Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reza Syawawi
Peneliti Hukum Transparency International Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Konflik kepentingan adalah akar korupsi”. Pernyataan ini berawal dari sebuah hipotesis bahwa masalah korupsi pada dasarnya bermula dari minimnya pengendalian konflik kepentingan dalam jabatan-jabatan publik. Konflik kepentingan mengemuka ketika terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang mendahulukan kepentingan pribadi atau kelompok dibanding kepentingan negara atau masyarakat luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Transparency International secara global mengungkap relasi korupsi dengan konflik kepentingan melalui pendefinisian korupsi sebagai “penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi”. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga memberikan definisi yang mengaitkan konflik kepentingan dengan korupsi, yakni “konflik kepentingan terjadi ketika seseorang atau suatu perusahaan (baik swasta maupun pemerintah) berada dalam suatu posisi untuk mengeksploitasi kapasitas profesional atau resmi mereka dalam suatu cara untuk keuntungan pribadi atau perusahaan”.
Dalam konteks lembaga legislatif, sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat baru yang berlatar belakang pebisnis atau pengusaha sudah tentu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (Koran Tempo, 3 Oktober 2019). Maka, perlu ada mitigasi sejauh mana regulasi mampu mencegah terjadinya konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas-tugas DPR di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Jika menelisik Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak ada norma yang secara khusus mengatur soal konflik kepentingan. Undang-undang itu hanya menyebutkan kewajiban anggota, yang salah satunya berbunyi “mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan”. Namun tidak dijelaskan apa dan bagaimana mekanisme internalnya agar anggota Dewan melaksanakan kewajiban tersebut. Undang-undang itu hanya menyediakan mekanisme penanganan pengaduan melalui Mahkamah Kehormatan Dewan ketika kewajiban tersebut tidak diindahkan oleh anggota.
Jika belajar dari standar global, pengendalian konflik kepentingan sebagai bagian dari pencegahan korupsi perlu diatur dalam beragam konteks. Bagi pejabat publik, misalnya, ada ketentuan yang mewajibkannya mendeklarasikan potensi konflik kepentingan, baik menyangkut aktivitas sampingan, investasi, aset, maupun suatu manfaat yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan fungsinya sebagai pejabat publik. Hal ini tercantum dalam Pasal 8 Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC).
Dalam isu yang lain, para pejabat publik yang bertanggung jawab atas pengadaan barang dan jasa perlu membuat pernyataan jika terjadi konflik kepentingan (Pasal 9). Bahkan, bagi kalangan swasta, pencegahan benturan kepentingan merupakan bagian dari standar untuk menjaga integritas ketika berhubungan dengan negara atau pejabat publik (Pasal 12).
Konflik kepentingan memiliki dimensi yang amat luas. Tidak hanya karena adanya afiliasi bisnis tertentu, tapi juga melingkupi kepentingan dan hubungan apa pun yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Bisa saja ia bersumber dari hubungan atau kepentingan dengan partai politik, kekerabatan atau pertemanan, balas budi, dan lain-lain.
Jika menelisik ke belakang, banyak kasus korupsi yang tidak hanya disebabkan oleh irisan kepentingan yang berkaitan dengan partai politik, tapi juga kepentingan lain. Apalagi semua kepentingan itu saling menyokong. Ada kasus korupsi yang melibatkan satu keluarga (suami, istri, dan anak). Ada pula kasus korupsi yang terjadi karena memperdagangkan pengaruh yang sama sekali tidak berhubungan dengan jabatannya.
Jika dibandingkan, pengaturan konflik kepentingan di dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan lebih rinci dan spesifik. Dalam undang-undang itu, pejabat pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan, misalnya, dilarang menetapkan keputusan atau melakukan tindakan.
Undang-undang ini menempatkan menteri sebagai salah satu pihak yang berpotensi memiliki konflik kepentingan, sehingga menteri tersebut tidak boleh mengambil keputusan. Dalam situasi semacam ini, hanya presiden yang berhak mengambil keputusan.
Jika dibandingkan dengan komposisi anggota DPR saat ini, potensi penyalahgunaan kewenangan dan pengaruh untuk keuntungan bisnisnya tentu akan jauh lebih besar. Dalam konteks ini, minimnya pengaturan di dalam undang-undang seharusnya ditanggapi DPR dengan mengatur lebih rinci pengendalian konflik kepentingan.
Setidaknya secara garis besar ada tiga hal yang perlu diatur. Pertama, merumuskan definisi dan praktik konflik kepentingan yang mungkin muncul dalam pelaksanaan tugas DPR. Kedua, perlu ada mekanisme agar semua anggota DPR mendeklarasikan secara terbuka soal kepentingan bisnis pribadi dan keluarganya. Ketiga, dalam hal adanya pembahasan atau pengambilan keputusan dalam pelaksanaan tugas atau kewenangan DPR, perlu diatur agar setiap anggota yang memiliki konflik kepentingan menyatakan secara terbuka di dalam forum dan tidak terlibat dalam proses pembahasan hingga pengambilan keputusan.