Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Dialog Antarmanusia

28 Desember 1998 | 00.00 WIB

Dialog Antarmanusia
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Emil Salim
Pengamat masalah sosial ekonomi, tingal di Jakarta

Seorang pemimpin perusahaan transisional mengundang saya makan malam di suatu restoran di luar negeri. Perusahaannnya memiliki cabang di semua negara penting di dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, perusahaannya selama ini memberi keuntungan besar dalam neraca untung-laba (maksudnya mungkin rugi-laba) antarnegara. Barang yang dihasilkan pengusaha ini adalah keperluan sehari-hari yang dibutuhkan penduduk Indonesia yang banyak jumlahnya dan nilai pendapatannya sedang naik. Begitulah keadaan sebelum tahun 1998.

Memasuki tahun 1999 pemimpin perusahaan ini mengetahui keadaan Indonesia sekarang dan prospeknya di tahun depan. Karena itu ia mengunjungi Indonesia bulan lalu untuk meninjau keadaan perusahaannya sekaligus bertukar pikiran dengan pejabat pemerintah dan pemuka masyarakat. Dan apa kesan-kesannya tentang Indonesia sekarang dan prospek keadaannya di tahun depan?

Singkat kesimpulan, "I don’t know!" Saya betul-betul bengong tidak tahu. Ia menerima laporan perusahaan bahwa nilai penjualan tahun 1998 hanya 10 persen dari hasil tahun 1997. Keuntungan yang diraih tahun inipun hanya beberapa ratusan-ribu US dolar. Biaya perusahaan naik sedangkan pasar melemah karena daya beli rakyat merosot tajam. Untuk tetap laku di pasar lemah ini, produk dijual dalam kemasan ketengan yang lebih kecil. Tapi cara ini menaikkan ongkos. Lalu asuransi enggan memperkecil dampak penjarahan. Karena itu perusahaannya terpaksa memperkecil jumlah pemasokan ke toko-toko penjual. Jika ada permintaan besar barulah barang dipasok ke toko secara banyak. Akibatnya stock perusahaan naik. Keadaan seperti ini menaikkan biaya total dan berhadapan dengan penjualan yang merosot menyebabkan keuntungan mengecil. Dibandingkan dengan tingkat laba yang diperoleh perusahaannya di negara-negara lain, kinerja usahanya di Indonesia tidak lagi menarik.

Tetapi yang lebih merisaukannya adalah jawaban serba tidak pasti yang ia peroleh dari pemuka-pemuka Indonesia. Bagaimanakah kira-kira keadaan pemilihan umum Juni? Akan berlangsung tenang atau penuh bentrokan? Jawab yang diperoleh adalah, "I don’t know!" Atas pertanyaan bagaimana kira-kira koalisi politik dari pemerintahan hasil pemilu akan datang, lagi-lagi jawaban yang diperoleh: "I don’t know!" Akan berlanjutkah kebijakan pemerintah menerima modal asing dari perusahaan transnasional besar jawabannya lagi-lagi, "I don’t know!"

Ringkasnya, dalam percakapan empat mata baik dengan pejabat resmi maupun pemuka-pemuka masyarakat ia memperoleh kesan tentang belum adanya ketegasan mau ke mana Indonesia tahun 1999 ini. Dengan kesal ia tinggalkan Indonesia dengan pertanyaan yang lebih banyak ketimbang jawaban, sehingga ia memutuskan untuk menyusun anggaran perusahaan tahun depan mempertahankan status quo sekadar memelihara bagian pasarnya, dan tidak melakukan investasi perluasan untuk tahun 1999. Bagaimana saya bisa berinvestasi memperluas usaha di Indonesia untuk tahun depan, keluh sang pengusaha, jika saya sendiri ketularan sikap pendapat pejabat dan pemuka masyarakat Indonesia yang serba "I don't know"?

Lalu, ada apa dengan para pejabat dan pemuka masyarakat Indonesia, sehingga bersikap serba "I don’t know"? Baru-baru ini saya bertemu pengusaha menengah penjual batik di Tanah Abang. Ia telah beranjak dari usaha penjualan kecil-kecilan yang kemudian berkembang mencapai volume perdagangan 400-500 lembar batik sebulan. Namun sejak permulaan tahun 1998, penjualannya merosot dan sekarang tidak sampai 40 lembar sebulan. Itupun dengan banting harga sehingga praktis tidak ada keuntungan.

Yang merisaukannya adalah naiknya biaya usaha, terutama biaya yang tidak langsung berkaitan dengan bisnisnya. Jumlah pengamen meminta uang kian bertambah. Dan akhir-akhir ini jumlah preman semakin merajalela menuntut "iuran keamanan" yang semakin naik. Petugas keamanan resmi dari pemerintah daerah praktis tidak berdaya. Dan ia terpaksa pasrah pada pemerasan preman yang bebas lalu-lalang.

Tetapi yang lebih mencemaskannya adalah ketika terpampang tanda palang Kristen yang diberi goresan X di dinding RT dekat rumahnya. Ia beragama Katolik dan terpilih oleh jemaahnya menjadi Ketua Lingkungan, yakni satuan terendah dalam susunan organisasi kegerejaan yang terletak di bawah satuan wilayah, Paroki, dan Keuskupan Daerah. Karena tidak mempunyai gereja sendiri, para jemaah beribadah di rumah secara berkeliling setiap minggu.

Setelah terjadinya peristiwa Ketapang (Jakarta) disusul dengan insiden Kupang (Nusa Tenggara Timur) dan Ujungpandang (Sulawesi Selatan), hatinya mengkerut. Akan selamatkah ia dan jemaahnya yang tinggal di RT, jika ada goresan negatif tentang agamanya di dinding? Lagi pula, sungguhpun ia warga negara RI yang sah dan berhak diperlakukan sama menurut undang-undang, tapi karena ia keturunan Tionghoa, ia merasakan perlakuan yang agak lain dari orang-orang sekitar. Karena hasil usahanya ia beruntung memiliki rumah yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekitar. Dengan beragama Kristen, berketurunan Tionghoa, dan berstatus pengusaha menengah yang lumayan--apakah ia bisa hidup tenteram di tanah air?

Syukurlah ia bersikap lapang dan berniat mengajak jemaahnya untuk berdialog dengan penduduk se-RT, termasuk yang berlainan agama, membicarakan cara-cara lebih mengakrabkan hubungan antarmanusia. Ia ingin memanfaatkan puasa Ramadan dan minggu-minggu Natal serta Tahun Baru sebagai kesempatan menggalang solidaritas antarmanusia yang berbeda agama. Masih banyak keluarga muslim, Kristen, dan Katolik menderita kekurangan, kelaparan, dan kemiskinan. Daripada membuang energi masyarakat untuk berbentrokan, mungkinkah kekuatan masyarakat berlainan agama ini disalurkan untuk memecahkan masalah manusia yang menderita kemiskinan?

Ia merasakan kebutuhan berdialog antarmanusia berlainan agama. Ia tidak paham debat tingkat tinggi yang tengah berkecamuk di kalangan elite politik tentang perlu tidaknya dialog nasional itu. Ia hanya tahu ada ketakutan mencekam dirinya, takut pada penjarahan, takut pada bentrok berdarah, takut pada perselisihan antarmanusia berlainan agama sungguhpun Tuhannya satu.

Ia ingin ketenteraman hidup dengan warga RT-nya, ia ingin kepastian hari depan bagi anak-istrinya sekeluarga. Untuk ini ia merencanakan dialog antarmanusia berlainan agama se-RT. Ia percaya bahwa keinginan berdialog ini bisa terlaksana, karena yang ingin ia ajak berdialog adalah manusia yang sama-sama ber-Tuhan sungguhpun cara-caranya berbeda.

Saya tatap sinar matanya yang penuh kepercayaan. Dan hati terasa ringan. Orang asing, pejabat, dan pemuka masyarakat mungkin masih diliputi suasana "I don’t know" dalam menanggapi tahun depan. Para elite politik mungkin masih berdebat seru tentang perlu tidaknya dialog nasional. Namun selama masih ada orang biasa--seperti dalam hubungan antarmanusia, seperti kesamaan dalam agama--menghalau ketakutan dan berusaha secara bersama mengatasi kelaparan dan memecahkan kemiskinan tanpa menghiraukan beda agama, ras, dan suku, masih ada secercah harapan di tengah-tengah kegalauan sekarang ini. Suatu masyarakat madani sedang dalam kandungan. Selamat beribadah puasa, berhari Natal, dan Tahun Baru 1999. Semoga Tuhan memberkahi usaha manusiawi ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus