Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat ekonomi
Kalau mau diibaratkan rapor, rapor politik Orde Baru paling banyak angka merahnya. Represi politik serta KKN-nya merupakan noda terbesar rezim Orde Baru, yang menjadi identik dengan rezim Soeharto. Apakah Orde Baru identik dengan Orde Soeharto? Secara nominal tidak, tapi secara politik bisa dilihat begitu. Kalau Soeharto berhenti, misalnya, di tahun 1985, apakah rapornya akan sama jeleknya? Pasti tidak, karena proses "suksesi" bisa dikelola lebih rapi.
Dulu banyak orang berpegang pada teori bahwa suksesi akan dikelola secara efektif oleh ABRI, yang mempunyai kemampuan organisasi serta kewibawaan yang besar sekali. Tiga puluh dua tahun yang lalu, ABRI berhasil mengelola suksesi dari Soekarno ke Soeharto.
Dalil ini sekarang tak lagi berlaku. Lengsernya Soeharto terjadi pada saat tak terduga, dalam situasi yang serba revolusioner. Nama ABRI menjadi cacat karena jatuhnya banyak korban dan adanya sangkaan bahwa ada unsur-unsur dari angkatannya yang ikut menyulut keonaran dan kerusuhan. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang serius juga terungkap dari operasinya di Timor Timur, Irianjaya, dan Aceh. ABRI sekarang kehilangan kewibawaan serta legitimasinya dan pasti tidak bisa mengelola proses pascasuksesi secara damai dan efektif. Tapi, celakanya, tidak ada pengganti ABRI. Semua kekuatan formal sekarang lemah: Habibie dan kepresidenannya, birokrasi, DPR, Golkar, pemerintah daerah (gubernur, bupati, camat, dan sebagainya), dan polisi. Semuanya ternoda KKN dan surut legitimasinya.
Yang relatif kuat adalah gerakan mahasiswa dan LSM. Hanya, mereka tidak tersusun rapi dan tidak bisa memimpin proses politik ke arah demokrasi yang damai dan tertib sosial. Yang mencuat bahkan hantu "revolusi sosial".
Orde Baru mulai cacat politik, dan mungkin cacat ekonomi, sejak pertengahan 1980-an. Bahkan ada pendapat yang menekankan bahwa distorsi-distorsi besar di bidang ekonomi dan sosial yang melebarkan jurang sosial memuncak pada permulaan 1990-an, seiring dengan boom investasi. Benih-benih kejatuhan Orde Baru akibat merajalelanya KKN justru bersemi dan mekar di suasana boom ekonomi sejak 1992.
Krisis moneter yang melanda Indonesia bulan Agustus 1997 adalah dampak tular krisis moneter di Bangkok yang pecah bulan Juli 1997. Pada saat itu, badan internasional seperti Bank Dunia masih berpandangan bahwa "fundamental ekonomi" Indonesia lebih baik daripada Thailand. Pada waktu itu belum tampak keroposnya perbankan dalam negeri dan mencuatnya utang luar negeri konglomerat.
Sampai krisis minyak bumi pertama, yakni sekitar 1973, manajemen ekonomi pemerintah Orde Baru berjalan baik sekali. Anggaran belanja pemerintah berimbang dan dengan bantuan luar negeri berhasil menurunkan angka inflasi sampai di bawah 10 persen setahun. Perolehan devisa dari minyak bumi naik karena kontraktor asing diberi insentif dan jaminan. Penanaman modal asing (PMA) di bidang pertambangan dan kehutanan mulai berdatangan, dan sejak 1968 PMA masuk ke bidang industri. Produksi pangan juga naik cepat, didorong oleh kebijakan intensifikasi penggunaan bibit unggul, pupuk, dan kredit murah, serta perluasan dinas penyuluhan.
Krisis Pertamina tahun 1973/74 merupakan kasus KKN pertama. Yang diselesaikan secara baik (oleh pemerintah) adalah segi keuangannya, yakni dengan para kontraktor asing. Tapi kolusi dan korupsi oleh pejabat-pejabat Pertamina tidak diusut. Ini merupakan pola "penyelesaian" cara Soeharto: asalkan pejabatnya tetap loyal politik, kerugian keuangan negara (termasuk kemungkinan korupsi) bisa dimaafkan. Salah urus bukan makar! Seorang jenderal tidak mengusut jenderal yang lain. Semua jenderal adalah patriot dan tidak bisa salah! Selama pendekatan ini (sekarang) masih berlaku, baunya Orde Soeharto masih menyengat.
Pengelolaan ekonomi pemerintahan Orde Baru, yang banyak ditangani oleh teknokrat seperti Widjojo dan Ali Wardana, tidak bebas dari krisis-krisis keuangan, yang selalu memerlukan devaluasi sebagai koreksinya. Krisis-krisis demikian disebabkan oleh perkembangan eksternal, seiring dengan jatuhnya harga minyak bumi dan komoditi primer. Current account deficit membengkak, dan devaluasi yang cukup besar, 30-60 persen, adalah obatnya. Namun, obat itu selalu mujarab. Devaluasi sangat menyakitkan dan banyak kelompok dirugikan, misalnya pegawai negeri, buruh, dan karyawan dengan gaji tetap. 'I'api golongan lain, seperti produsen komoditi dan barang manufaktur, mendapat keuntungan.
Akhirnya, neraca pembayaran sehat kembali. Krisis moneter merupakan gejala nasional, bukan regional. Tidak ada contagion effect.
Gelombang deregulasi sektor swasta sejak pertengahan 1980-an, yang antara lain menciptakan lebih dari 200 bank, di satu pihak ikut menumbuhkan ekonomi, tapi di pihak lain sangat mungkin menanam benih-benih distorsi sosial ekonomi.
Tumbuhnya bank-bank swasta secara semarak, di satu pihak, mempunyai dampak politik karena mendorong banking habits dan dengan demikian meningkatkan tabungan di masyarakat. Di pihak lain, karena sebagian besar bank dimiliki oleh kelompok bisnis, timbul godaan bagi para pemiliknya untuk mengarahkan pemberian kredit ke grupnya sendiri. Mereka menyalahi aturan legal lending limits, sementara pengawasan Bank Indonesia tidak efektif. Bank-bank pemerintah ikut salah besar karena juga memberikan banyak pinjaman untuk proyek-proyek tanpa penilaian cermat. Kalaupun ada penilaian staf dan ada pemberian peringatan, direksi atau direktur utama sering mengambil keputusan sendiri dan berbau KKN. Mereka juga takut pada katebelece menteri atau pejabat tinggi yang lain. Gejala KKN semakin menjadi setelah putra-putri Presiden Soeharto terjun ke bisnis, sehingga akhirnya menjadi sumber sebab utama dari krisis yang sekarang berkepanjangan.
Maka, KKN harus diberantas secara efektif. Dan pelaku yang bersalah besar harus masuk penjara. Hanya dengan contoh demikian, ada harapan bahwa praktek KKN tidak akan terulang secara besar-besaran. Pembatasan masa jabatan untuk presiden, maksimal 10 tahun, akan banyak mengurangi risiko timbulnya strong man seperti Pak Harto yang menjadi sumber KKN. Sumber dari krisis di Indonesia adalah politik, maka penyembuhannya harus lewat restrukturisasi politik.
Dalam melaksanakan deregulasi sektor finansial 10 tahun lalu, memang ada kelemahan-kelemahan kebijakan serta pengaturan. Sekarang ini sedang ditindak. Bank Indonesia diberi otonomi, bahkan independence, menurut model Jerman (sehingga Habibie mudah mengerti dan setuju ). Tapi semua perangkat hukum baru harus didukung oleh sistem politik yang memadai. Kalau tidak, politik senantiasa menjadi panglimanya.
Di Thailand, beberapa pejabat lembaga keuangan nonbank yang dinyatakan bersalah dikenai hukuman, termasuk seorang mantan menteri. Di Indonesia, pembersihan sektor perbankan dan sektor finansial belum menampakkan konsekuensi akhir dari "upholding of the rule of law" seperti diidam-idamkan oleh Presiden Habibie.
Apakah pemerintahan Soeharto, dan menteri-menteri ekonominya tahun 1985-1995, harus diberi angka merah dalam laporannya untuk pelaksanaan deregulasinya? Bisa demikian--kalau mau. Tapi harus juga dihargai bahwa para teknokrat yang masih ada di pemerintah, atau menjadi penasihat pemerintah, telah memanfaatkan kesempatan terlibatnya IMF, sejak Oktober 1997, untuk memasukkan berbagai sasaran "restrukturisasi" kebijakan serta kelembagaan dalam program (IMF) yang wajib dilaksanakan. Sayang, ini baru terjadi setelah terjadi krisis yang mendalam.
Bagaimana paradigma ekonomi pada tahun 2000 kalau sudah ada DPR dan presiden baru? Apakah banyak berbeda dibandingkan dengan ekonomi zaman Soeharto?
Yang berubah banyak sekali adalah paradigma politiknya. Ekonomi akan menyesuaikan diri. Tapi beberapa realitas tidak akan berubah.
Pertama, paradigma bahwa kebijakan ekonomi tetap harus "market friendly", bahwa kita tidak bisa melepaskan diri dari komitmen-komitmen kepada WTO, ASEAN, dan APEC, untuk lebih membuka ekonomi nasional, untuk menyusun pasar bersama di ASEAN dan di kawasan Pasifik.
Kedua, ketergantungan Indonesia pada IMF, Bank Dunia, CGI, investor asing, dan bank-bank internasional akan tetap besar. Ini mengurangi ruang gerak pemerintah. Di pihak lain, affirmative actions untuk memperbaiki pembagian rezeki di antara berbagai golongan masyarakat adalah sesuatu yang halal, tapi harus dijalankan secara "market friendly". Hasilnya tidak bisa tercapai dalam satu-dua tahun, tapi dalam jangka menengah dan panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo