Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dokter Ayu, Korban Peradilan Pidana

9 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dr M. Nasser, SPKK, DLaw *

Kasus dokter Ayu, SpOG, dan dua kawannya yang divonis Mahkamah Agung dengan hukuman kurungan 10 bulan berbuntut panjang karena ada gerakan solidaritas para dokter hampir di seluruh antero Tanah Air. Tanpa bermaksud menilai putusan hakim di Mahkamah Agung, ada beberapa elemen hukum yang rasanya tersisa dan perlu menjadi kajian bersama untuk kepentingan penegakan hukum yang lebih baik ke depan.

Saat melakukan operasi, dr Ayu adalah mahasiswi peserta program pendidikan dokter spesialis. Artinya, kegiatan peserta didik yang berisiko tinggi seharusnya tetap didampingi supervisor atau senior. Kalau dr Ayu dianggap melakukan kesalahan, seharusnya penanggung jawab pendidikan ini—setidaknya di bagian tertentu—juga harus dijerat dalam pelanggaran tersebut.

Dalam peraturan-perundangan, pimpinan rumah sakit gagal menyediakan personel ketenagaan yang cukup untuk operasional operasi emergensi, termasuk laparotomy-sectio caesarea. Dalam kasus dr Ayu, rumah sakit lalai menghadirkan dokter spesialis anestesi yang bertanggung jawab atas keselamatan pasien selama operasi. Tenaga yang ada dengan kualifikasi penata anestesi tidak cukup sehingga direktur rumah sakit seharusnya juga dijerat dengan persangkaan yang sama, karena kelalaian menyebabkan kematian orang lain.

Dalam seluruh sekuen dari perjalanan pasien sejak dirujuk Puskesmas Bahu ke RS Profesor Dr Kandou Malalayang, Manado, peran dr Ayu sebagai dokter kebidanan yang bertindak sebagai operator dalam kematian pasien ini juga tidak signifikan. Dari fakta persidangan dan keterangan yang dikumpulkan, dokter Ayu sama sekali tidak bersalah sebagai penyebab kematian. Apalagi ada pernyataan dokter forensik yang melakukan bedah mayat bahwa sebab kematian oleh emboli udara.

Kasus ini disidik polisi secara tidak lengkap, tidak sempurna, dan mungkin tidak benar, yang dilengkapi dengan tuntutan jaksa yang juga setengah hati. Sebab, penegak hukum menggunakan pendekatan pidana umum. Padahal untuk kasus ini seharusnya menggunakan pendekatan pidana kesehatan yang tetap relevan dengan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Padahal pidana kesehatan tidak dapat disederhanakan atau dianggap sebagai pidana umum karena memiliki kaidah-kaidah yang unik dan spesifik dalam pembuktiannya.

Perkara ini semakin jauh dari asas manfaat hukum dan keadilan ketika hakim agung memeriksa perkara tanpa memori banding sehingga hakim tidak dapat melihat adanya kelemahan dalam proses penyidikan dan penuntutan. Tidak sempat dipertimbangkan oleh penyidik dan penuntut umum bahwa, ketika menghadapi kasus darurat, dokter kebidanan selalu berpikir menyelamatkan ibu dan anak. Apalagi bila dokter Ayu tak memiliki pilihan lain untuk menyelamatkan pasiennya.

MKDKI

Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran sangat jelas menyatakan bahwa anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktek dokter atau dokter gigi dapat melaporkannya kepada Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). MKDKI adalah sebuah organ negara di bawah Konsil Kedokteran Indonesia yang berwenang menegakkan disiplin kedokteran.

Dalam beberapa tahun terakhir, MKDKI semakin galak memberikan sanksi kepada dokter yang lalai dalam bentuk pencabutan surat tanda registrasi, yang berakibat pada pencabutan surat izin praktek. MKDKI menjadi momok para dokter yang diadukan karena tanpa pilih bulu dan belas kasihan telah mencabut kewenangan praktek ratusan dokter—dalam kurun dua bulan sampai dua tahun. Kasus dokter Ayu lebih layak diadukan ke MKDKI karena dapat menjangkau elemen-elemen lain yang sebenarnya bersalah dalam kasus ini.

Dari pengalaman putusan MKDKI yang lalu, perkara yang hampir mirip seperti ini telah membebaskan mahasiswa dan menghukum supervisor. Untuk masa mendatang, penulis menyarankan agar pengaduan seperti ini lebih adil bila diajukan ke majelis disiplin (MKDKI) ketimbang masuk area hukum yang masih menyimpan banyak masalah.

Demo dan Mogok Dokter

Banyak kelompok dokter di berbagai daerah kemudian berdemonstrasi atau mogok. Positif jika dilihat dari sudut pandang solidaritas kelompok profesi, hal ini menjadi sangat negatif bila diukur dari pemaknaan terhadap sumpah dokter, paling tidak pelanggaran terhadap artikel tiga sumpah dokter Indonesia: "kami dokter Indonesia akan memberikan pelayanan pada pasien dengan standar tertinggi."

Logika sehat mengharapkan jangan ada lagi demo massal yang merugikan pelayanan umum di masa mendatang. Tentu saja, di negara demokrasi yang sedang mencari bentuk, demo diperbolehkan, tapi cukup perwakilan. Penggunaan pernyataan "jangan kriminalisasi dokter " juga bertentangan dengan prinsip-prinsip yang kita anut bersama: equality before the law.

Dokter atau organisasi Ikatan Dokter Indonesia tidak perlu mogok, apalagi secara emosional mengancam kesinambungan pelayanan kesehatan. Yang perlu dilakukan sekarang adalah mengumpulkan bukti baru (novum) yang akurat untuk pengajuan permohonan peninjauan kembali sambil memohon penangguhan penahanan.

Malpraktek

Perlu diketahui, terminologi malpraktek medis tidak ditemukan dalam KUHP ataupun hukum positif lain di Indonesia. Istilah malpraktek yang ditujukan untuk dokter lebih banyak digunakan media buat menggambarkan adanya kesalahan penanganan medis dari pasien. Istilah ini serta-merta dapat menurunkan bahkan menghancurkan reputasi dokter, walaupun belum tentu kebenarannya teruji menurut disiplin ilmu kedokteran dan penegakan hukum.

Dalam kasus dokter Ayu, saya melihat ada mata rantai logika hukum yang terputus sejak penyidikan polisi, bahkan dalam surat dakwaan jaksa. Banyak laporan dari lapangan mengindikasikan begitu banyak kelalaian dan pembiaran medis yang terjadi di sekitar kita belum terungkap secara fair bagi kepentingan masyarakat umum. Ini bisa terjadi, selain karena keterbatasan hadirnya MKDKI di daerah (sehingga tidak dikenal masyarakat), lantaran minimnya pengetahuan penegak hukum kita pada bidang hukum kesehatan. Pelajaran hukum kesehatan hampir tidak pernah diberikan di Akademi Kepolisian, PTIK, kursus kejuruan reserse Kepolisian RI, ataupun di pendidikan pendahuluan calon jaksa atau pendidikan kejuruan jaksa.

Pelajaran dari kasus ini menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana kita memang perlu dibenahi mumpung proses pembaruan hukum pidana sedang bergulir melalui legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, patut didukung keterlibatan aktif perguruan tinggi (fakultas hukum dan program pascasarjana) dalam mendorong pengembangan ilmu hukum kesehatan di negeri ini. l

*) Vice President World Association for Medical Law

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus