Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bismillah, dengan anggaran yang ... ekonomi 1983/1984, memang berat,...

Rapbn 1983/84 paling ramping selama pemerintah soeharto dikhawatirkan akan ditelan inflasi. angka-angka yang dipaparkan jadi pertanyaan pasaran. minyak ttp lesu anggaran belum menjamah para rekanan kecil. (eb)

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAKYAT diminta ikat pinggang/Para pejabat pusing bukan kepalang ....Lagu itu dinyanyikan malam Minggu y.l. di "Pasar KaRet Blok M Kebayoran Baru, Jakarta, oleh seorang penyanyi yang menciptakannya sendiri dengan judul: Resesi. Tak terlalu indah, tapi rupanya tak terlalu salah: para pengelola ekonomi Indonesia memang sudah pusing memutar otak, bagaimana tetap meningkatkan pembangunan di tengah sulitnya danadana penerimaan. Banyak pertanda sulit yang muncul sebelum Presiden Soeharto menyampaikan pidato RAPBN 1983/1984 di DPR, 6 Januari lalu (lihat: Nasional). Di dalam negeri pajak penjualan (PPn) mobil diesel dinaikkan. Biaya fiskal untuk ke luar negeri juga mendadak naik enam kali, kini Rp 150.000. Pajak lagu-lagu kaset juga naik, demikian pula PPn buat para artis yang manggung semakin diintensifkan pemungutannya. Indonesia memang sedang kena sabet kelesuan ekonomi dunia. Meskipun dengan daya tahan yang lumayan. Presiden di DPR menyebutkan tingkat inflasi di Indonesia di tahun 1982 masih bisa dipertahankan di bawah 10%, tepatnya 9,69%. Dan melihat tingkat pertumbuhan yang setinggi 7,6% dalam tahun 1981, banyak orang menduga tingkat itu hanya akan menurun menjadi antara 4-5% dalam tahun yang baru lampau. Angka itu lebih baik bahkan ketimbang Jepang, tapi dalam tahun 1983 yang makin sulit ini, ia diduga akan semakin menurun. Gambaran yang semakin suram itu jelas terlihat kalau orang menyimak angka yang terpampang dalam RAPBN 83/84. Resesi dan masih lemahnya pasaran minyak dunia cuma memberi peluang kepada pemerintah untuk menaikkan anggaran belanjanya dengan 6,1% -- dari Rp 15,6 trilyun menjadi Rp 16,56 trilyun. Kenaikan 6,1% ini merupakan kenaikan yang paling kecil dalam sejarah APBN pemerintahan Soeharto selam 15 tahun (lihat: grafik). Bahkan kalau turut diperhitungkan tingkat inflasi (tahun ini diperkirakan akan bertengger di atas 10%) orang bisa bilang sesungguhnya anggaran belanja itu turun. Seolah tak cukup optimistis, orang di sana-sini meragukan: akan tercapaikah penerimaan yang Rp 16,5 trilyun itu? Sebab, seperti sudah diakui ole Menteri Keuangan Ali Wardhana dalam suatu wawancara khusus dengan TEMPO (27 November 1982), realisasi APB 1982/1983 y.l. akan jatuh lebih kecil dari Rp 15,6 trilyun. Sebab utama adalah tak tercapainya Pajak Perseroan Minyak (PPM) yang tadinya diperkirakan Rp 9,1 trilyun. Jumlah PPM sebanyak itu -- ditargetkan naik 6,4% dari APBN 1981/1982 -- didasarkan pada perhitungan harga ekspor minyak yang rata-rata US$ 3 per barrel dan jumlah ekspor minyak rata-rata 1 juta barrel, dari produksi total yang diperkirakan akan mencapai 1,4 juta barrel sehari pukul rata setahun. Ternyata yang mampu diekspor tak sampai sebegitu. Dari produksi total yang rata-rata 1,3 juta barrel sehari, harga ekspor minyak sejak September lalu, diturunkan dengan sekitar setengah dollar AS rata-rata, atau turun dengan US$ 0,47 sen untuk jenis Minas sampai US $ 1,9 untuk jenis Duri. Tak heran bila seorang bankir pemerintah memperkirakan akan terjadi pengurangan penerimaan PPM sekitar Rp 1 trilyun di akhir tahun anggaran Maret 1983. Seorang direktur sebuah bank asing yang terkenal di Jakarta meramal lebih buruk: melesetnya penerimaan PPM akan lebih besar lagi dari satu trilyun. Ia menunjuk pada musim dingin sekarang yang tak membuat permintaan minyak dari Indonesia melonjak. Sedang Caltex, produsen paling besar di Indonesia, kini hanya menghasilkan sekitar 00.000 barrel per hari. Sebelumnya, di tahun 1980, 800.000 barrel. Itu pula sebabnya beberapa pengamat merasa pesimistis anggaran PP untuk tahun 1983/84 yang Rp 8,8 trilyun -- menurun 2,8% dari target PPM tahun lalu -- akan bisa dipenuhi. Gagalnya OPEC mencapai kesepakatan untuk membagi-bagi produksi nasional dari produksi total yang 18,5 juta barrel sehari, menunjukkan bahwa ke-13 anggota organisasi pengekspor. minyak itu kini masih bisa untuk menempuh beleid sendiri. Dengan kata lain, siasat banting harga dengan menaikkan produksi, dan pemherian potongan hargayang cukup menarik, masih akan terus dilakukan negeri seperti Nigeria, Iran, Libya dan Venezuela, dan eksportir minyak yang non-OPEC seperti Meksiko. Lain lagi yang dijual di pasaran spot, Menteri Pertambangan dan Energi Subroto pekan lalu memperkirakan jumlah minyak yang dijual di pasaran tunai (spot) dengan harga jauh di bawah harga kontrak, belakangan ini sudah mencapai 20% dari seluruh produksi minyak dunia. Bahkan buletin minyak berwibawa, Petroleum Intelligence Weekly, memperkirakan jumlah yang beredar di pasaran spot itu sudah di atas 35%. Pada hal dulu, di tahun-tahun 1977 sampai 1980, jumlah minyak spot itu masih berkisar antara 3-6%. Ukuran penjualan minyak spot itu penting, bukan saja karena harganya dibanting, tapi ia juga dipakai sebagai indikator untuk penentuan harga patokan minyak OPEC. Sehingga semakin rendah harga minyak di pasaran spot, besar kemungkinan itu akan menarik harga minyak kontrak ke bawah. Itu pula yang kabarnya sedang menggoda para produsen minyak Teluk (Gulf), seperti Kuwait, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, untuk menurunkan harga patokan minyak OPEC antara US$ 24 per barrel. Andaikata itu terjadi, anggaran belanja Indonesia yang baru bisa terganggu. Minyak sampai sekarang masih merupakan andalan utama dari penerimaan total (53,3%). Selain hasil minyak, anggaran ini masih sangat tergantung dari satu asumsi lagi penerimaan dari bantuan proyek dan kredit-kredit luar negeri. Jumlahnya kini meningkat hampir 50%, dari Rp 1.825,8 milyarmenjadi Rp 2.736,8 milyar. Banyak juga yang merasa was-was dengan kenaikan sebesar itu. Tapi menurut Ali Wardhana, ketika menjelaskan anggaran belanja yang baru kepada para pemimpin redaksi media massa di Bina Graha pekan lalu, penerimaan dari bantuan proyek itu kali ini akan termasuk jumlah bantuan resmi (official loans) seperti dari IGGI dan Bank Dunia yang belum dilaksanakan (undisbursed). Utang-utang jangka panjang yang belum dilaksanakan itu kabarnya ada yang dari 5 tahun lalu, sehingga jumlahnya secara komulatif akan meningkat banyak dalam tahun ini. Rupanya, demikian seorang pejabat ekonomi yang mengetahui, menumpuknya jumlah kredit yang belum dipakai itu disebabkan karena Indonesia masih belum sepenuhnya memenuhi persyaratan yang diminta badan-badan yang menyalurkan bantuan itu, seperti Bank Dunia. "Ketika uang minyak masih banyak, kami memang tak begitu memperhatikan persyaratan-persyaratan itu," kata pejabat ekonomi itu. "Tapi sejak dua tahun lalu sampai sekarang, banyak yang sudah kami penuhi, sehingga utang-utang yang belum terpakai tersebut bisa dikeluarkan". Pada akhir Maret 1982, seluruh utang yang sudah direalisasi (disbursed) akan mencapai sekitar US$ 14,5 milyar. Sedang utang-utang yang belum direalisasi diperkirakan masih sebanyak US$ 10,6 milyar pada waktu itu. Jumlah tersebut termasuk utang-utang resmi yang jangka panjang, kredit ekspor yang biasanya diberikan bank-bank Exim, dan utang-utang komersial seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia melalui Morgan Guarantee Trust. Penerimaan dari bantuan proyek yang Rp 2,7 trilyun lebih itu, menurut seorang pejabat ekonomi di Jakarta, sebagian akan terdiri dari utang-utang komersial. Kalau jumlah tersebut dikonversikan dengan kurs Rp 700 untuk 1 US$, maka yang diharapkan masuk dalam APBN 83/84 itu adalah sekitar US$ 4 milyar. Bisa dipastikan utang-utang komrsial yang akan dibuat BI dalam tahun ini akan lebih besar lagi. Selain Indonesia posisinya dianggap baik di mata para bankir internasional, utang-utang komersial itu sifatnya lebih tidak terikat oleh prosedur resmi, dan cocok untuk membiayai kegiatan jangka pendek, seperti membangun ekspansi proyek kilang minyak di Plaju. Sumber-sumber di BI mencatat utang komersial yang sudah direalisasi, dan masih berlaku (still outstanding) akan berjumlah US$ 1,8 milyar lebih pada akhir Maret tahun ini. Kalau saja diingat bahwa pada tahun 1980 utang-utang komersial itu sudah mencapai 37% dari seluruh jumlah utang Republik bisa dipastikan persentasenya akan lebih besar lagi dalam tahun ini. Pos penerimaan bukan pajak juga meningkat hampir 30% dari Rp 392,4 milyar menjadi Rp 502 milyar. Biasanya berasal dari perusahaan negara, seperti PN, PT Garuda Indonesia Airways, PTP, pesero-pesero, serta bank-bank pemerintah. Bisakah itu tercapai? H. Lumban Gaol, Direktur Urusan Pangan dan Penerimaan Dalam Negeri pada Depkeu, mengatakan, sebanyak 77% dari jumlah tersebut akan dibebankan pada Departemen Keuangan, dan sisanya dari departemen lain. Menurut Gaol, sekitar Rp 351 milyar yang ditanggung departemennya itu akan berupa laba dan jasa perusahaan dan bank-bank pemerintah. Juga dari penjualan sejumlah peralatan dan pengembalian sejumlah pinjaman oleh lembaga dan perorangan (pegawai) yang meminjam ke kas negara. Ditambah pungutan dan iuran hasil beberapa departemen teknis. Semua itu, menurut Gaol, bisa terpenuhi, karena pemungutannya akan dilakukan secara lebih intensif, di bawah pengawasan Menteri PAN Soemarlin. Itu agaknya akan dibarengi dengan tindakan efisiensi. Sektor pengeluaran rutin sejak tahun lalu misalnya, semakin ditekan ke bawah. Kali ini hanya akan naik 3,9%. Dan itu pasti akan tertelan oleh inflasi. Beberapa macam subsidi juga dikurangi atau dihapuskan sama sekali. Subsidi BBM turun 24,4% menjadi Rp 698,5 milyar. Lalu, beberapa jam sesudah pidato Presiden, pada pukul 12 malam, harga BBM dinaikkan dengan 66,6% untuk komponen minyak tanah, minyak diesel dan minyak bakar. Sedang minyak solar, yang di Indonesia banyak juga digunakan untuk kendaraan pribadi, naik 70,6% menjadi Rp 145 per liter -- Rp 11 lebih tinggi dari Malaysia. Keempat komponen yang tadinya disubsidi berat itu, memang bertambah mahal sekali. Tapi harganya toh masih di bawah biaya produksi rata-rata seluruh komponen BBM yang Rp 152 per liter sekarang, dan besar kemungkinan akan terus meningkat dalam tahun anggaran yang baru, akibat inflasi dan kurs rupiah yang mungkin terpaksa "diambangkan" ke bawah lebih lanjut. Maka yang paling terkena, seperti sudah diduga, adalah para pemakai kendaraan yang menggunakan bensin premium. Meskipun persentase kenaikannya tidak besar (33,3%), tapi dalam jumlah rupiah, premium yang kini resmi berharga Rp 320 per liter sudah lebih mahal Rp 24 dari yang dijual di Malaysia, atau hanya Rp 20 lebih murah dari Muangthai yang bukan produsen minyak. Ada yang beranggapan kenaikan bensin Super 98 yang cuma 11% (Rp 40), sebenarnya boleh digenjot lebih kencang, mengingat si Super tol umumnya dipakai oleh mobil-mobil yang super-mewah. Betapa pun juga, kenaikan harga BBM umumnya dimaklumi. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini pemerintah menjelaskan secara lebih terperinci, apa sebab BBM itu harus naik sekarang juga. Dalam pidatonya, Presiden menggambarkan, "jika harga BBM tidak dinaikkan, maka subsidi harga BBM untuk tahun 1983/84 akan mencapai Rp 2,1 trilyun lebih. Ini akan berarti menghabiskan lebih dari seperenam penerimaan negara yang direncanakan dalam tahun anggaran yang akan datang." Sejauh mana pemerintah bisa menghemat, kiranya merupakan tantangan yang tak selesai dengan tindakan pekan lalu. Jumlah subsidi BBM kini didasarkan pada konsumsi BBM sebesar 26,3 milyar liter pada tahun anggaran 1983/84. Dengan tingkat inflasi yang mungkin akan mencapai sekitar 12% tahun ini, dan nilai rupiah yang mengendur terhadap dollar, sekalipun bergerak pelan mudah diduga subsidi BBM itu akan terpaksa ditambah kelak. Ini bisa diatasi kalau pemerintah, misalnya, menempuh jalan lain, seperti suatu tindakan devaluasi. Nampaknya jalan drastis itu masih dianggap tidak perlu. Betapa pun, bila rupiah semakin mengalami depresiasi terhadap dollar seperti yang selama ini terjadi, dengan sendirinya akan dibutuhkan rupiah yang lebih banyak untuk pelbagai keperluan. Toh bukannya tanpa harapan sama sekali. Jumlah subsidi tergantung dari volume konsumsi BBM itu sendiri. Volume 26,3 juta kiloliter yang digunakan untuk perhitungan, merupakan perkiraan kenaikan 1,5% dari target konsumsi tahun sebelumnya. Besar, kemungkinan jumlah itu bisa sedikit 'dihemat', seperti juga tahun ini, akibat lesunya dunia industri, dan mungkin juga penghematan pemakaian kendaraan mobil karena bensin mahal. Salah satu tindakan yang juga menarik adalah dihapusnya subsidi pangan yang tadinya berjumlah Rp 188,4 milyar. Subsidi itu diadakan untuk menolong para konsumen, karena harga beras impor waktu itu masih mahal, sampai US$ 400 lebih per ton. Tapi ternyata harga beras di pasaran internasional anjlok, bahkan kini bisa diperoleh sedikit di bawah harga beras di dalam negeri. Itu pula sebabnya Ketua Bulog Bustanil Arifin pekan lalu berkata yakin, "tak satu sen pun dari subsidi yang Rp 188 milyar itu yang terpakai." Sewaktu dengar pendapat dengan Komisi VI DPR akhir November lalu, Menkeu Ali Wardhana juga menjelaskan subsidi itu masih bersisa cukup besar. Sebagian dari subsidi itu digunakan untuk membayari biaya pengangkutan bahan pangan ke luar Jawa, seperti ke Irian Jaya. Hapusnya subsidi pangan itu sendiri diperkirakan tak akan banyak berpengaruh terhadap harga beras. Selain harga beras impor sekarang lebih murah dari harga di dalam negeri, pemerintah masih tetap mensubsidi para petani. Hanya kali ini subsidi pupuk itu turun 0,80%, menjadi Rp 457,5 milyar. Angka-angka yang turun dalam RAP BN 1983/84 nampaknya bisa dimengerti banyak orang. Toh ada yang berpendapat kenaikan yang 6,1% itu -- yang kelihatan tak mudah untuk dicapai -- masih tinggi. Kenapa pemerintah tidak bersikap realistis, misalnya, dengan mengumumkan rencana anggaran belanjanya lcbih rendah dari tahun lalu? Tapi ada yang berpendapat, hal itu tak mudah dilakukan. RAPBN 1983/84 itu juga harus memperhatikan tuntutan untuk "mempertahankan momentum pembangunan". Pendapat ini ada benarnya. Masalahnya benarkah geraknya cukup efektif, mengingat sisa anggaran yang tak terpakai (Siap) selalu masih ada, dan cukup besar. Menteri PAN Soemarlin berpendapat, Siap yang selama ini terjadi cukup wajar. Tapi dalam APBN 1982/83, Siap itu -- tak termasuk bantuan proyek dan kredit ekspor -- tercatat sebanyak 63%, pada awal Desember 1982. Mungkin saja itu akan berkurang di akhir Maret nanti. Tapi kalau angka yang 63% itu benar, dalam waktu empat bulan ia mungkin tak akan berkurang banyak (lihat tabel halaman 71). Mungkin Siap itu berarti semacam efisiensi juga: penghamburan uang tak terjadi seperti yang ditakutkan. Tapi besarnya Siap mengisyaratkan perlunya mengurangi dana yang dianggarkan. Di masa sulit, yang mungkin masih akan panjang, laju pembangunan toh tak harus diukur dari besarnya anggaran. Yang laju biasanya yang ramping dan tangkas. RAPBN 1983/84 mungkin suatu awal perkenalan dengan bagaimana jadi kecil tanpa jadi kurang sedap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus