Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
F. Sugeng Istanto
Guru Besar Hukum Humaniter Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Pernyataan pemerintah akan membentuk Rakyat Terlatih (Ratih)--yang belakangan disebut Kamra--untuk mengamankan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) mendatang, ditanggapi negatif oleh banyak kalangan masyarakat. Tanggapan negatif itu didasarkan pada keraguan apakah pembentukan Ratih untuk pengamanan pemilu sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Peraturan perundangan yang mendasari pembentukan Ratih sekarang adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 tentang ketentuan pokok pertahanan keamanan negara (hankamneg) RI. Peraturan hankamneg dalam undang-undang ini didasarkan pada tiga kebijakan pokok, yakni bahwa hankamneg merupakan fungsi pemerintahan negara. Hakikat hankamneg adalah perlawanan rakyat semesta, dan bahwa perlawanan rakyat semesta itu dilaksanakan dalam sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Dengan ditetapkannya hankamneg sebagai fungsi pemerintahan negara, berarti semua kegiatan hankamneg merupakan urusan pemerintah. Konsekuensinya ialah, kegiatan hankamneg, yang dilakukan oleh pribadi atau swasta, dilarang. Pasukan pribadi atau swasta juga dilarang oleh undang-undang tersebut. Ditetapkannya perlawanan rakyat semesta sebagai hakikat hankamneg merupakan perwujudan asas demokrasi dalam hankamneg. Itu berarti, kekuasaan hankamneg adalah kekuasaan rakyat.
Pelaksanaan keterlibatan rakyat dalam sishankamrata menjadikan segenap sumber daya manusia disusun dalam tiga kelompok komponen kekuatan hankamneg, yakni Ratih, ABRI, dan perlindungan masyarakat.
Namun demikian, pengaturan Ratih dalam undang-undang itu sangatlah sumir. Undang-undang itu hanya mengatur kedudukan dan fungsi dalam sishankamrata dan keikutsertaan rakyat dalam Ratih. Dan, undang-undang itu menetapkan bahwa pembentukan Ratih hanya mungkin dilakukan kalau ada undang-undang khusus tentang Ratih itu sendiri. Sekarang, ketika undang-undang khusus itu belum disusun, pemerintah sudah langsung bertekad membentuk Ratih. Sikap pemerintah yang mengabaikan undang-undang seperti itu, tentu saja, menambah kecurigaan masyarakat akan tujuan yang berada di balik pembentukan Ratih.
Memang benar bahwa dalam sishankamrata, Ratih merupakan komponen dasar hankamneg. Sebagai komponen dasar, Ratih berfungsi menyelenggarakan ketertiban umum (tibum), perlindungan rakyat (linra), keamanan rakyat (kamra), dan perlawanan rakyat (wanra). Yang dimaksud dengan "tibum" adalah fungsi memelihara segenap perangkatnya, melancarkan kegiatan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan hidup. "Linra" adalah fungsi menanggulangi gangguan ketertiban hukum maupun gangguan ketenteraman masyarakat. "Kamra" adalah fungsi menanggulangi dan/atau meniadakan gangguan keamanan masyarakat atau subversi yang dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas keamanan. "Wanra" adalah fungsi menghadapi, menanggulangi, dan menghancurkan musuh yang hendak menduduki atau menguasai wilayah atau sebagian wilayah Indonesia.
Dari rumusan itu, tampak bahwa wanra merupakan fungsi Ratih dalam keadaan perang. Adapun tibum, linra, dan kamra dapat berlaku dalam keadaan perang maupun non-perang. Namun lingkup berlakunya tiga fungsi ini haruslah diartikan sesuai dengan konteks undang-undang tersebut dalam upaya menyelenggarakan hankamneg, yakni menjamin tegaknya negara terhadap segala ancaman. Ancaman yang harus ditangkal dan diatasi itu adalah ancaman terhadap kemerdekaan dan kedaulatan negara, ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, ancaman terhadap ideologi negara Pancasila, dan ancaman terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pengamanan penyelenggaraan pemilu sama sekali tidak termasuk ancaman yang harus ditangani Ratih. Penyelenggaraan pemilu juga bukan ancaman yang setaraf dengan ancaman itu. Pengamanan penyelenggaraan pemilu merupakan tugas polisi, yang cukup ditangani oleh Polri.
Di samping itu, empat kesatuan fungsi Ratih, yang mencakup wanra, membuat Ratih menjadi pelaku kekuasaan militer. Sebagai penguasa militer, tidaklah semestinya kalau Ratih melakukan tugas pengaman pelaksanaan pemilu yang bebas, jujur, dan adil.
Keikutsertaan rakyat dalam Ratih adalah wajib, dan diwujudkan dengan menunaikan wajib prabakti dan wajib bakti. Menunaikan wajib prabakti berarti mengikuti pendidikan dan latihan Ratih. Mereka yang telah purna wajib prabakti disusun dalam kesatuan Ratih untuk menunaikan wajib bakti. Kesatuan itu dibina menurut lingkungan pendidikan, pemukiman, dan pekerjaan anggotanya.
Seperti disebutkan di atas, pelaksanaan partisipasi rakyat dalam Ratih akan diatur dalam undang-undang. Karena itu, pelaksanaan pengikutsertaan rakyat dalam Ratih seharusnya belum dapat dilakukan karena undang-undang tersebut sekarang belum ada. Lagi pula sebelum menetapkan undang-undang itu sendiri, perlu juga dipertimbangkan pembenahan sishankamrata yang mendasarinya.
Kalaupun undang-undang tentang Ratih sudah dibuat, tetap perlu dipertanyakan, apakah kehidupan rakyat sekarang telah memenuhi persyaratan pembentukan Ratih. Selain itu, anggota Ratih semestinya adalah warga negara yang tertib, mengakui dan menghormati hak asasi manusia. Jika tidak, anggota Ratih tersebut sukar diharapkan dapat menjamin ketertiban umum dan menghargai HAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo