PUTRI berseragam gaun panjang biru tua dan berbaju putih. Tutup kepalanya juga putih. Prianya bercelana panjang atau pendek, berseragam biru-putih pula. Mereka tampak sopan, dan belajar di madrasah milik Yayasan Pendidikan Ma'arif (YPM) di Desa Sepanjang, Kec. Taman, Kab. Sidoarjo, Jawa Timur. Gedungnya yang bertingkat dengan 36 lokal -- untuk ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah -- juga dipakai untuk sekolah umum (SMTP, SMTA dan STM). Buat madrasahnya kurikulum Departemen Agama tetap diajarkan dengan patuh. Tapi buku khusus dari Ma'arif tentang ahlussunnah wal jamaah, hadis, tafsir dan fiqh diberikan pula. Lebih dari itu muridnya juga diajari berpidato sebulan sekali. Selain yang di Desa Sepanjang, ada 9.610 madrasah lagi yang dimiliki Ma'arif. Semua itu telah dibenahi dengan baik. Administrasinya, pakaian sekolahnya, papan namanya dan stempel sekolahnya diseragamkan. Tapi belakangan ini pimpinan Ma'arif kecewa dan resah atas kebijaksanaan Kanwil Departemen Agama Jawa Timur. Kanwil itu rupanya telah membentuk tim khusus, katanya, untuk informasi pengamanan menjelang Sidang Umum MPR. Semua kepala madrasah swasta diundangnya untuk memperoleh pengarahan. Mereka diharuskan pula mengisi daftar isian tentang kemungkinan penyeragaman madrasah swasta. Ada 21 masalah yang perlu diseragamkan, antara lain stempel, pakaian, papan nama, lambang, lagu mars dan administrasi. "Dengan kegiatan itu bukan berarti madrasah harus seragam," kata H. Abdul Fatah, Kabid Pembinaan Perguruan Islam Kanwil itu. Jumlah madrasah swasta di Jawa Timur mencapai hampir 11.400. Kelompok Ma'arif, yang terbesar dari semuanya, berpendapat lain. "Identitas swasta akan hilang Ma'arif tidak berfungsi lagi. Dan secara ideologis bangkrut, " kata K. Choiron Syakur, tokoh Ma'arif. Dia juga menjadi pengasuh Pesantren Wahid Hasyim Bangil. Abdul Fatah tetap menjelaskan: "Penyeragaman ini bukan berarti menghilangkan identitas swasta. Kalau di dalam stempel atau papan nama mau ditulis simbol swasta, ya, silakan." Choiron melihat kemungkinan sikap mental, penalaran atau gaya hidup anak-anak Ma'arif akan luntur sebagai akibat penyeragaman itu. Kepada anak madrasah swasta, khususnya Ma'arif, selalu diajarkan hidup mandiri, sederhana, dan tak boleh bergaul bebas. Kalau seragam, menurut Choiron, mungkin segalanya berubah jadi mahal. Dia memberi contoh naskah EBTA Madrasah Islam (MI), Ma'arif menjual Rp 275, sedangkan untuk EBTA tsanawiyah Rp 1.000. Tapi EBTA MI yang ditangani Departemen Agama dijual dengan Rp 1.500, dan untuk EBTA tsanawiyah seharga Rp 6.500. "Apa mereka nanti malah tidak putus asa," kata Choiron. Di Jawa Timur juga ada madrasah negeri, sekitar 250 saja. Minoritas. Salah satu di antaranya adalah Madrasah Aliyah Negeri (satu-satunya di Surabaya) di kompleks IAIN Surabaya. Siswinya memakai rok biasa, berbeda jauh dengan yang di Sepanjang itu. Tingkat kesopanan juga berbeda. "Wah, mereka berani sekali dengan guru," kata seorang guru di madrasah negeri itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini