Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Diperkosa Setan

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eric Sasono
  • Kritikus film dan redaktur www.rumahfilm.org

    Akhirnya muncul juga judul film seperti judul tulisan di atas ini. Judul ini mengandung­ sekaligus empat unsur daya tarik dasar sebuah film: kekerasan, seks (pada kata ”perkosa”), horor (”setan”), serta kisah fantastis (setan memperkosa). Kisah fantastis—bedakan dengan fantasi—seperti kata kritikus sastra Tzvetzan Todorov (1970), adalah ketika figur superna­tu­ral mengambil peran penting dalam mayapada kekisahan yang nyata.

    Perpaduan unsur macam ini bisa jadi sudah ditemukan dalam banyak film lain di Indonesia, tetapi memasukkan semuanya sebagai judul tanpa tedeng aling-aling bisa jadi merupakan sebuah fenomena baru. Pada pertengahan dekade 1990, film Indo­nesia juga pernah punya judul yang langsung pada pokok soal (ketika itu, pokok soalnya adalah seks) seperti Gairah Malam, Limbah Asmara, dan Ranjang yang Ternoda. Ada dua perbedaan judul film lawas tahun 1990-an itu dengan judul kontemporer ma­cam Tali Pocong Perawan, Suster Keramas, Hantu Binal Jembatan Semanggi, atau Hantu Puncak Datang Bulan (yang akhirnya dipermasalahkan dan kemudian beredar dengan judul lain) atau Diperkosa Setan itu tadi.

    Pertama, judul film-film lawas itu kalah dalam soal kelengkapan unsur. Mereka tak punya unsur horor dan fantasi sekaligus, padahal film Gairah Malam, misalnya, tergolong film dengan kisah fantastis, tepatnya film laga. Kedua, film dekade 1990 masih punya lingua poetica; masih­ ada usaha membuat judul itu lebih artistik. Perhatikan penggunaan ka­ta ”asmara” yang merupakan diksi­ puitis, atau penggunaan kata sifat­ ”ternoda” ketimbang kata benda ”noda” untuk menimbulkan kesan dramatis: noda itu ada di sana akibat sebuah proses panjang yang terjadi sebelumnya. Bandingkanlah dengan pilihan kata dan frasa yang maknanya lebih denotatif pada film belakangan ini seperti ”perawan” atau ”datang bulan” dan puncaknya: ”diperkosa”.

    Coba bayangkan, betapa beratnya usaha membuat orang keluar dari rumah agar mau membeli tiket bioskop dan menghabiskan waktu sekitar dua jam di sana. Maka diambillah jalan pintas dengan membuat judul yang sebisa mungkin membuang ”basa-basi” semacam lingua poe­tica atau aspek artistik lainnya. Bisa jadi judul-judul ini menarik perhatian, tapi belum tentu meng­undang penonton. Yang lebih tertarik pada judul itu malahan para agamawan (tepatnya ulama). MUI Samarinda, misalnya, menyatakan kata ”keramas” pa­da judul Suster Keramas mendatang­kan konotasi bahwa sang suster itu baru saja ”mandi junub” (keramas ­da­lam bahasa sehari-hari). Seandai­nya film Hantu Puncak diganti judulnya tanpa kata ”datang bulan”, pesan pendek berbau ancaman kepada pengelola bioskop yang akan memutarnya tak akan bermunculan.

    Judul memang menentukan. Tapi bukan hanya dalam soal laku-tidak­nya film, melainkan juga sebagai pin­tu masuk bagi tanggapan terhadap film. Sekalipun film adalah representasi, yaitu rangkaian pilihan bebas para pembuat film dalam menyusun ulang kenyataan, tetap saja film diserap sebagai refleksi, yaitu cermin dari kenyataan. Berdasarkan refleksi ini kita ingat Aa Gym dulu marah lantaran film Buruan Cium Gue ia rasa tak menggambarkan perilaku remaja Indonesia sesungguhnya. Ya memang tidak, karena gambaran remaja di film itu karangan para pembuat film saja.

    Inilah sebenarnya jebakan sensasi bahasa yang sedang dihasil­kan oleh sebagian pembuat film lewat judul-judul itu. Kita jadi mencurahkan perhatian buat judul belaka, padahal isinya tak ada apa-apanya dibanding DVD porno bajakan yang ditawarkan di bawah jembat­an Glodok, Jakarta, sambil menarik-na­rik tangan calon pembeli. Artinya, kita sedang membicarakan pepesan kosong, ketika pelanggaran hukum di depan mata dibiar­kan, sementara kesalahpahaman lantaran judul bikin kita jadi ancam-mengancam. Sekalipun saya mengerti orang lapar digoda terus-menerus dengan bau pepesan kosong bisa marah, saya tetap merasa bentuk kemarahan dengan ancam-mengancam sedang memajalkan kemampuan kita berdemokrasi.

    Ada dampak sensasionalisme ini terhadap kehidupan kita bersama. De­ngan ketidakdewasaan bersama yang dimiliki oleh sang penghasil ju­dul maupun yang menerimanya, ki­ta berhadapan dengan kesalahpahaman yang saling dipelihara dan pembangunan wacana yang berjalan makin lama makin berjauhan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus