SEPI. Tak ada suara. Seperti tak ada gerak kehidupan. Panggung lengang. Cuma ada tiga topeng kayu, putih, tingginya satu meter -- agak di tengah pentas. Yang satu tampak gembira, satu lagi muram, yang lain agak serius. Beberapa kayu berajar di sebelah kiri. Pagar? Lampu redup, ketika penonton diam, ketika mungkin mereka sedang tepekur. Kemudian, ada suara datang. Datang. Dan dengarlah: Tik-tak, tik-tak. Tik-tak tik-tak. Seolah, lonceng jam purba menabuh. Tik-tak. Dari balik layar hitam muncul tiga sosok bertopeng. Mereka bergerak. Lalu tangan-tangan menyelusup ke lubang-lubang topeng kayu. Ke mulutnya, ke matanya. Bergerak-gerak. Tik-tak tik-tak. Berirama, tapi bukan haiku. Tapi itulah pembuka acara Mimusica, yang tiga malam berturut-turut dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Hotel Hilton, dan Erasmus Huis, 10-12 November lalu. Pembukaan itu pendek saja, memang tanpa musik. "Gerakan-gerakan mime pada prolog itu saya dapat dari dokumen kuno zaman Caesar. Dan karena saya tak tahu bagaimana musik pada zaman itu, maka ia dimainkan tanpa musik," ujar Nona Vera Bertinetti, direktur grup Panartis yang mempertunjukkan acara itu atas prakarsa Kedubes Italia, di Jakarta. Belakangan alunan musik muncul jua, dalam bentuk kuartet orkes gesek -- sejak akhir prolog sampai akhir acara. Ini memang acara musik. Mimusica, namanya -- gabungan antara musik, mime (semacam pantomim), dan kadang-kadang fabel. Mime sendiri bukannya pantomim. Ia mirip balet, tanpa aturan-aturan formal. Ia bebas. Bergerak-gerak lepas, bagai burung dara di pagi hari. Kuartet musik gesek sendiri bukan barang baru di Italia. Semua instrumen yang digunakan -- biola, biola alto, dan cello -- telah dikembangkan di negerinya Antonio Vivaldi itu sejak abad 16-an. Sesungguhnya, dari Italia-lah sejarah kelompok biola itu muncul. Sebuah kota kecil di utara Italia, Cremona, misalnya, sempat menjadi pusat perajin gerombolan viola yang sangat dikenal. Dari sana lahir perajin kaliber dunia, Antonio Stradivari, yang semua orang juga sudah tahu siapa beliau. Hingga hari ini belum ada biola yang bisa menandingi buatan kerabat dan anak cucu Stradivari itu. Akan halnya mime, orang Prancis malah lebih suka melakonkannya ketimbang orang Italia. "Di Italia sendiri, orang banyak memainkan mime dengan iringan tape recorder," sambung Bertinetti. Itu sebabnya, Bertinetti, profesor apresiasi estetika musik di Konservatori Musik Nasional, Perugie, Italia, mencoba menggabungkan mime dan musik hidup -- bukan lagi mengandalkan tape atau piringan hitam. Maka, terbentuklah kelompok Panartis yang telah manggung lebih dari 300 kali di berbagai belahan bumi ini. Mime dan musik akhirnya jadi paduan seni yang indah. Untuk menafsirkan musik, agaknya bahasa lidah tak perlu lagi. "Kita cukup mengerti makna sebuah karya musik lewat gerakan estetik pada mime," ujar Bertinetti. Tak cukup begitu: para seniman menambah nilai moral pada tiap lakon mime-nya. Maka, ketika musik mengalunkan Quartetto No.6-nya Gaetano Donizetti dari abad ke-18, ketiga orang bertopeng fantasi di panggung memainkan mime dari bagian akhir lakon Commedia dell'Arte yang sarat dengan sindiran moral dan sosial. Digubah dari naskah abad ke-15-16, lakon itu antara lain menggambarkan tiga peran manusia: si baik, si jahat, dan si munafik. Alunan dua biola -- sebuah biola-alto dan lainnya cello, dimainkan oleh 4 pemusik berpakaian formal dan rapi di bawah panggung, tak hanya menyayat hati, melainkan juga membangunkan bulu tengkuk. Goyangan ketiga lakon bertopeng tampak harmonis dengan irama musik yang kadang riang dan rancak. Mereka lalu meliuk-liukkan tubuh, bergoyang. Dan muncullah gerakan-gerakan vibrasi, atau lainnya dalam paduan gerak yang kompak. Lakon Commedia del l'Arte sengaja ditulis untuk menghibur rakyat pada zamannya -- ketika seni teater lain hanya bisa ditonton raja, ratu, dan keluarga kraton. Meski ia boleh disebuk cuma kesenian rakyat, toh tontonan ini mengasyikkan. Karena itu, tepuk tangan terlontar berkali-kali di ruangan TIM, Libra Ballroom Hotel Hilton, maupun di gedung kesenian Belanda, Erasmus Huis. Beberapa nomor Mimusica sangat menarik. Misalnya nomor terakhir yang berjudul Lelaki, Bayangannya dan Sang Mimpi. Diiringi Quartetto Per Archi-nya Giorgio Ferrari, lakon ini tampil sebagai klimaks. Mula-mula muncul si Lelaki, berpakaian putih-putih. Lalu Bayangan, dengan kostum hitam-hitam, mengikuti gerakan sang lelaki. Sementara itu, si Mimpi muncul dalam penampilan seorang gadis berpakaian ketat, bergambarkan pelangi. Matanya biru, dan tubuhnya du-du-du ... Ia mimpi. Kita, juga bermimpi. "Ketiga-tiganya (Lelaki, Bayangan, Mimpi) merupakan lambang jiwa, tindakan dan perkataan," kata Massimiliano Foa, 23 tahun, yang memerankan Bayangan. "Tapi bisa juga diartikan sebagai kebaikan, kejahatan dan spirit, semangat," ujar pria yang belajar pantomim di sekolah Etienne Decroix, Prancis, itu. Tanpa spirit, tanpa jiwa, tidakkah kita hanya serupa robot? Ya, robot. Dan robot-robot itulah yang mereka pertontonkan dalam lakon sebelumnya: wajah yang berkedok kaku, ketika ketiganya berpakaian abu-abu. Dalam keseragaman, dalam tingkah, dalam segala hal, semuanya kaku. Direntang musik berirama pendek-pendek, mereka bergerak seperti robot. "Robot itu muncul karena tak adanya jiwa, tak adanya kepribadian. Sehingga semua jadi seragam, tak ada yang mempunyai ciri sendiri. Cuma meniru-niru," ujar Massimiliano, menggebu. Akhirnya mereka sadar. Dilepaskanlah pakaian tiruan itu. Dikoyak-koyakkannya. Mereka menemukan kepribadian masing-masing. Topeng lalu dibuka. Seperti jiwa sukacita membuka topeng duka yang membelenggu. Sayang, pergelaran yang enak ini tak dimainkan di panggung berkapasitas besar agar penonton lebih banyak menikmati. Dan kenapa main hanya di Betawi saja, Tuan Italia? Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini