SESOSOK mayat yang diduga mati karena tenggelam ditemukan masyarakat di semak-semak di pinggir pantai Kairatu, Pulau Seram. Wajah mayat itu rusak karena lebih dari sehari semalam tertelungkup di pasir. Begitu juga sidik jarinya. Tapi di kantung celananya ditemukan identitas berupa KTP sementara atas nama Bambang Wicaksono, beralamat Kelurahan Tipes, Solo. Mayat itu setelah diperiksa polisi Polsek Piru - jantungnya diambil dan dikirim ke Labkrim Ujungpandang - lalu dikuburkan. Beberapari kemudian, seorang "ahli waris" Almarhum, Gregorius Ustanto, datang dari Solo ke Piru, diantar Mayor Pol. Made Ratmara, Kasubdit Serse Umum merangkap Komandan Provost Polda Maluku. Ustanto meminta visum kematian Bambang dari puskesmas dan polisi setempat. Tidak disangka-sangka, ternyata semua itu hanya sebuah sandiwara yang diatur oleh sebuah mafia asuransi. Seorang mengaku bernama Bambang Wicaksono, sebelumnya diasuransikan jiwanya oleh komplotan itu ke tiga perusahaan asuransi di Jakarta sebesar US$ 2,5 juta, dan di beberapa perusahaan asuransi lagi di Singapura. Setelah itu, komplotan tadi membunuh seorang lainnya, Yusak Suroso - dengan identitas Bambang Wicaksono - di perairan Ambon dan membuang mayatnya di Kairatu. Lebih mengagetkan lagi, seperti diumumkan Direktur Reserse Mabes Polri, Kol. Pok Koesparmono Irsan, Selasa pekan lalu, selain melibat beberapa pengusaha, mahasiswa, dan seorang dokter, komplotan itu dipimpin seorang perwira polisi, Mayor Made Ratmara tadi. Mafia asuransi itu terbongkar bermula dari kedatangan beberapa pengacara dari Kantor Pengacara Gani Djemat, selaku kuasa tiga perusahaan asuransi: New Hampshire, Nasuha, dan Vita Life, ke kantor Koesparmono, pada akhir Februari lalu. Pengacara itu menyampaikan kecurigaan atas kematian Bambang Wicaksono, nasabah ketiga perusahaan asuransi itu. Kecurigaan itu berdasarkan data bahwa Almarhum sebelum meninggal sudah membuat testamen, dengan akta notaris, yang menyebutkan ahli warisnya Gregorius Ustanto dan pesan: "Kalau ia mati mayatnya harap dibakar dan abunya dibuang ke laut." Reserse kawakan itu seketika curiga. "Agamanya Islam, kok, mayatnya harus dibakar," kata Koesparmono. Koes segera mengumpulkan stafnya. Ia memutuskan mengirim seorang perwira penyidik, Mayor Drs. Alex Bambang Riatmodjo, S.H. Tersebut terakhir berangkat ke Ambon secara diam-diam - tanpa melapor ke Polda setempat. Alex terpilih karena ia, yang menyelesaikan sarjana hukumnya di Universitas Pattimura, dianggap menguasai medan di Maluku. Koes bukan tidak khawatir akan risiko yang dihadapi anak buahnya itu. Sebab itu, sebelum Alex berangkat, ia mengaku bersembahyang tahajud. "Saya sampai menitikkan air mata," katanya. Keesokan harinya, 4 Maret lalu, Alex Bambang - lulusan Akabri 1977 - sampai di Ambon. Ia melacak rute perjalanan Bambang Wicaksono dari Ambon ke Piru sampai ke tempat mayat ditemukan di Kairatu. Dari dua nelayan asal Buton, ia mendapat keterangan berharga. Sehari sebelum mayat Bambang ditemukan, mereka mengaku melihat dua speedboat warna merah dan abu-abu berjalan beriringan. Penyidikan kemudian mengarah ke orang penting di Polda Maluku, yaitu Mayor Made Ratmara. Sebab, banyak saksi mengetahui bahwa Bambang teman akrab Made. Tapi anehnya Made tenang-tenang saja bagaikan tak kenal dengan korban. Sebab itu, Alex menduga, Made, lulusan Akabri 1973 itu, terlibat. Ia melaporkan keganjilan itu kepada komandannya, di Jakarta. Koes segera memerintahkan operasi terbuka. Pada hari ke-4 di Maluku, Alex pun menghadap Kapolda Maluku, Kolonel Drs. J. Maitimu, untuk mengadakan operasi terbuka. Maitimu setuju. Kubur Bambang dibongkar. Ternyata, mayat itu panjangnya 160 cm. Padahal, pada data asuransi, tinggi Bambang Wicaksono 155 cm. Artinya, mayat itu jelas bukan Bambang. Belakangan muncul pula fakta baru. Berdasarkan hasil pemeriksaan Labkrim Polda Sulawesi Selatan, paru-paru korban tidak kemasukan air laut. Artinya, korban mati sebelum tenggelam. Dalam tempo 10 hari anggota komplotan itu digulung. Pada 16 Maret, Abraham Supakua, seorang guru SMP Desa Tamilo, dan Bernardus Kakiai, seorang pengangguran, Tata alias Oei Lai Hing, pemborong di Piru, ditangkap. Mereka mengaku membunuh Yusak atas suruhan Made Ratmara. Dua hari kemudian keluar surat perintah penangkapan terhadap Made Ratmara. Tersangka itu teryata mencoba kabur melalui lapangan udara Pattimura. Ketika diserap di situ. ia masih mencoba meloloskan diri dengan sepeda motor. Tapi hari itu juga ia tertangkap. Mayor polisi yang memiliki hotel di Bali itu kini ditahan Pom ABRI Ambon. Dua kaki tangannya yang ditangkap ialah R. Romulessin dan Lambert Kakiai. Setelah tertangkapnya komplotan Ambon ini, giliran jaringan Yogya menyusul digulung. Mayor Alex segera memburu ke Yogyakarta. Pada 28 Maret, Benny Mulyanto, pengusaha Yogya, yang diduga ikut membiayai komplotan itu, ditangkap. Menyusul Haryo alias Tri Kadaryono, bekas mahasiswa, yang tugasnya mencari korban. Kemudian tertangkap pula "tokoh utama" Bambang Wicaksono, yang nama sebenarnya Dwi Suroso, 31 tahun. Ayah seorang anak ini pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM. Setelah itu, menyusul Gregorius Ustanto, yang dalam komplotan ini bertindak sebagai ahli waris Bamban Wicaksono. Tokoh penting lainnya yang dibekuk di Yogya adalah Dokter John B. Wuryadi dokter kehakiman di kepolisian Yogyakarta. John, dokter Kehakiman RSUP dan dosen UGM itu adalah sahabat Made ketika perwira polisi itu berdinas di Yogyakarta. Ia memang dikenal orang dekat polisi Yogya. Kendati begitu, tiga tokoh di balik layar - diperkirakan otak komplotan itu - tiga orang warga negara India, Ashok Punjabi, Vijay Mulani, dan Hares Manwani lolos dari penangkapan. Dan sampai kini buron. Tapi Kapolwil Yogya Kol. Soegiyo yakin, buron itu belum kabur ke luar negeri. "Saya yakin, ia masih di Indonesia, dalam waktu dekat pasti tertangkap," katanya. Pada Desember 1986, Benny, pengusaha apotek dan pompa bensin yang usahanya lagi surut, menemui Ashok. Pengusaha India itu baru saja membeli tokonya di Malioboro. Benny waktu itu kesulitan karena terlibat utang sebesar Rp 600 juta. "Kalau ada pengusaha, khususnya yang keturunan India, kekurangan modal, mereka pasti lari ke Ashok," kata Kapolwil Soegiyo. Tapi Ashok mengajak Benny bekerja sama membobol asuransi. Kecuali Benny, Ashok membawa pula dua orang temannya, Vijay Mulani, pegawai di Gandhi Memorial School, dan Hares Manwani, seorang salesman bahan pakaian, keduanya dari Jakarta. Benny setuju asal korbannya memang mati kecelakaan, bukan dibunuh. Untuk membiayai "proyek" itu, disepakati bahwa kelompok Ashok memodali Rp 60 juta (60 persen), sementara Benny Rp 40 juta (40 persen). Tapi selain itu Benny juga harus menyiapkan orang yang akan dipalsukan identitasnya, ahli waris "sang korban", dan beking yang sanggup mengurus surat kematian serta visum. Benny segera mengontak teman lamannya, Mayor Made Ratmara, yang pernah menjabat Kasatserse di Yogya, sebelum dipindahkan ke Ambon. Made setuju. "Saya yang memimpin operasinya," kata perwira itu. Untuk itu ia minta bagian Rp 160 juta bila proyek itu sukses. Pada Maret 1987, Made datang ke Yogya untuk mematangkan rencana. Mereka Made, Benny, dan Ashok - sepakat mencari mayat korban kecelakaan untuk disulap seolah-olah pemegang polis, yang mati karena "kecelakaan". Lokasi kecelakaan ditentukan di Ambon. Dana pertama didrop Benny sebesar Rp 20 juta. Tinggal siapa orang yang akan diasuransikan. Benny mengusulkan orangnya: Dwi Suroso, karyawan pompa bensin miliknya. Komplotan itu setuju. Dwi Suroso pun disulap menjadi Bambang Wicaksono seorang "pengusaha tekstil". Seorang teman Benny, Gregorius Ustanto, yang di kampungnya kepala keamanan, ditunjuk mengurus KTP. Ustanto pula--yang ditunjuk menjadi ahli waris Bambang - orang yang akan mendapat santunan asuransi nantinya. Sementara itu, Made memasukkan pula seorang teman dekatnya Dokter John Wuryadi menjadi perancang "proyek itu". Sebelum rapat ditutup, Made, sambil mengeluarkan pistolnya, menuntut sebuah ikrar: "Siapa pun yang mundur atau berhenti akan mati. The show must go on," katanya. Bulan berikutnya, Dwi Suroso sudah berubah menjadi Bambang Wicaksono yang perlente. Ia dibawa Hares Manwani ke Singapura untuk menandatangani penutupan asuransi Jiwa atas namanya di tiga perusahaan asuransi: Prodential Assurance, The Great Eastern Life Company, dan Winterthur Assurance - belum diketahui nilai pertanggungannya. "Itu sedang kami lacak," kata Koesparmono Irsan. Setelah itu, sang "pengusaha" Bambang menutup pula pertanggungan di tiga perusahaan asuransi di Jakarta: Hampshire, Nasuha, dan Vita Life sebesar US$ 2.500.000. Selesai urusan asuransi, Bambang dikirim ke Ambon, 25 Juni 1987. Sebagaimana layaknya pengusaha tekstil, ia didandani dengan safari dan jam tangan mahal serta tidur di Hotel Manise Ambon. Selain itu, disediakan pula mobil Corolla DX, nomor polisi E 6116, warna merah, kiriman dari Jawa. Bahkan untuk operasi di laut, ia dikirimi pula sebuah speedboat . Walau tak bisa berenang, Bambang Wicaksono diajar mengendarai speedboat. "Ini bos saya, pengusaha besar. Tolong diajar mengemudikan speedboat kata Tata kepada Baeng, pemilik speedb,at di situ. Baeng kemudian mengajak Bambang mondar-mondar di sekitar perairan Ambon - agar jika nanti Bambang dikabarkan mati tenggelam, tidak mencurigakan penduduk. Ternyata, sampai beberapa bulan kemudian, tidak ada mayat korban kecelakaan. Sebab itu, Made, yang sudah tak sabaran, mendesak Benny mengirim saja calon korban untuk "diselesaikan" di Ambon. Benny tak setuju. Made marah dan mengingatkan ikrar tempo hari: Mundur atau berhenti, berarti mati! Akhirnya, Benny mengalah dan merekrut Haryo, seorang bekas mahasiswa, untuk mencari mangsa. Sasaran pertama Haryo adalah Sukir dari Muntilan. Bekas kuli itu dikirim ke Ambon. Ternyata, ia selamat walau sudah diracun dua kali dan sekali hampir ditenggelamkan (lihat Kisah Seorang Calon Korban). Karena gagal membunuh Sukir, Made menelepon Benny agar Bambang saja yang dikorbankan. Tapi Benny tak tega. Toh, Made "menggarap" Bambang Wicaksono. Pada 4 Novemher lalu, speedboat yang ditumpangi Wicaksono dilubangi. Maksudnya agar Bambang bersama speedboat-nya tenggelam begitu sampai di tengah laut. Tapi Tuhan belum memperkenankan. Kendati tak bisa berenang, Bambang selamat karena ia ditemani empat orang nelayan setempat. Sebab itu, pertengahan November, Made minta dikirimi korban baru. Kelompok Yogya menyodorkan calon baru bernama Untung alias Solihkin, 20 tahun. Pemuda berandal, suka cukur gundul, dan selalu mangkal di Malioboro, ini bersedia diajak ke Ambon dengan janji akan diberi pekerjaan menarik. Untung, yang beken di Malioboro sebagai pencopet, itu dibunuh setibanya di Ambon. Agar wajahnya rusak dan tak dikenali mayat Untung, setelah diberi pemberat, dibenamkan ke laut. Tapi celakanya, ketika hendak diambil kembali, mayat itu hilang entah dibawa arus atau dimakan ikan. "Mayat itu hilang, karena dana monitor tidak ada," Made melapor kepada Benny. Karena masih gagal, 5 Desember 1987, Made dan Tata datang ke Yogya mengevaluasi kegagalan mereka. Di situ diputuskan mencari korban baru. Komplotan itu menemukan Yusak Susilo alias Lauw Kuang Thai dari Solo, 31 tahun, yang cuma berpendidikan sampai kelas III SD. Bujanganitu, akhir tahun lalu, diterbangkan ke Ambon. Keluarga Yusak membuat pengumuman di harian Sara Merdeka, tentang hilangnya Yusak. Benny sempat panik membaca pengumuman itu dan meminta Made mengirimkan Yusak kembali. Tapi Made tak peduli. Yusak, anak penjual bakmi itu, tetap dibunuh pada 4 Januari. Empat orang suruhan Made - Abraham Sapakua, Bernardus Kakiai, Lembert Kakiai R. Romulessin, dan Tata - memberi Yusak minuman Johnny Walker, hingga mabuk. Setelah itu baru diracun. Tubuh korban diikat, sementara kantungnya diisi KTP atas atas nama Bambang Wicaksono, sebelum ditenggelamkan dengan alat pemberat. Sejam kemudian mayat diangkat dan dibuang di hutan bakau air itu. Toh komplotan itu gagal juga. Modus operansi mafia asuransi tersebut memang bukan barang baru bagi dunia asuransi. Enam tahun lalu polisi pernah pula menggulung kejahatan serupa yang diotaki Freddy S. Lesmanto. Korbannya Hendrik Benyamin, yang sebelumnya dipertanggungkan jiwanya ke perusahaan asuransi Periscope dengan nilai pertanggungan US$ I juta. Lebih hebat lagi salah seorang dari anggota komplotan itu, dan kemudian bertindak sebagai ahli waris, adalah istri sah Hendrik sendiri, Nyonya Tantia. Tapi sebelum klaim itu cair, polisi telah mencium kejahatan itu. Sebab, Nyonya Tantia, yang mengaku sudah 21 tahun kawin dengan Hendrik, ternyata baru dinikahi Mendiang 2 tahun sebelum ia meninggal. Otak komplotan itu, Freddy S. Lesmanto alias Lie Sin Gin, akhirnya mengaku membunuh Hendrik. Bukan hanya itu, polisi mengungkapkan pula kejahatan Freddy sebelumnya. Pada 1975, ia mengasuransikan Robert Kalalo dan Jeffry pada asuransi Tjahaya dan Independent masing-masing senilai Rp 50 juta. Robert dan Jeffry kemudian mati ketabrak truk di Sidoarjo - penabraknya kabur. Komplotan itu sukses karena klaim mereka dibayar perusahaan asuransi. Pada 1978, Freddy kembali beraksi. Ia mengasuransikan Soehanto Kawilarang dengan pertanggungan Rp 175 juta di tiga perusahaan asuransi (Ramayana, Indrapura, dan Royal Indrapura) dengan ahli waris Soehandi, adik Soehanto. Nasib Soehanto mirip Robert, mati tertabrak di Solo. Tapi klaim asuransinya ditolak ketiga perusahaan tadi. Perusahaan asuransi curiga karena komplotan itu sangat terburu-buru mengkremasikan mayat korban (TEMPO, 2 Januari 1982). Lama tak terdengar kini kejahatan asuransi dengan modus serupa muncul lagi. Komplotan Made, selain lebih canggih dan bermodal besar, juga "diotaki" orang-orang "kelas atas". Memang semakin penjahat terpelajar, semakin canggih pula kejahatannya. Widi Yarmanto, Muchsin Lubis, dan I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini