Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majelis Syariah, Majelis Kehormatan, dan Majelis Pertimbangan, saya menyebutnya tiga lembaga elite Partai Persatuan Pembangunan (PPP), secara resmi, telah memberhentikan Suharso Monoarfa (Sumo) dari jabatan Ketua Umum PPP (5/9/22).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai pengganti, telah ditunjuk pula Pelaksana tugas (Plt): Muhammad Mardiono. Anggota Wantimpres dengan total kekayaan 1,2 T itu mungkin dianggap figur yang paling pas saat ini. Terlebih jika untuk kepentingan menghadapi “perlawanan” dari pihak Sumo nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah bukan rahasia, konflik terbuka itu merupakan buntut dari pernyataan tentang “amplop kiai” yang disampaikan Sumo saat acara Pembekalan Politik Cerdas Berintegritas di KPK beberapa waktu lalu.
Protes keras terhadap Ketua Umum yang juga Meneg PPN dan Kepala Bappenas itu sudah bergulir dalam beberapa pekan terakhir. Ada yang mendesak agar Presiden memecatnya. Bahkan ada pula yang telah melaporkan ke Bareskrim Polri. Tuduhannya tak main-main: menghina kiai!
Memang pemberitaannya tak seheboh “skandal Duren Tiga” yang menyeret hampir seratus perwira Polri, dan atau kasus mega korupsi lahan sawit Surya Darmaji, misalnya. Namun soal “amplop kiai” itu, bagi saya, merupakan tragedi. Cerita yang menyedihkan untuk partai berlambang kakbah itu khususnya.
Bayangkan saja, seorang Ketua Umum Partai berbasis Islam yang masih mengandalkan dukungan dari para kiai, tetapi justru telah (dianggap) menghinanya. Tentu ini akan menjadi catatan buruk. Apalagi sebagai menteri. Kesalahan demikian bisa menjadi beban dan memperburuk citra pemerintahan.
Betapa hiruk pikuk politik saat ini masih selalu saja diramaikan dengan aneka peristiwa dan isu yang justru tak mencerdaskan, dan berujung konflik semata, juga sangat menyedihkan kita semua. Politik seharusnya memberdayakan.
Keseleo Lidah
Awalnya, saya menduga Sumo hanya salah ucap. “Keseleo lidah” seperti itu sebenarnya hal biasa. Dapat menimpa siapa saja. Tak pandang bulu. Baik pejabat, tokoh agama, maupun rakyat jelata bisa mengalaminya.
Kesalahan mengucapkan sesuatu biasanya berkaitan dengan “transposisi fonetik”. Ini terjadi di mana baik huruf vokal, konsonan, maupun morfem diucapkan dengan tidak tepat. Bahkan terbolak-balik.
Fenomena itu lazim disebut Spoonerisme. Istilah yang dinisbahkan kepada William Archibald Spooner (w.1930) dari Oxford Inggris, yang memang sering berbicara begitu. Selip lidah (slip of the tongue) yang timbul karena lidah penuturnya “keseleo”. Pemicunya, bisa karena kegugupan, terlalu cepat berbicara, atau kurang konsentrasi.
Mungkinkah Sumo mengidap Spoonerisme? Kita tak tahu pasti. Sejauh ini kita hanya menyaksikan dia tampil berpidato, baik sebagai menteri maupun Ketua Umum Partai, cara penyampaiannya enak. Runut dan runtut. Juga meyakinkan.
Saya sendiri pernah bareng di Komisi VII pada 2004-2005 dulu, mengenalnya sebagai orang yang “fasih” berbicara. Apalagi menyangkut angka-angka. Maklum, di Komisi yang membidangi ESDM itu mesti mempunyai kecakapan detail berkaitan dengan perhitungan migas, dan lain-lain. Sumo sangat mumpuni di bidang itu.
Namun ihwal keseleo lidah memang bukan semata masalah transposisi fonetik. Gejala ini justru lebih dapat dipahami sebagai persoalan psikologis. Ada istilah Freudian Slips atau Parapraxis. Bahwa kesalahan berbicara diyakini merupakan ungkapan yang sebenarnya yang ada di alam bawah sadar seseorang.
Sigmund Freud (w.1856), penemu teori itu, dengan psiko-analalisisnya meyakinkan: alam bawah sadar merupakan “gudang” yang menyimpan segala pikiran, kenangan, motif, dan keinginan yang tak terungkapkan.
Biasanya, seseorang akan terus menekan dan membatasi untuk mengungkapkan sesuatu. Namun, alam bawah sadar bisa menjebolnya secara spontan, seketika. Maka ketika seseorang keceplosan menyatakan sesuatu secara tak disengaja, misalnya, itu bukan murni kebetulan.
Tetapi hal itu merupakan kondisi di mana “sensor” pikiran tengah mengalami kerusakan dalam memroses informasi yang harus diungkapkan. Di sini, keseleo lidah menunjukkan kondisi psikologis yang mendalam pada seseorang.
Tradisi Bisyarah
Tentu tak elok jika kita harus menilai terlalu jauh kondisi psikologis seseorang. Ini ranah batiniyah. Nahnu nahkumu bil-dzawahir; waLlahu yahkumu bil-bawathin. Demikian dinasihatkan. Bahwa kita menilai dari yang tampak saja; adapun yang tersembunyi biarlah Allah yang menghakimi.
Yang kita tahu, Sumo adalah politisi senior. Dia sudah kenyang makan asam garam politik. Dua periode menjadi Anggota DPRRI (sejak 2004), dua kali menjadi menteri, dan pernah menjabat Wantimpres (2015-2019), sudah sangat cukup untuk mengukur kompetensi politiknya. Rekam jejak di dunia akademik dan profesional, juga terbilang panjang.
Ketika dia dipercaya menggantikan Romahurmuzy sebagai Ketua Umum PPP, pada akhir Maret 2019, tertambat harapan besar: partai ini akan makin berkibar. Dia tampil pada saat yang tepat ketika PPP benar-benar tengah “berduka” karena berturut-turut dua Ketua Umumnya dicokok KPK.
Jika kemudian dia harus segera membersihkan anasir-anasir koruptif di partainya, itu agenda utama yang tak bisa lagi ditunda. Sebagai Ketua Umum partai berbasis Islam, dia harus menjunjung tinggi moralitas, mewujudkan praktek politik berintegritas. Sebagai partai tertua, PPP tak boleh salah langkah.
Saya yakin, dengan segala “bekal” kemampuan dan komitmennya itu, Sumo bukan tidak tahu akar masalah korupsi yang sebenarnya. Persoalan money politics, dan sebangsanya, tentu dia sangat paham. Namun, ketika "sekadar pemberian kepada kiai" kemudian ditafsirkannya sebagai bagian dari praktek korupsi, inilah yang jadi persoalan.
“Ada kesalahpahaman saja,” kata Sumo, enteng. Seolah tak ada masalah. Padahal, justru di sini kesalahan besar terjadi. Bahwa seorang Ketua Umum partai yang sekaligus pejabat tinggi, tidak berbicara secara mendasar tentang upaya pencegahan korupsi.
Bagaimana, misalnya, mewujudkan Pileg dan Pilpres yang lebih efisien, tanpa politik uang? Bagaimana setiap calon dalam Pilkada bebas dari segala pungutan, dlsb, adalah beberapa hal yang lebih layak disampaikan di hadapan KPK.
Dan masih sangat banyak hal yang bisa dicontohkan sebagai kategori suap (risywah) di sana. Risywah tentu beda dengan “sekedar pemberian” atau bisyarah (baca: bisyaroh). Ketika yang disebut terakhir ini harus dibawa ke forum KPK, maka sama saja telah menganggapnya sebagai persoalan korupsi juga.
Bisyarah, di lingkungan masyarakat pesantren khususnya, merupakan kelaziman. Bahkan sudah menjadi tradisi untuk “ngalap berkah” kiai. Dari sononya, ya begitu. Tanpa motif politik. Karena bisyarah itu sendiri berarti hadiah, sesuatu yang membahagiakan.
Masyarakat Jawa mengartikannya dengan “bebungah”. Terambil dari kata dasar “bungah” yang berarti senang atau bahagia. Rumusnya sederhana: dengan membahagiakan kiai, orang saleh, maka doa akan mengalir, kita akan “kecipratan” kesalehan dan kebaikannya.
Meskipun kita tak memungkiri, istilah bisyarah itu sendiri pernah salah kaprah digunakan. Viral juga pada 2019, karena menjadi pembahasan dalam persidangan terbuka tentang “jual beli” jabatan di lingkungan Kemenag yang akhirnya menyeret Ketua Umum Romahurmuzy saat itu. Juga beberapa pejabat Kemenag Jatim.
Mungkin, persoalan itulah yang selalu “menghantui” Sumo selama ini. WaLlahu a'lam.
Kalisuren, 6 September 2022