Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Yerusalem, justru di Yerusalem, percayakah orang bahwa manusia itu diciptakan dari Ruh yang satu? Bahwa agama-agama dengan Tuhan-Yang-Tunggal, yang menegaskan jejak mereka yang cemas dan keras beratus-ratus tahun di kota itu, sungguh-sungguh yakin bahwa manusia—yang diharapkan menyembah Khalik yang sama—dianggap bisa berbagi keluhan tentang ketidakadilan?
Memang agak ganjil dan mungkin menyedihkan, bahwa di Yerusalem, justru di Yerusalem, kita bertanya bisakah manusia bersepakat menolak kesewenang-wenangan—dan bisakah kita berbicara tentang manusia sebagai ”sesama”.
Hari-hari ini, Israel membangun permukiman untuk warga Israel yang Yahudi di Yerusalem Timur, merebut hak orang Palestina dan melanggar kesepakatan yang diakui dunia. Hari-hari ini, di Yerusalem tampaknya tak berlaku pertanyaan apa pun yang membuat ragu—dan pintu ditutup bagi gugatan dari luar gerbang. Hampir seluruh negeri di dunia, termasuk Amerika Serikat, menganggap tindakan itu sewenang-wenang, tapi tampaknya bagi para pemimpin Israel, apa yang sewenang-wenang bagi orang lain tak berlaku buat mereka. ”Kami adalah kami—apa mau dikata.”
Perang agaknya telah demikian membekas dalam pemikiran seperti itu—perang yang menghendaki pihak ”sana” hancur atau bisu. Israel, merasa terkepung dan terancam sejak lahir, menyerang dan menduduki wilayah orang sejak mula, dan bersikap bahwa perdamaian harus dicapai dengan kemenangan posisi, telah jadi sesuatu yang bukan hanya sebuah negeri. Israel adalah sebuah pasukan tempur. Ia siaga terus-menerus—dan umumnya tak pernah kalah.
Tapi bagi sikap yang demikian, antagonisme dan perbedaan adalah awal dan akhir dalam kehidupan. Manusia tak dianggap satu, tak pernah dan tak akan ada ”sesama”. Jika ada percakapan, yang terjadi monolog yang berganti-ganti atau bertabrakan. Tak diperlukan kesepakatan. Sebab tak ada nilai-nilai yang dihayati bersama. Yang diperlukan hanyalah persetujuan—dan itu diperoleh dengan memaksa dan membungkam pihak yang lain.
Pola perhubungan internasional seperti inikah yang akan menentukan selamanya?
Pernah abad ke-20 dibentuk oleh perpecahan yang seakan-akan kekal, setelah dua perang besar meletus dan perang dunia ketiga yang lebih mengerikan mengancam. Tapi pernah abad ke-20 juga menyaksikan perdamaian-perdamaian besar, terutama setelah ”Perang Dingin” berakhir tanpa diumumkan. Pernah para pemikir menganggap hidup adalah perbedaan. Tapi pernah mereka mulai menganggap bahwa optimisme Hegel benar.
Dalam optimisme ini, putik akan digantikan kembang, kembang akan digantikan buah—seakan-akan yang pertama ditampik yang kedua, dan seakan-akan yang kedua (bunga dan kemudian buah) tampil sebagai wakil paling benar dari sang tanaman. Namun, kata Hegel dalam kalimat yang terkenal, sifat mereka yang cair akan menjadikan mereka hanya sekadar momen-momen dari ”sebuah kesatuan organis”. Mereka berkonflik, tapi yang satu merupakan keniscayaan yang lain, dan keduanya bersama-sama membentuk hidup keseluruhan.
Demikianlah Hegel berbicara tentang dialektik: putik sebagai tesis akan mendapatkan bunga sebagai antitesis, dan dari oposisi itu akan ada buah, sebagai hasil ”tempuk-junjung” (Aufhebung). Dengan kata lain, dalam sejarah ada saat-saat yang bersengketa, tapi kemudian akan ada rekonsiliasi. Bahkan antara Sang Paduka yang menaklukkan dan Sang Takluk yang kalah, hubungan tak putus: pada akhirnya hanya ketika Sang Takluk menyatakan kesadaran dirinya, Sang Paduka akan mendapatkan pengakuan. Pembebasan terjadi ketika pembebasan itu tak hanya untuk diri sendiri.
Tapi Hegel hidup di abad ke-19, sebelum Marx, dan jauh sebelum konflik Timur Tengah berjangkit berpuluh tahun tanpa disusul sesuatu yang positif. Di abad ke-21, optimisme Hegelian berhenti. Justru di Yerusalem.
Mungkin kita memang tak boleh percaya kepada cara memandang sejarah seakan-akan membaca riwayat hidup tumbuh-tumbuhan. Sejarah terdiri atas yang tak bisa diperhitungkan. Dialektika terlalu sederhana untuk menafsirkannya.
Maka di zaman pasca-Hegel, keyakinan akan terjadinya ”tempuk-junjung”—konflik yang kemudian melahirkan sesuatu yang lebih terjunjung—digantikan dengan perspektif lain: bahwa dalam hidup, perbedaan tak akan berhenti.
Tapi dengan ”doktrin” itu orang bisa menghalalkan perang, penindasan, dan kesewenang-wenangan dengan mengatakan: ”Kami adalah kami, apa mau dikata.”
Walhasil, tak ada titik Archmides yang bisa dipergunakan sebagai titik bertolak untuk menilai. Orang-orang Palestina berteriak, sakit dan terhina. Sebentar lagi kekerasan akan meletus, namun yang memilih pihak tak tahu lagi bagaimana menjelaskan pilihan itu kepada orang lain yang berbeda.
Saya ingat, ketika Hitler menyerbu Polandia, 1 September 1939, W.H. Auden menulis sajak yang mencatat rasa cemasnya: harapan habis di hari-hari ketika apa yang adil dan tak adil hanya bisa dipecahkan dengan dusta atau perang.
Kini rasanya dunia merasakan kecemasan yang mirip. Justru karena Yerusalem:
As the clever hopes expire
Of a low dishonest decade:
Waves of anger and fear
Circulate over the bright
And darkened lands of the earth.…
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo