RAKYAT diminta ikat pinggang/Para pejabat pusing bukan kepalang
....Lagu itu dinyanyikan malam Minggu y.l. di "Pasar KaRet Blok
M Kebayoran Baru, Jakarta, oleh seorang penyanyi yang
menciptakannya sendiri dengan judul: Resesi.
Tak terlalu indah, tapi rupanya tak terlalu salah: para
pengelola ekonomi Indonesia memang sudah pusing memutar otak,
bagaimana tetap meningkatkan pembangunan di tengah sulitnya
danadana penerimaan.
Banyak pertanda sulit yang muncul sebelum Presiden Soeharto
menyampaikan pidato RAPBN 1983/1984 di DPR, 6 Januari lalu
(lihat: Nasional). Di dalam negeri pajak penjualan (PPn) mobil
diesel dinaikkan. Biaya fiskal untuk ke luar negeri juga
mendadak naik enam kali, kini Rp 150.000. Pajak lagu-lagu kaset
juga naik, demikian pula PPn buat para artis yang manggung
semakin diintensifkan pemungutannya.
Indonesia memang sedang kena sabet kelesuan ekonomi dunia.
Meskipun dengan daya tahan yang lumayan. Presiden di DPR
menyebutkan tingkat inflasi di Indonesia di tahun 1982 masih
bisa dipertahankan di bawah 10%, tepatnya 9,69%. Dan melihat
tingkat pertumbuhan yang setinggi 7,6% dalam tahun 1981, banyak
orang menduga tingkat itu hanya akan menurun menjadi antara 4-5%
dalam tahun yang baru lampau.
Angka itu lebih baik bahkan ketimbang Jepang, tapi dalam tahun
1983 yang makin sulit ini, ia diduga akan semakin menurun.
Gambaran yang semakin suram itu jelas terlihat kalau orang
menyimak angka yang terpampang dalam RAPBN 83/84.
Resesi dan masih lemahnya pasaran minyak dunia cuma memberi
peluang kepada pemerintah untuk menaikkan anggaran belanjanya
dengan 6,1% -- dari Rp 15,6 trilyun menjadi Rp 16,56 trilyun.
Kenaikan 6,1% ini merupakan kenaikan yang paling kecil dalam
sejarah APBN pemerintahan Soeharto selam 15 tahun (lihat:
grafik). Bahkan kalau turut diperhitungkan tingkat inflasi
(tahun ini diperkirakan akan bertengger di atas 10%) orang bisa
bilang sesungguhnya anggaran belanja itu turun.
Seolah tak cukup optimistis, orang di sana-sini meragukan: akan
tercapaikah penerimaan yang Rp 16,5 trilyun itu? Sebab, seperti
sudah diakui ole Menteri Keuangan Ali Wardhana dalam suatu
wawancara khusus dengan TEMPO (27 November 1982), realisasi APB
1982/1983 y.l. akan jatuh lebih kecil dari Rp 15,6 trilyun.
Sebab utama adalah tak tercapainya Pajak Perseroan Minyak (PPM)
yang tadinya diperkirakan Rp 9,1 trilyun.
Jumlah PPM sebanyak itu -- ditargetkan naik 6,4% dari APBN
1981/1982 -- didasarkan pada perhitungan harga ekspor minyak
yang rata-rata US$ 3 per barrel dan jumlah ekspor minyak
rata-rata 1 juta barrel, dari produksi total yang diperkirakan
akan mencapai 1,4 juta barrel sehari pukul rata setahun.
Ternyata yang mampu diekspor tak sampai sebegitu. Dari produksi
total yang rata-rata 1,3 juta barrel sehari, harga ekspor minyak
sejak September lalu, diturunkan dengan sekitar setengah dollar
AS rata-rata, atau turun dengan US$ 0,47 sen untuk jenis Minas
sampai US $ 1,9 untuk jenis Duri.
Tak heran bila seorang bankir pemerintah memperkirakan akan
terjadi pengurangan penerimaan PPM sekitar Rp 1 trilyun di akhir
tahun anggaran Maret 1983. Seorang direktur sebuah bank asing
yang terkenal di Jakarta meramal lebih buruk: melesetnya
penerimaan PPM akan lebih besar lagi dari satu trilyun. Ia
menunjuk pada musim dingin sekarang yang tak membuat permintaan
minyak dari Indonesia melonjak. Sedang Caltex, produsen paling
besar di Indonesia, kini hanya menghasilkan sekitar 00.000
barrel per hari. Sebelumnya, di tahun 1980, 800.000 barrel.
Itu pula sebabnya beberapa pengamat merasa pesimistis anggaran
PP untuk tahun 1983/84 yang Rp 8,8 trilyun -- menurun 2,8% dari
target PPM tahun lalu -- akan bisa dipenuhi. Gagalnya OPEC
mencapai kesepakatan untuk membagi-bagi produksi nasional dari
produksi total yang 18,5 juta barrel sehari, menunjukkan bahwa
ke-13 anggota organisasi pengekspor. minyak itu kini masih bisa
untuk menempuh beleid sendiri.
Dengan kata lain, siasat banting harga dengan menaikkan
produksi, dan pemherian potongan hargayang cukup menarik, masih
akan terus dilakukan negeri seperti Nigeria, Iran, Libya dan
Venezuela, dan eksportir minyak yang non-OPEC seperti Meksiko.
Lain lagi yang dijual di pasaran spot, Menteri Pertambangan dan
Energi Subroto pekan lalu memperkirakan jumlah minyak yang
dijual di pasaran tunai (spot) dengan harga jauh di bawah harga
kontrak, belakangan ini sudah mencapai 20% dari seluruh produksi
minyak dunia. Bahkan buletin minyak berwibawa, Petroleum
Intelligence Weekly, memperkirakan jumlah yang beredar di
pasaran spot itu sudah di atas 35%. Pada hal dulu, di
tahun-tahun 1977 sampai 1980, jumlah minyak spot itu masih
berkisar antara 3-6%.
Ukuran penjualan minyak spot itu penting, bukan saja karena
harganya dibanting, tapi ia juga dipakai sebagai indikator untuk
penentuan harga patokan minyak OPEC. Sehingga semakin rendah
harga minyak di pasaran spot, besar kemungkinan itu akan menarik
harga minyak kontrak ke bawah.
Itu pula yang kabarnya sedang menggoda para produsen minyak
Teluk (Gulf), seperti Kuwait, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi,
untuk menurunkan harga patokan minyak OPEC antara US$ 24 per
barrel. Andaikata itu terjadi, anggaran belanja Indonesia yang
baru bisa terganggu. Minyak sampai sekarang masih merupakan
andalan utama dari penerimaan total (53,3%).
Selain hasil minyak, anggaran ini masih sangat tergantung dari
satu asumsi lagi penerimaan dari bantuan proyek dan
kredit-kredit luar negeri. Jumlahnya kini meningkat hampir 50%,
dari Rp 1.825,8 milyarmenjadi Rp 2.736,8 milyar.
Banyak juga yang merasa was-was dengan kenaikan sebesar itu.
Tapi menurut Ali Wardhana, ketika menjelaskan anggaran belanja
yang baru kepada para pemimpin redaksi media massa di Bina Graha
pekan lalu, penerimaan dari bantuan proyek itu kali ini akan
termasuk jumlah bantuan resmi (official loans) seperti dari IGGI
dan Bank Dunia yang belum dilaksanakan (undisbursed).
Utang-utang jangka panjang yang belum dilaksanakan itu kabarnya
ada yang dari 5 tahun lalu, sehingga jumlahnya secara komulatif
akan meningkat banyak dalam tahun ini.
Rupanya, demikian seorang pejabat ekonomi yang mengetahui,
menumpuknya jumlah kredit yang belum dipakai itu disebabkan
karena Indonesia masih belum sepenuhnya memenuhi persyaratan
yang diminta badan-badan yang menyalurkan bantuan itu, seperti
Bank Dunia.
"Ketika uang minyak masih banyak, kami memang tak begitu
memperhatikan persyaratan-persyaratan itu," kata pejabat ekonomi
itu. "Tapi sejak dua tahun lalu sampai sekarang, banyak yang
sudah kami penuhi, sehingga utang-utang yang belum terpakai
tersebut bisa dikeluarkan".
Pada akhir Maret 1982, seluruh utang yang sudah direalisasi
(disbursed) akan mencapai sekitar US$ 14,5 milyar. Sedang
utang-utang yang belum direalisasi diperkirakan masih sebanyak
US$ 10,6 milyar pada waktu itu. Jumlah tersebut termasuk
utang-utang resmi yang jangka panjang, kredit ekspor yang
biasanya diberikan bank-bank Exim, dan utang-utang komersial
seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia melalui Morgan
Guarantee Trust.
Penerimaan dari bantuan proyek yang Rp 2,7 trilyun lebih itu,
menurut seorang pejabat ekonomi di Jakarta, sebagian akan
terdiri dari utang-utang komersial. Kalau jumlah tersebut
dikonversikan dengan kurs Rp 700 untuk 1 US$, maka yang
diharapkan masuk dalam APBN 83/84 itu adalah sekitar US$ 4
milyar.
Bisa dipastikan utang-utang komrsial yang akan dibuat BI dalam
tahun ini akan lebih besar lagi. Selain Indonesia posisinya
dianggap baik di mata para bankir internasional, utang-utang
komersial itu sifatnya lebih tidak terikat oleh prosedur resmi,
dan cocok untuk membiayai kegiatan jangka pendek, seperti
membangun ekspansi proyek kilang minyak di Plaju.
Sumber-sumber di BI mencatat utang komersial yang sudah
direalisasi, dan masih berlaku (still outstanding) akan
berjumlah US$ 1,8 milyar lebih pada akhir Maret tahun ini. Kalau
saja diingat bahwa pada tahun 1980 utang-utang komersial itu
sudah mencapai 37% dari seluruh jumlah utang Republik bisa
dipastikan persentasenya akan lebih besar lagi dalam tahun ini.
Pos penerimaan bukan pajak juga meningkat hampir 30% dari Rp
392,4 milyar menjadi Rp 502 milyar. Biasanya berasal dari
perusahaan negara, seperti PN, PT Garuda Indonesia Airways, PTP,
pesero-pesero, serta bank-bank pemerintah.
Bisakah itu tercapai? H. Lumban Gaol, Direktur Urusan Pangan dan
Penerimaan Dalam Negeri pada Depkeu, mengatakan, sebanyak 77%
dari jumlah tersebut akan dibebankan pada Departemen Keuangan,
dan sisanya dari departemen lain.
Menurut Gaol, sekitar Rp 351 milyar yang ditanggung
departemennya itu akan berupa laba dan jasa perusahaan dan
bank-bank pemerintah. Juga dari penjualan sejumlah peralatan dan
pengembalian sejumlah pinjaman oleh lembaga dan perorangan
(pegawai) yang meminjam ke kas negara. Ditambah pungutan dan
iuran hasil beberapa departemen teknis. Semua itu, menurut Gaol,
bisa terpenuhi, karena pemungutannya akan dilakukan secara lebih
intensif, di bawah pengawasan Menteri PAN Soemarlin.
Itu agaknya akan dibarengi dengan tindakan efisiensi. Sektor
pengeluaran rutin sejak tahun lalu misalnya, semakin ditekan ke
bawah. Kali ini hanya akan naik 3,9%. Dan itu pasti akan
tertelan oleh inflasi.
Beberapa macam subsidi juga dikurangi atau dihapuskan sama
sekali. Subsidi BBM turun 24,4% menjadi Rp 698,5 milyar. Lalu,
beberapa jam sesudah pidato Presiden, pada pukul 12 malam, harga
BBM dinaikkan dengan 66,6% untuk komponen minyak tanah, minyak
diesel dan minyak bakar. Sedang minyak solar, yang di Indonesia
banyak juga digunakan untuk kendaraan pribadi, naik 70,6%
menjadi Rp 145 per liter -- Rp 11 lebih tinggi dari Malaysia.
Keempat komponen yang tadinya disubsidi berat itu, memang
bertambah mahal sekali. Tapi harganya toh masih di bawah biaya
produksi rata-rata seluruh komponen BBM yang Rp 152 per liter
sekarang, dan besar kemungkinan akan terus meningkat dalam tahun
anggaran yang baru, akibat inflasi dan kurs rupiah yang mungkin
terpaksa "diambangkan" ke bawah lebih lanjut.
Maka yang paling terkena, seperti sudah diduga, adalah para
pemakai kendaraan yang menggunakan bensin premium. Meskipun
persentase kenaikannya tidak besar (33,3%), tapi dalam jumlah
rupiah, premium yang kini resmi berharga Rp 320 per liter sudah
lebih mahal Rp 24 dari yang dijual di Malaysia, atau hanya Rp 20
lebih murah dari Muangthai yang bukan produsen minyak. Ada yang
beranggapan kenaikan bensin Super 98 yang cuma 11% (Rp 40),
sebenarnya boleh digenjot lebih kencang, mengingat si Super tol
umumnya dipakai oleh mobil-mobil yang super-mewah.
Betapa pun juga, kenaikan harga BBM umumnya dimaklumi. Berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini pemerintah menjelaskan
secara lebih terperinci, apa sebab BBM itu harus naik sekarang
juga. Dalam pidatonya, Presiden menggambarkan, "jika harga BBM
tidak dinaikkan, maka subsidi harga BBM untuk tahun 1983/84
akan mencapai Rp 2,1 trilyun lebih. Ini akan berarti
menghabiskan lebih dari seperenam penerimaan negara yang
direncanakan dalam tahun anggaran yang akan datang."
Sejauh mana pemerintah bisa menghemat, kiranya merupakan
tantangan yang tak selesai dengan tindakan pekan lalu. Jumlah
subsidi BBM kini didasarkan pada konsumsi BBM sebesar 26,3
milyar liter pada tahun anggaran 1983/84. Dengan tingkat inflasi
yang mungkin akan mencapai sekitar 12% tahun ini, dan nilai
rupiah yang mengendur terhadap dollar, sekalipun bergerak pelan
mudah diduga subsidi BBM itu akan terpaksa ditambah kelak.
Ini bisa diatasi kalau pemerintah, misalnya, menempuh jalan
lain, seperti suatu tindakan devaluasi. Nampaknya jalan drastis
itu masih dianggap tidak perlu. Betapa pun, bila rupiah semakin
mengalami depresiasi terhadap dollar seperti yang selama ini
terjadi, dengan sendirinya akan dibutuhkan rupiah yang lebih
banyak untuk pelbagai keperluan.
Toh bukannya tanpa harapan sama sekali. Jumlah subsidi
tergantung dari volume konsumsi BBM itu sendiri. Volume 26,3
juta kiloliter yang digunakan untuk perhitungan, merupakan
perkiraan kenaikan 1,5% dari target konsumsi tahun sebelumnya.
Besar, kemungkinan jumlah itu bisa sedikit 'dihemat', seperti
juga tahun ini, akibat lesunya dunia industri, dan mungkin juga
penghematan pemakaian kendaraan mobil karena bensin mahal.
Salah satu tindakan yang juga menarik adalah dihapusnya subsidi
pangan yang tadinya berjumlah Rp 188,4 milyar. Subsidi itu
diadakan untuk menolong para konsumen, karena harga beras impor
waktu itu masih mahal, sampai US$ 400 lebih per ton. Tapi
ternyata harga beras di pasaran internasional anjlok, bahkan
kini bisa diperoleh sedikit di bawah harga beras di dalam
negeri. Itu pula sebabnya Ketua Bulog Bustanil Arifin pekan lalu
berkata yakin, "tak satu sen pun dari subsidi yang Rp 188 milyar
itu yang terpakai."
Sewaktu dengar pendapat dengan Komisi VI DPR akhir November
lalu, Menkeu Ali Wardhana juga menjelaskan subsidi itu masih
bersisa cukup besar. Sebagian dari subsidi itu digunakan untuk
membayari biaya pengangkutan bahan pangan ke luar Jawa, seperti
ke Irian Jaya.
Hapusnya subsidi pangan itu sendiri diperkirakan tak akan banyak
berpengaruh terhadap harga beras. Selain harga beras impor
sekarang lebih murah dari harga di dalam negeri, pemerintah
masih tetap mensubsidi para petani. Hanya kali ini subsidi pupuk
itu turun 0,80%, menjadi Rp 457,5 milyar.
Angka-angka yang turun dalam RAP BN 1983/84 nampaknya bisa
dimengerti banyak orang. Toh ada yang berpendapat kenaikan yang
6,1% itu -- yang kelihatan tak mudah untuk dicapai -- masih
tinggi. Kenapa pemerintah tidak bersikap realistis, misalnya,
dengan mengumumkan rencana anggaran belanjanya lcbih rendah dari
tahun lalu?
Tapi ada yang berpendapat, hal itu tak mudah dilakukan. RAPBN
1983/84 itu juga harus memperhatikan tuntutan untuk
"mempertahankan momentum pembangunan".
Pendapat ini ada benarnya. Masalahnya benarkah geraknya cukup
efektif, mengingat sisa anggaran yang tak terpakai (Siap) selalu
masih ada, dan cukup besar.
Menteri PAN Soemarlin berpendapat, Siap yang selama ini terjadi
cukup wajar. Tapi dalam APBN 1982/83, Siap itu -- tak termasuk
bantuan proyek dan kredit ekspor -- tercatat sebanyak 63%, pada
awal Desember 1982. Mungkin saja itu akan berkurang di akhir
Maret nanti. Tapi kalau angka yang 63% itu benar, dalam waktu
empat bulan ia mungkin tak akan berkurang banyak (lihat tabel
halaman 71).
Mungkin Siap itu berarti semacam efisiensi juga: penghamburan
uang tak terjadi seperti yang ditakutkan. Tapi besarnya Siap
mengisyaratkan perlunya mengurangi dana yang dianggarkan. Di
masa sulit, yang mungkin masih akan panjang, laju pembangunan
toh tak harus diukur dari besarnya anggaran. Yang laju biasanya
yang ramping dan tangkas. RAPBN 1983/84 mungkin suatu awal
perkenalan dengan bagaimana jadi kecil tanpa jadi kurang sedap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini