Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohtar Mas’oed
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
ORDE Baru, apa boleh buat, sekarang dikenang orang sebagai orde "mimpi buruk". Kenangan buruk itu memberi pelajaran sederhana tentang politik, yaitu bahwa cara menjalankan pemerintahan yang tidak akuntabel (accountable), yang tidak tanggung-gugat, yang tidak amanah, pada akhirnya menyengsarakan rakyat. Apa yang membuatnya begitu? Ada dua segi yang patut diperhatikan. Pertama, pemimpin Orde Baru tidak mengindahkan perwakilan kepentingan rakyat dan lebih mengandalkan mekanisme politik non-elektoral. Kedua, pemimpin itu cenderung membiayai berbagai kegiatan melalui prosedur non-APBN, tanpa melapor kepada rakyat.
Pelajaran buruk yang kita terima dari Orde Baru adalah kebiasaan mengabaikan politik elektoral. Pemilu tetap diselenggarakan dengan meriah, menghabiskan dana sangat besar, tetapi hasilnya dianggap tidak relevan. Pemilu menghasilkan wakil-wakil rakyat dalam DPR, tetapi mereka tidak boleh menjalankan kedaulatan rakyat. Berbagai fungsi, yang demi demokrasi semestinya dilakukan, bertahun-tahun dimandulkan oleh tata tertib yang membelenggu, yang disusun oleh anggota DPR itu sendiri. Dan, hal ini tentu hanya mungkin terjadi atas kehendak mayoritas yang mengendalikan lembaga wakil rakyat tersebut.
Paralel dengan itu, posisi wakil rakyat dalam MPR juga dilecehkan. Mayoritas penghuni lembaga tertinggi itu menduduki kursinya melalui mekanisme non-elektoral, jalur di luar pemilu, terutama melalui pengangkatan oleh kepala eksekutif.
Proses pembuatan kebijakan yang dikembangkan pemerintahan Orde Baru juga tidak mencerminkan perpolitikan elektoral. Rancangan kerja dibuat oleh badan yang tidak dipilih melalui pemilu. Karena itu, bagi mereka yang ingin mempengaruhi proses itu dan memiliki sarana yang cukup, jalan yang efektif dan efisien adalah melalui lobbying langsung ke pusat-pusat pembuat kebijakan. Karena itu, banyak orang yang tidak memiliki mandat dari rakyat--tetapi punya akses ke pusat kekuasaan--menjadi sangat berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan yang menentukan nasib sebagian besar anggota masyarakat. Akibatnya, para pemimpin yang sudah bersusah payah menggalang dukungan pemilih dan menaiki jenjang karir melalui mekanisme politik elektoral harus menghadapi persaingan tidak adil dari para lobbyists itu. Politik non-elektoral, seperti lobbying itu, jelas merupakan sabotase terhadap demokrasi.
Pelajaran yang sama buruknya adalah kebiasaan untuk membiayai kegiatan pemerintahan tanpa persetujuan rakyat. Walaupun sulit dibuktikan, ada dugaan sangat kuat bahwa pemerintahan Orde Baru menggunakan mekanisme non-APBN untuk membiayai sebagian dari kegiatannya, tanpa diketahui rakyat. Kegiatan apa gerangan yang memerlukan pembiayaan dengan cara khusus? Kuat dugaan, satu di antaranya adalah kegiatan para operator politik dan militer yang berfungsi mendongkrak kekuasaan pemerintah Orde Baru. Bisa dimengerti, kegiatan seperti operasi intelijen, "operasi khusus" program DOM, dan berbagai operasi politik lainnya, tidak bisa dibiayai melalui prosedur konvensional. Sebabnya, tak lain, jika pembiayaan itu muncul dalam APBN, tentu akan terbaca oleh para pejabat negara-negara donor yang ikut rapat CGI di Paris--dan mata anggaran seperti itu hampir pasti tidak disukai oleh mereka. Maka, diperlukan prosedur khusus untuk menanganinya, yaitu prosedur yang hanya diketahui oleh pemerintah. Dengan demikian, muncullah persoalan akuntabilitas pemerintah.
Prosedur khusus itu juga menimbulkan persoalan tentang dari mana dana itu bersumber. Seorang pengusaha besar pernah mengaku secara terbuka bahwa ia pada awal Orde Baru memperoleh hak monopoli impor suatu barang yang memberinya keuntungan besar. Namun, ia memandangnya sebagai penugasan oleh pemerintah karena sebagian keuntungan dipakai untuk membiayai kegiatan yang tidak bisa didanai melalui mekanisme APBN. Dan selama Orde Baru, kita melihat banyak pengusaha raksasa membantu mengisi kocek negara yang tidak resmi itu, demi memperoleh perlakuan istimewa dari pemerintah. Ini dikenal sebagai "perburuan rente", praktek yang melumpuhkan ekonomi Indonesia.
Demikianlah, perburuan rente itu berkaitan dengan pengisian kas non-APBN. Dan, dana non-APBN itu diperlukan untuk beroperasinya beberapa institusi penting di negeri ini, termasuk tentara. Inilah dilema yang dihadapi para pendekar yang hendak memberantas KKN Orde Baru. Bagaimana mungkin memberantas KKN kalau "perburuan rente" ternyata fungsional bagi tatanan politik yang tidak akuntabel?
Mengembangkan kehidupan politik yang sehat mengharuskan pembenahan mekanisme politik dan hukum yang bisa menjamin bahwa pemimpin akan sungguh-sungguh mempertanggungjawabkan tindakannya kepada rakyat. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Yang membedakan pemerintah demokratis dengan pemerintah otoriter bukanlah besarnya kekuasaan yang dimiliki, tetapi batasan-batasan yang dikenakan terhadap wewenang mereka. Pemerintah demokratis adalah pemerintah yang kekuasaannya dibatasi oleh konstitusi yang jelas.
Pembenahan seperti itu pasti akan melibatkan upaya pembagian dan penyebaran kekuasaan, sehingga tidak ada monopoli kekuasaan oleh cabang eksekutif. Anggota parlemen harus bisa berfungsi efektif sebagai wakil rakyat. Perpolitikan elektoral harus menjadi sumber utama rekrutmen elite. Dan, APBN harus menjadi mekanisme utama pembiayaan kegiatan negara. Badan pengawas seperti BPK harus benar-benar independen, agar bisa berfungsi menjamin akuntabilitas pemerintah. Itu semua diperlukan, kalau kita tidak menginginkan kembalinya dua "non" di atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo