TAK ada pawai artis dan hura-hura. Forum Film Bandung (FFB) yang pertama sudah berakhir. Ketua Regu Pengamat FFB, Dr. Sudjoko, mengumumkan hasil "festival film swasta" ini di rumah makan Babakan Siliwangi, Bandung, Jumat dua pekan lalu, tanpa dihadiri insan perfilman. Penyerahan piala dilangsungkan Sabtu pekan ini, bertepatan dengan perayaan HUT Kota Bandung ke-82. Keputusan regu pengamat - istilah yang dipakai untuk juri - yang trdiri atas Sudjoko (Ketua), Drs. Saini K.M., Drs. Sutardjo A. Wiramihardja, Duduh Durahman, Yayat Hendayana, Eddy D. Iskandar, Us Tiarsa R, Harnawan, S.H., dan Suyatna Anirun, menetapkan film Cintaku di Rumah Susun sebagai film nasional terpuji. Penghargaan diberikan untuk film Penginapan Bu Broto dan Kasmaran. Untuk film impor, ada tiga film, semuanya dengan status terpuji. Yakni Falling in Love, No Way Out, dan Nowhere to Hide. Mengapa terpuji? "Ingin istilah lain saja, dan ini tak menunjukkan film terungPul " kata Sudjoko yang berkali-kali menjadi juri FFI (Festival Film Indonesia). Dengan istilah terpuji, regu pengamat sepakat untuk tidak punya anggapan bahwa film pilihan itu mutlak yang terbaik. "Karena itulah film yang dipilih untuk dipujikan, boleh jadi ada beberapa atau lebih dari satu," kata dosen ITB ini. FFB didirikan September tahun lalu oleh sekelompok peminat film di Bandung. Karena kegiatan ini dikaitkan dengan HUT Kota Bandung yang jatuh bulan April, maka FFB I hanya bekerja 7 bulan, sampai Maret. Untuk film nasional, semua aspek dinilai, seperti halnya FFI. Sedang film impor yang dinilal hanya film secara keseluruhan, tanpa mencari pemain atau sutradara terbaik. Setiap pengamat mendapat kartu bebas menonton di semua gedung bioskop di Bandung. Boleh menonton kapan saja dan sendiri-sendiri. "Saya sendiri setiap minggu menonton tiga film," kata Sudjoko. Lebih dari 200 film yang ditonton regu pengamat. Akhir Maret, sembilan pengamat itu mendiskusikan 15 buah film secara serius, sampai perlu memutar ulang. Dari jumlah itu, film nasional "hanya beberapa, dan nilainya pun hanya sedang," kata Sudjoko, tanpa menyebut angka. Kesimpulan para pengamat, film nasional - yang diputar di Bandung - mutunya memudar. Mengapa pilihan jatuh pada Rumah Susun? "Secara tajuk (tema), film ini telah merambah kawasan baru tentang manusia Indonesia di kota besar dan dalam lingkungan yang sama sekali asing, ialah penghuni rumah susun. Aneka masalah timbul. Nya Abbas Akup sebagai sutradara telah menampilkannya dalam warna lain, yakni warnaguyon. Inilah nilai lebih di samping permasalahan yang menyeluruh tentang insaninsan gria susun," kata Sudjoko. Melalui film ini, FFB memberikan penghargaan untuk Nya Abbas Akup sebagai pengarang lakon (skenario). Sebagai perbandingan, dalam FFI '87 Rumah Susun mendapatkan 7 nominasi, dan akhirnya memenangkan Piala Citra untuk tata artistik. Penginapan mendapat penghargaan karena menonjolkan wajah budaya serta warna daerah dengan percakapan menggelitik. Kelebihannya, melukiskan percintaan tulus antara duda dan perawan tua. "Tidak ada kesan nakal dan mesum di sini, seperti galibnya dalam film-film Indonesia. Hanya sayang, cerita Penginapan nyaris lelar, mengulang, rutin karena hasil bakuan drama seri televisi Losmen sehingga kalah menarik dibandingkan Rumah Susun," ujar Sudjoko. Film ini belum diadu dalam FFI. Kasmaran, juga produksi baru, pertimbangan FFB adalah: "Sebenarnya bisa utuh sebagai lakon lacak (deteaive story), jika saja Slamet Rahardjo tidak merombak sebagian alurnya. Jenis lakon lacak dalam film Indonesia memang masih langka, padahal kisah-kisah semacam ini menggunung di kepolisian. Nilai lebih dari Kasmaran adalah dalarn penggarapan filmiahnya." Film yang dibintangi Ida Iasha ini ternyata mendapat "Citra" terbanyak dari FFB. Istilah yang dipakai adalah penghargaan. Itu diterima Slamet Rahardjo (sutradara), Karsono Hadi (penyunting), dan Ira Wibowo (pelakon pembantu wanita). Pelakon pembantu pria jatuh pada Didi Petet dalam film Cacatan Si Boy. Satu lagi penghargaan perorangan, yakni special effects untuk El Badrun dalam film Kelabang Seribu. Ternyata, FFB tak berhasil memilih pelakon utama, pengisi musik, juru kamera, dan lainnya lagi untuk diberi penghargaan karena tak ada yang memenuhi syarat mutu. Kebalikan pada film impor. FFB mencatat justru film impor, terutama film Barat, banyak bermutu. "Ini menembirakan masyarakat dan sekaligus menyulitkan Regu Pengamat FFB untuk memilih film yang terpuji," ujar Sudjoko. Dalam perdebatan ramai dibicarakan film Blue Velvet dan Hamburger Hill sebelum menetapkan tiga film terpuji itu. Begitu pentingkah FFB dalam kancah perfilman nasional? Menurut Ir. Chand Parwez Servia, Ketua Regu Pengurus (Panitia) FFB, forum ini penting untuk meningkatkan apresiasi penonton. "Banyak film baik yang tidak laku, ini artinya apresiasi penonton film di Bandung belum merata," katanya. Karena itulah FFB akan terus diselengarakan. Hasil pengamatan secara berkala disebarkan lewat buletin, sedang hasil tahunan dan penghargaan dibenkan setlap bulan April. "Untuk film asing importirnya yang menerima penghargaan," kata Parwez, yang juga Ketua I GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) Cabang Bandung. Lagi pula, biaya FFB murah, hanya Rp 1 juta. "Itu pun untuk biaya pertemuan," ujar Parwez. "Para pengamat tidak mendapat bayaran, untuk buletin kami punya percetakan. Untuk piala ada sumbangan dari Pematung Sunaryo dan piala itu khas Bandung karena ada simbol Dasasila Bandung." Tinggal sekarang bagaimana wibawa forum ini di mata pekerja film. Putu Setia & Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini