Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Status pekerjaan Budi Laksono, 45 tahun, kini tidak jelas. Februari tahun lalu, wartawan harian Suara Pembaruan itu dipecat dari tempatnya bekerja. Padahal pengadilan hubungan industrial memerintahkan PT Media Interaksi Utama, perusahaan penerbit harian sore tersebut, mempekerjakannya kembali. ”Saya menunggu putusan final Mahkamah Agung,” kata Budi kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Pada 11 Maret lalu, ketua majelis hakim pengadilan hubungan industrial, Sapawi, dengan hakim anggota Juanda Pangaribuan dan M. Sinufa Zebua, menyatakan pemecatan terhadap Budi melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun penantian Budi untuk dapat bekerja lagi tampaknya bakal memakan waktu lama. Pasalnya, perusahaan tempatnya bekerja berkukuh pemberhentian itu sudah sesuai dengan aturan dan kinerja Budi tidak memuaskan karena kerap mangkir kerja. ”Kami akan mengajukan kasasi,” kata pengacara harian Suara Pembaruan, Andi Sima ngunsong.
Budi adalah satu dari puluhan karyawan Suara Pembaruan yang berani memperkarakan pemecatannya ke pengadilan. Menurut pria yang sudah 18 tahun bekerja di Suara Pembaruan itu, sejak terjadi perubahan status kepemilikan di perusahaan tersebut, suasana bekerja menjadi tidak nyaman karena siapa saja yang tidak setuju dengan pendapat pimpinan dianggap membangkang. ”Kami tidak mau bernasib sama seperti Investor Daily dan The Jakarta Globe,” katanya. Dua perusahaan yang pemiliknya sama dengan Suara Pembaruan itu telah lebih dulu mengurangi karyawannya karena efisiensi.
Salah satu contoh ketidaknyamanan itu, menurut Budi, yang juga Ketua Serikat Pekerja Suara Pembaruan, mereka yang ikut dalam serikat pekerja diminta memilih, apakah di serikat pekerja atau di perusahaan dengan jabatan tetap. Apabila memilih serikat pekerja, mereka akan mendapat demosi: jabatan diturunkan dan gajinya dikurangi.
Posisi Budi sendiri, ketika memilih aktif di kepengurusan serikat pekerja, dipindahkan dari bagian produksi ke bagian penelitian dan pengembangan. ”Gaji saya pun dipotong,” katanya. Selain itu, Budi mengatakan, perusahaan sengaja mencari-cari kesalahannya supaya dapat dengan mudah memberhentikannya. Misalnya, kata dia, dengan cara menerbitkan dua surat peringatan karena Budi mangkir atau tak masuk kerja. Namun, soal ketidaknyamanan dalam bekerja ini, Andi menolak berkomentar. ”Kita lihat saja di pengadilan,” katanya.
Keadaan serupa terjadi di televisi Indosiar. Menurut Sekretaris Serikat Pekerja Indosiar Yanri Silitonga, perusahaan itu telah memecat secara sepihak puluhan karyawan dengan alasan perusahaan terus merugi. Perusahaan juga menskors ratusan wartawan dan karyawan yang unjuk rasa saat perayaan ulang tahun televisi swasta itu pada Januari lalu—lantaran memprotes kebijakan perusahaan. Yanri, yang sudah 15 tahun bekerja, juga mengeluhkan lambatnya promosi dan kenaikan gaji. ”Kami akan mensomasi perusahaan,” katanya.
Juru bicara Indosiar, Gufron Sakaril, mengatakan perusahaannya memang sedangmelakukan efisiensi dengan cara restrukturisasi usaha dan organisasi. ”Keputusan ini sudah kami sampaikan kepada karyawan,” katanya. Mengenai karyawan yang diskors, Gufron mengatakatan upah mereka tetap dibayar sambil menunggu proses pemutusan hubungan kerja.
Lain lagi nasib pekerja di harian Berita Kota yang dipecat secara sepihak oleh perusahaan penerbitnya, PT Pena Mas Pewarta. Pada 27 Januari lalu, 144 wartawan dan karyawan harian Ibu Kota itu tiba-tiba diberhentikan karena perusahaan terus merugi. Pada hari yang sama, perusahaan itu menjual merek ”Berita Kota” kepada PT Metrogema Media Nusantara, anak perusahaan Kelompok Kompas Gramedia.
Esok harinya, ratusan wartawan dan karyawan itu membentuk Forum Wartawan dan Karyawan Berita Kota. Menurut ketua forum tersebut, Edison Siahaan, pemecatan secara sepihak dan mendadak itu adalah tindakan sewenang-wenang. ”Sekarang sudah berubah dari jurnalisme menjadi juraganisme,” katanya.
Menurut Edison, pemberhentian tersebut menabrak aturan karena semestinya tidak ada pemecatan lantaran yang dijual hanya produknya. ”Perusahaannya kan masih berdiri,” katanya. Kini mereka sedang mengupayakan pembicaraan dua pihak atau bipartit antara karyawan dan perusahaan.
Jawaban dari manajemen perusahaan yang diwakili Pemimpin Redaksi Berita Kota Johnny Hardjojo, pemecatan tersebut sudah sesuai dengan aturan. Perusahaan, kata dia, juga telah membayar pesangon kepada mereka. ”Kalau tidak mau (diberhentikan), jangan diterima dong pesangonnya,” katanya.
Anggota Dewan Pers, Muhammad Ridlo ’Eisy, mengatakan bisnis media memang tengah mengalami kesulitan akibat ketatnya persaingan. ”Sehingga hitung-hitungannya murni bisnis,” ujarnya. Di Amerika Serikat pun, kata Ridlo, banyak surat kabar yang bangkrut dan di Jerman ada 13 ribu wartawan yang diberhentikan.
Namun, menurut Ridlo, perlu kebijakan khusus supaya tidak terjadi pemecatan massal pada perusahaan media, dengan cara mengurangi pos anggaran yang dinilai terlalu ”gemuk”. Misalnya, kata dia, pada 1998, sejumlah direksi perusahaan media rela mengurangi tunjangannya demi keberlangsungan perusahaan dan menghindari pemecatan. ”Pemecatan adalah pilihan terakhir,” katanya.
Ridlo mengatakan diperlukan juga transparansi dari manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawannya. ”Sehingga dapat diperoleh solusi secara kekeluargaan,” ujarnya. Dia menambahkan, mestinya perusahaan pers dapat menjadi contoh dalam pengelolaan perusahaan yang baik.
Rini Kustiani
Titik Balik Bisnis Media
Setahun pascareformasi 1998, jumlah wartawan dan perusahaan penerbitan pers melonjak pesat. Terdapat 1.389 media massa baru atau hampir empat media lahir setiap hari. Padahal, selama 32 tahun Orde Baru, hanya ada 289 media cetak, enam stasiun televisi, dan 740 radio.
Namun tahun 2008 seolah menjadi titik balik perkembangan bisnis media. Jumlah perusahaan pers turun menjadi 830 media cetak dan 60 stasiun televisi. Berikut ini beberapa media yang ”terguncang” dengan alasan efisiensi atau merugi.
Rini Kustiani (diolah dari berbagai sumber)
30 Desember 2003
PT Nusaperdana Mediagraha—penerbit Majalah Mobil—memberhentikan 17 karyawannya demi efisiensi.
Agustus 2004
Sebanyak 49 karyawan dan wartawan Harian Bernas, Yogyakarta, di bawah bendera perusahaan PT Bernas dipecat dengan alasan efisiensi. Seketika itu pula harian tersebut berubah nama menjadi Bernas Jogja, yang diterbitkan PT Media Bernas Jogja.
Desember 2004-Maret 2005
Sejumlah karyawan dan wartawan majalah Trust perlahan-lahan dikurangi karena efisiensi.
September 2009
Belum genap satu tahun, sejak diluncurkan pada 10 November 2008, Harian Merdeka di bawah naungan PT Pers Indonesia Merdeka berhenti beroperasi. Salah satu alasannya, pendiri perusahaan itu, Sigid Haryo Wibisono, berurusan dengan kasus hukum.
2010
Globe Media Group, yang membawahkan harian Investor Daily, The Jakarta Globe, Globe Asia, dan Suara Pembaruan, merampingkan jumlah wartawan dan karyawan demi efisiensi.
2010
Stasiun televisi Indosiar memberhentikan dan menskors puluhan karyawan karena terus merugi.
27 Januari 2010
Sebanyak 144 wartawan dan karyawan harian Berita Kota diberhentikan karena merek harian itu dibeli anak perusahaan Kelompok Kompas Gramedia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo