Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Droogstoppel

Droogstoppel, makelar kopi amsterdam. wataknya sesuai dengan citra borjuis kapitalis. orang as kini berubah, dengan pendapatan yang naik 0,8% tapi tingkat belanja diatas 20%. mereka sudah berani berutang.

21 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUAN Droogstoppel, makelar kopi Amsterdam itu, bisa omong tentang kebenaran. Tapi apa kebenaran itu baginya? Multatuli, yang menciptakan tokoh ini dalam Max Havelaar, akan menjawabnya dengan cemooh. Nama "Droogstoppel" itu sendiri sebuah cemooh: Si Kersang Hati. Ia pedagang yang wataknya sesuai dengan citra umum tentang para borjuis: orang yang mencintai kesejahteraannya, dan sebab itu di setiap detik ingin menjaganya. Maka, ia tak suka hal yang tak lazim. Ia benci imajinasi yang menghasilkan cerita yang bukan-bukan. Ia mengejek puisi dan roman dan menganggap teater sebagai kebohongan. Kebenaran, baginya, adalah segala hal yang berada dalam garis lurus. Garis itu menuju ke satu titik: suksesnya sebagai makelar kopi. Ia tak acuh bila Si Lucas, kuli gudang yang jujur, tetap miskin, sebab "seharusnya demikian," kata Droogstoppel. Dan bila tuan makelar kopi jadi kaya? "Itu ... karena saya hati-hati dalam perdagangan ...." Droogstoppel memang jenis makhluk yang sekaligus dibenci para aristokrat dan para seniman (termasuk Multatuli). Para aristokrat mencercanya karena makhluk ini telah muncul sebagai kekuatan baru yang norak dan pelit tapi ternyata menang di dunia modern yang serba dagang. Para seniman mencercanya, karena bagi mereka, borjuasi adalah segala hal yang mereka kutuki: orang yang cuma cari duit, tak punya smaak dan tak punya imajinasi, si puritan yang kering hati. Kecaman yang paling meluas tentang itu semua terakhir terjadi di tahun 1960-an, dimulai dari Amerika. Orang memproklamasikan suatu counter culture: memberontak kepada orang tua yang sibuk bisnis, menentang masyarakat yang penuh organisasi dan kekuasaan, anak-anak muda pun bergelandang mencari yang ganjil dan sekaligus "spirituil". Merekalah para hippies yang bergumam bahwa "kerja" adalah kata yang kotor. Rambut tak dicukur, pakaian aneh dalam warna psikedelik, dan rokok adalah marijuana. Dan tentu saja seks. Seks adalah kenikmatan yang tak usah dicemaskan, dan harus dibebaskan. Demikianlah sikap puritan seorang Droogstoppel -- yang takut kepada segala hal yang bisa dianggap cabul dan berlebihan digantikan dengan sikap yang lebih penuh imajinasi dan lebih leluasa. Juga digantikan dengan sejenis hedonisme. Kenikmatan haram ditunda. "Moralitas kebaikan" telah digantikan dengan "moralitas kesenangan", kata seorang ahli sosiologi. Semula, sikap puritan berkata bahwa orang baik ialah yang menahan diri dari kenikmatan tubuh. Kini sikap baru menertawakan mereka yang tak hendak mencucup langsung madu mewah di pohon hidup. Pernah dikatakan, sikap puritan itulah satu bagian dari "etika Protestan" Max Weber -- yang menyebabkan ekonomi kapitalis mau: dari menghemat dan menabung dari keringat dan ketelitian, hasilnya adalah kekayaan yang melimpah. Tapi sejarah selalu menyimpan ironi: justru dengan itulah hedonisme yang meluas dapat terjadi. Puritanisme konon satu cerminan hidup yang terancam oleh kelangkaan. Hedonisme sebaliknya. Mungkin benar. Dalam keterbatasan ekonominya, orang Jawa (yang tak dikenal kena pengaruh "etika Protestan"), punya petuah untuk gemi, nastiti, lan ngati-ati -- hemat, teliti, dan berhati-hati. Orang Sumatera punya pepatah "hemat pangkal kaya" dan mengecam sikap "besar pasak daripada tiang". Persis seperti di abad ke-18 Benjamin Franklin berpetuah tentang betapa perlunya orang tak boros dengan waktu dan uang -- sebelum kapitalisme Amerika hadir dalam wujudnya yang sekarang. Sekarang, kata orang, dan agaknya benar, masyarakat Amerika telah kehilangan dorongan puritanisme lamanya. Hippies memang tak lagi nampak bergelimpangan di Ashbury Street di San Franasco, dengan harum ganja di mulut dan mata kuyu di wajah. Kini orang berbicara tentang "yuppies", anak-anak muda yang cari uang dengan hasil jutaan dolar. Tapi mereka bukan Droogstoppel. Mereka gila duit seperti si borjuis lama, tapi mereka juga satu ekspresi "moralitas kesenangan" baru, hedonisme baru. Mereka mengibarkan hidup yang nyaman & berlebih -- seperti dalam film dan iklan. Lidah mereka melingkar di sampanye dan kaviar. Tubuh mereka, seperti The Great Gatsby, dihias pakaian dengan label tenar. Jika mereka mendisplinkan badan, itu bukan untuk menahan nafsu, melainkan justru untuk membuatnya lebih nyaman dinikmati. Mereka makhluk yang mahal. Tapi bukan dengan meraka saja kapitalisme Amerika berubah. Hedonisme, dalam wajahnya yang lain, tampak dalam ketidakmampuan luas untuk menabung -- menahan nafsu. Di Amerika kini orang bicara soal defisit, dan langsung melihat: agaknya orang Amerika telah terjerat ilusi -- atau ketakaburan -- tentang kekayaannya sendiri. Satu studi menunjukkan: di tahun ini, tingkat belanja konsumen naik di atas 2%, ketika pendapatan cuma naik 0,8%. Amerika telah jadi masyarakat yang berani berutang. Si tua Doorgstoppel telah lama mati. Ia tak menarik, tapi mungkinkah ia tak akan ditangisi? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus