(7 Januari 1983, 06.51 WIB) KRIIIIING ....Cukup lantang kedengarannya di pagi yang tenang itu. Segera disusul pembicaraan dua arah yang cukup hangat (diceritakan kembali dengan bahasa yang lebih enak): A: Hallo. B: Morning . . . (segera jelas siapa di ujung lain). Benar juga dugaan umum mengenai kenaikan harga BBM. Kali ini tampaknya tidak mengejutkan. Yang sudah sempat antre bensin sebelum harga dinaikkan malahan merasakan kepuasan tertentu. Reaksi orang memang sering lucu dan aneh. Tapi biarlah. Yang penting, bagaimana kiranya efek kenaikan harga BBM ini, apalagi kalau dilihat adanya kelesuan dalam ekonomi? A: Ha, ini sukar dipastikan. Kemungkinan pertama, kegiatan produksi menjadi mandek. Tapi banyak cara untuk menghindarinya. Di satu pihak, peraturan-peraturan yang sering menghambat sebaiknya diperlonggar untuk menurunkan beban ongkos produksi. Di pihak lain, anggaran pembangunan kan masih cukup besar untuk menstimulasi ekonomi. B: Wah, you terlalu menganggap gampang. Berapa kali sudah dikatakan peratuMn akan disederhanakan, tapi sering yang dijumpai sebaliknya. Sekarang ini anggaran rutin, yaitu gaji pegawai, tidak naik. Tentu bisa dibayangkan ke mana arahnya. Soal anggaran pembangunan, itu pun bukan satu-satunya motor penggerak ekonomi kita. Malahan dalam keadaan seperti sekarang ini anggaran pemerintah yang besar itu bisa merupakan saingan berat bagi kegiatan ekonomi masyarakat/swasta (gejala ini namanya crowding out dalam bahasa ekonominya). Ini tentu tergantung kebijaksanaan kredit pemerintah, yang pada gilirannya tergantung kecenderungan inflasi. Jadi bagaimana? A: Tunggu dulu, masih ada kemungkinan kedua. Bila pasar agak lesu, dan mekanisme pasar dibiarkan bekerja, seharusnya gejolak harga-harga bisa direm. Bebannya memang pada produsen. Mereka sering harus dipaksa keadaan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural supaya bisa menjadi lebih efisien. Sekarang ini waktunya, dan dari sudut ini memang betul yang anda katakan mengenai melonggarkan keran kredit. Cara ini lebih baik daripada pemberian proteksi kepada produsen melalui penetapan harga-harga patokan buat produknya. Pengalaman menunjukkan penetapan patokan harga itu terlalu tinggi, menjadi sumber inflasi, dan membuat ekonomi kita menjadi tegar-harga (price rigid). Sebab jangan lupa, konsumen juga perlu dilindungi. B: Tentunya you tidak mengecualikan perusahaan negara, bukan? Sering ada kesan, justru di saat-saat penyesuaian harga itu perusahaan-perusahaan negaralah yang menjadi pelopor kenaikan harga dan tarif jasa seperti angkutan, listrik dan telkom. Produsen-produsen ini pun harus melakukan penyesuaian struktural supaya lebih efisien dan jangan hanya menggeserkan bebannya kepada konsumen. Bagaimana hal itu bisa dijamin, melihat kedudukan monopolistik yang mereka nikmati? Kita lihat sajalah. Bagaimana sebenarnya mengenai kenaikan harga-harga itu sendiri. Mengapa justru jenis-jenis BBM yang katanya untuk rakyat kecil itu persentase kenaikannya lebih besar dari jenisjenis BBM yang lain? Apa artinya ini bagi usaha pemerataan? Dan lagi pula ..... A: Pelan, sabar dong. Baiknya kita lihat persoalannya dengan kepala dingin, dan satu per satu. Kita tahu subsidi BBM memang harus dikurangi dan tidak bisa dihindarkan. Semakin lama kita tunggu semakin banyak masalah yang ditimbulkannya. Ongkos produksi BBM cenderung terus meningkat, dan dari data yang ada tampaknya sudah mencapai Rp 185 per liter. Bila harga minyak tanah tidak dinaikkan, artinya setiap liter yang kita pakai harus ditunjang sebanyak dua pertiga dari ongkos produksinya oleh pemerintah, dan kita hanya membayar sepertiganya saja, ini terlalu timpang. Dan banyak akibatnya bagi ekonomi dan bagi penyediaan energi di masa depan. Begitu juga dengan minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar yang masih disubsidi. Justru jenis-jenis BBM ini yang membuat jumlah subsidi selalu membengkak karena laju penggunaannya pesat, antara lain karena harganya yang relatif rendah. Itu menerangkan mengapa untuk jenis-jenis BBM ini harganya dinaikkan lebih dari 60 persen. Bila premium hanya naik sekitar 33 persen, pertimbangan obyektifnya ada. Jenis ini tidak disubsidi, dan dengan kenaikan ini harganya sudah sama dengan di banyak negara lain yang lebih maju. Jadi tidak masuk akal untuk memperbesar kenaikannya. Sahamnya dalam keseluruhan konsumsi BBM juga tidak besar, sehingga tidak mungkin kenaikan harga premium, super 98, avtur dan avigas itu dapat menutup subsidi untuk jenis-jenis BBM yang lain (skema serupa ini dikenal sebagai subsidi silang). B: Bila demikian, mengapa tidak dicari alternatif lain terhadap kenaikan harga BBM? A: Dalam jangka pendek kiranya tidak ada alternatif lain. Ini harus kita akui. Kecuali bila kita bersedia menurunkan jumlah dana untuk pembangunan. Selain itu ide pemerataan yang sehat adalah melalui usaha-usaha pembangunan untuk memperbesar dan memperdalam kapasitas produksi dalam masyarakat. Dan bukan dengan cara yang artificial sifatnya melalui penekanan terhadap harga (penciptaan distorsi harga dalam bahasa ekonominya). Juga kita harus mengerti, dalarn keterbatasan keuangan negara, ongkos pemerataan menjadi tinggi dan mahal. Pemerataan itu kan bukan kado, dan bukan berarti memanjakan. Jangan lupa pula kemanjaan itu tiada batasnya. Anda sudah dengar kemarin dari pidato Presiden di DPR bahwa bila harga BBM tidak disesuaikan, jumlah subsidinya akan mencapai Rp 2,1 trilyun lebih atau sekitar 3 milyar dollar. Bukan jumlah kecil, lho. B: I see. Kalau dilihat begitu memang lain ceritanya. Berapa persen itu dari keseluruhan anggaran? bila dihitung kira-kira 12,7 persen atau 26,6 persen dari anggaran pembangunan yang tersisa). Sejauh ini kita baru membicarakan segi pengeluaran dari anggaran. Bagaimana dengan segi penerimaannya? Bagi saya kelihatannya cukup optimistis. You kira bagaimana? A: Saya tidak punya data untuk menilai hal ini, terus terang saja nih. Penerimaan negara sangat tergantung dari penerimaan minyak, yang pada gilirannya sangat dipengaruhi keadaan pasar minyak internasional. Tampaknya kita berusaha bisa meningkatkan produksi kita (1,4 juta barrel per hari?) dan juga jumlah yang diekspor, entah pada harga berapa asumsi perhitungannya (US$ 34 per barrel?). Coba sebentar. Bila kita lihat angka-angka RAPBN itu, kira-kira 70 persen dari seluruh penerimaan, termasuk bantuan proyek dan bantuan program, dipengaruhi keadaan di luar negeri. Lha ini artinya apa? Sederhana saja. Bila realisasinya lebih rendah dalam nilai dollarnya, nilai rupiahnya bisa dipertahankan dengan cara mengubah nilai tukar (melalui depresiasi atau devaluasi). Mungkin perhitungan anggaran sudah mengasumsikan ini. Lihat saja nanti. B: You are kidding! Masakan begitu? A: Sudahlah kita akhiri saja dahulu .... B: Nanti dulu. Satu hal lagi. Sampai kapan kiranya kita terus dihadapi soal subsidi BBM ini? Masakan tidak ada akhirnya? A: Saya kira sih dalam waktu yang tidak lama -- mungkin dua tahun, bisa lebih cepat dari itu -- subsidi melalui anggaran tidak diperlukan lagi. Bisa saja jenis BBM tertentu, misalnya minyak tanah, tetap disubsidi dalam batas yang wajar dan bisa ditutup oleh penerimaan lebih dari jenis-jenis BBM lain. Asal harga minyak stabil dan nilai tukar kita tidak terlampau merosot. Coba lihat: Bila sekarang ini minyak tanah naik menjadi Rp 130 per liter, minyak diesel dan minyak bakar menjadi Rp 150 per liter dan minyak solar tidak disubsidi lagi (Rp 185 per liter), sebenarnya tidak akan ada lagi subsidi melalui anggaran. Minyak solar sampai tahun 1973 kan juga tidak disubsidi, dan keadaan kita sekarang kan sudah jauh lebih baik dari sepuluh tahun lalu. Jadi kenapa tidak? Tapi ini cuma main hitung-hitungan saja lho. Bila orang lain ikut mendengar pasti akan marah nih. Sudah, ini saja dahulu. Kita juga sudah harus belajar mengurangi obrolan per telepon. Harga pulsanya mungkin akan naik (sudah diumumkan sebesar 20 persen) .... B: Ha, ha, ha, ..... (tidak jelas makna suara tertawa ini).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini