Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Bung di Ende
Sutradara: Viva Westi
Penulis naskah: Tubagus Deddy Safiudin
Pemain: Baim Wong, Paramitha Rusady, Tio Pakusadewo, Niniek L. Karim
Produksi: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan PT Cahaya Kristal Media Utama
Beban Baim Wong sungguh berat. Ia harus menjadi Sukarno saat menjalani pembuangan di Ende, Flores, pada 14 Januari 1934-18 Oktober 1938. Film yang disutradarai Viva Westi ini mengisahkan bagaimana Sukarno yang gundah selama di Ende. Delapan hari berlayar dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, dengan kapal Van Riebek, Sukarno tiba ditemani Inggit Garnasih, istrinya; ibu mertua; anak angkat mereka, Ratna Djuami; serta dua pembantu.
Peran Inggit diserahkan kepada Paramitha Rusady. Niniek L. Karim, yang masih tampak kagok berbahasa Sunda, kebagian peran sebagai Ibu Amsi, mertua Sukarno. Diputar di sejumlah kampus di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar sejak akhir November 2013, film ini menjadi film perdana tentang Sukarno, menyalip film Soekarno garapan sutradara Hanung Bramantyo, yang rencananya ditayangkan pada Desember ini. Pemilihan tema saat pembuangan ke Ende sendiri merupakan hasil kesepakatan antara sutradara Viva Westi, Egy Massadiah sebagai produser, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penyokong dana, yang jumlahnya lebih dari Rp 8 miliar.
Dalam film itu digambarkan bagaimana tersiksanya batin Sukarno selama terasing di Ende. Ia tak punya teman diskusi politik yang sepadan. Pertemanannya dengan Pater Huijtink asal Belanda di Katedral Ende memudahkannya membaca buku di perpustakaan gereja. Sejarah mencatat, Sukarno sesungguhnya juga menggunakan waktu luangnya untuk mendalami Islam. Pengajian diadakan dua kali seminggu di rumahnya. Ia pun berkorespondensi dengan Ahmad Hassan, ulama Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Dalam film berdurasi sekitar dua jam itu, bagian ini hanya muncul di permukaan.
Beralur maju, film itu berjalan lambat, datar, tanpa klimaks. Banyak adegan yang hanya berulang dengan latar tempat yang sama. Dalam diskusi setelah pemutaran film di Gedung Kesenian Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, 2 November lalu, Viva berdalih mengapa film ini berjalan datar. "Sebab, Sukarno selama di Ende hidupnya flat, istilah sekarang galau, galau, galau," katanya.
Sukarno dikisahkan lebih memilih bertahan di Ende meski sempat diajak kabur oleh awak kapal. Sukarno suka menikÂmati Teluk Numba. Ia sering naik gunung melihat Danau Kelimutu. Ia juga suka berendam bersama teman dan keluarga di Sungai Nangaba. Di rumah, tangannya juga sempat asyik melukis, selain menulis surat. "Sukarno juga memelihara monyet dan di rumahnya ada 35 kucing," kata Viva.
Sejak awal film ini sebetulnya disiapkan dengan serius. Kementerian menunjuk tim sejarawan dari Universitas Indonesia, seperti Peter Kasenda, dan Roso Daras, penulis buku tentang Sukarno, untuk mengiringi penggarapan film ini. Riset dilakukan selama enam bulan, ditambah wawancara saksi hidup Sukarno di Ende oleh penulis naskah, Tubagus Deddy Safiudin. Alhasil, seperti tertuang dalam buku, proses pembuatan film itu cukup banyak hal menarik dari Sukarno yang diungkapkan.
Viva mengatakan kisah Sukarno yang cukup beragam itu tak bisa semuanya masuk film. Ia hanya menampilkan sosok sang Proklamator dari pemikiran dan ucapannya yang masih relevan dengan zaman sekarang, seperti isu keberagaman dan kesetaraan. "Kami kesulitan memvisualkan pemikiran Bung Karno," ujar Tubagus ÂDeddy.
Sebenarnya Deddy sempat memasukkan cerita Sukarno yang mementaskan drama karyanya sendiri, Dokter Sjaitan (setan). Lakon yang terinspirasi dari kisah novel Frankenstein itu merupakan satu dari delapan naskah tonil karya Sukarno. "Setting teaternya di laboratorium, Sukarno melambangkan kebangkitan bangsa ini setelah mati," ujar Deddy. Sayangnya, meskipun sempat diambil gambarnya, bagian itu dibuang sesuai dengan keputusan rapat tim.
Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo