya, tapi Superman yang sibuk. Negara pegang peran di mana-mana - dan hal mengurus pembangunan ekonomi sampai dengan mengurus syair. Juga, seperti di Singapura, mengurus potongan rambut. Syahdan, suatu kekuasaan semacam otoriter-birokratik (katakanlah SOB) pun muncul. Tapi kemudian angin berubah embusnya. Tahun 1980-an, kata seorang penulis, adalah dasawarsa habis-napas bagi SOB. Terutama di Amerika Latin. Pemerintah-pemerintah yang bersifat otoriter-birokratik di sana, seperti Brasil dan Argentina, kepergok keruwetan politik dan ekonomi. Legitimasi mereka terguncang-guncang. Mereka tak mampu memecahkan soal-soal yang muncul dalam suasana ekonomi internasional di tahun 1980-an ini. Ada entakan proteksionisme yang dibalas dengan entakan proteksionisme, ada jatuhnya harga minyak dan, terutama, ada meningkatnya beban utang yang harus segera dibayar. Dengan segala akibatnya. Segera tampak bahwa kapasitas negara akhirnya terbatas juga. Lebih terbatas lagi kemampuannya untuk memelihara suatu tingkat, juga suatu momentum, pertumbuhan ekonomi. Sang Superman bisa tampak kendur dan ruwet bagaikan supermi. Orang pun mulai membahas kembali baain1ana sebaiknya hubungan antara negara dan masyarakat warga negara, antara state dan civil socety. Salah seorang yang membahas masalah ini di kalangan SOB di Amerika Latin adalah Alfred Stepan. Ia melihat bahwa meskipun masa "habis-napas" sudah tampak, negara itu sendiri masih penting perannya. Tujuan mereka yang menguasainya, juga kontradiksi yang ada di lapisan kekuasaan itu, masih menentukan. Begitu pula kemampuan negara untuk menindak (atau "menindas") dan kapasitasnya untuk mengadakan perubahan ekonomi. Namun, pada saat yang sama, inisiatif ke arah perubahan berembus. Dari kancah masyarakat warga negara. Apa gerangan yang mungkin terjadi dari perkembangan itu? Stepan mengajukan, secara kasarnya, empat kemungkinan. Yang pertama: bila kekuasaan negara tumbuh, maka kekuatan masyarakat warga negara pun melemah. Dengan kata lain, sebuah keadaan zero-sum. Yang kedua: hubungan kekuasaan antara keduanya bisa positivesMm, yang artinya, kira-kira, ketika kekuasaan negara bertambah, kekuatan masyarakat warga negara juga meningkat. Yang ketiga sebahknya, suatu negative-sum: pada saat kekuatan negara berkurang, ternyata kekuatan civil society juga berkurang. Dan akhirnya, tentu, adanya kemungkinan bahwa pada saat kekuatan-kekuatan yang bekerja di luar aparat negara mencuat, mereka yang ada di dalam birokrasi pun berkurang. Stepan punya empat kasus: Cili, Uruguay, Argentina, dan Brasil. Di keempat negeri itu, pemerintahan SOB bermula dengan peremukan semua kekuatan di masyarakat, sementara negara meneguhkan kemampuannya mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Dari keempat contoh itu, kata Stepan, hanya di Brasil kita jumpai suatu keadaan yang positive-zum, meskipun pendek umurnya: di sana, masyarakat warga negara mulai membentuk kembali institusi-institusinya, sementara negara terus memperoleh tambahan kapasitasnya. Di Cili ncgeri yang diteriaki marah oleh Sting itu kemampuan masyarakat tetap terjerembab di hadapan kekuasaan negara, meskipun belakangan ini tampak negara berkurang sedikit kekuatannya. Di Uruguay, masa awal disusul keadaan stagnasi: baik kekuatan negara maupun kekuatan masyarakat sama-sama tak meningkat dalam usaha mencapai tujuan mereka. Dan akhirnya Argentina yang tetap menangis, kali ini untuk dirinya sendiri. Dari tahwn 1979 sampai 1981 negeri ini mengalami kemunduran ke dalam suatu interaksi negative-sum. Baik kekuatan masyarakat maupun kekuatan negara merosot. Hanya setelah kekalahan di Malvinas lembaga-lembaga sipil mulai menyusun diri kembali - tapi dalam suasana ketika pemerintah yang dipegang militer itu praktis runtuh. Kesimpulan yang bisa ditarik dari semua itu mungkin hanya penting bagi para ahli ilmu politik yang tertarik akan metodologi. Bagi banyak orang lain, kesimpulannya lebih panas di tangan: bahwa deregulasi - atau pengurangan peran negara sebagai Superman - adalah sesuatu yang tampaknya tak dapat dihindari. Tapi akibatnya bisa bervariasi. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini