Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dulu, ceramah itu artinya banyak... dulu, ceramah itu artinya banyak...

Sejumlah kamus tua dipamerkan di gedung p3b, jakarta, bertepatan dengan bulan bahasa. sejarah perkamusan dimulai dari karya-karya orang asing. p3b akan menerbitkan kamus besar bahasa indonesia.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Dulu, ceramah itu artinya banyak...  dulu, ceramah itu artinya banyak...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PARA remaja itu berbondong. Penuh antusiasme. Ck-ck-ck, terdengar di sana-sini. "Aje gile, buku ini tua amat," begitu celetukan mereka. Itu terjadi minggu lalu di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), Departemen P & K, Jakarta. Inilah pertama kalinya segerobak kamus dipamerkan. Dipilih bulan Oktober, bulan kelahiran bahasa Indonesia itu, untuk melancarkan kampanye penggunaan bahasa "yang baik dan benar". Dan pameran yang mengetengahkan koleksi kamus yang mencengangkan, milik Pusat Bahasa ini, terasa semarak. "Tujuannya supaya dilihat dan dipelajari. Dan tentu saja dibeli," ujar Jumariam, 42 tahun, Kepala Satuan Kerja Perpustakaan P3B. Sekitar 400 kamus dipajang. Tapi memang tak mudah merangkul peminat. "Mereka kebanyakan hanya ingin tahu," tambah pustakawan itu. Di lain pihak, dalam pameran itu tampak bahwa menjadikan kamus sebagai sesuatu yang penting dan dibutuhkan orang memang tak gampang. Lihatlah misalnya peranan kamus seperti diungkapkan Prof. Dr. J.S. Badudu. Dalam kehidupan sehari-hari, ada pengertian yang sulit dibetulkan. Misalnya, kata kursi. Ada yang bertahan mengucapkannya kursi, korsi, atau krosi. "Yang benar kursi," kata Badudu. Meski begitu, salah kaprah itu berlanjut tanpa ada usaha mencari mana kata yang lebih tepat dan benar. "Karena itu, cobalah cari dalam kamus," ajaknya kepada sekitar seratus guru nonbahasa se-DKI Jakarta dalam salah satu pertemuan kebahasaan, minggu lalu. Tapi mengapa padanan kata kursi begitu banyak, padahal bahasa Inggris cuma menyebut satu kata, chair? "Karena itu, memang perlu kata yang baku," tambahnya. Sayang, penjelasan Badudu dan para pakar bahasa yang lain -- yang selalu diulang-ulang -- tak mempan. Macet. Dan kesalahan-kesalahan kecil seperti itu tetap saja terjadi. Apalagi logat bahasa daerah, bahasa ibu, ikut pula nimbrung. Tapi juga sayang bahwa Badudu tampaknya kurang menyadari bahasa percakapan sehari-hari yang selalu berkembang, dan tidak selalu harus mapan. Pusat Bahasa kali ini memang menetapkan kamus sebagai sasaran. Artinya, masyarakat dicoba diajak menyadari pentingnya peran kumpulan kata-kata yang benar itu, sebagai pedoman rujukan. Sekaligus juga menyadarkan sumbangan karya ahli bahasa bangsa sendiri. Dan itu sungguh tepat. Tengok misalnya upaya P3B memamerkan Dictionary of the Malayan Language, karya William Marsden F.R.S., terbitan London pada 1812. Buku yang berusia seabad lebih itu sudah robek di sana-sini, tapi masih tampak kuat. Sampulnya kusam kecokelatan. Tebalnya hampir tujuh senti. Nah, apa arti kamus seperti itu, yang merupakan salah satu pionir pembentukan bahasa Indonesia ini? Sejarah perkamusan di Indonesia memang dimulai oleh orang asing. Misalnya Kitab Logat Melajoe susunan C.H. Van Ophuijsen, terbitan Batavia, 1901. Ophuijsen dianggap "sesepuh" ejaan bahasa Indonesia dan salah seorang pemula pengembangan bahasa Melayu, cikal-bakal bahasa Indonesia. Bisa dipahami bila "empu kamus" seperti Prof. Drs. S. Wojowasito maupun W.J.S. Poerwadarminta, dan generasi yang lebih muda selalu merujuk ke buku itu. Dan, memang, di sinilah tampak peran pentingnya sebuah kamus. Sementara itu, usaha penyusunan kamus, terlebih dewasa ini, kurang mendapat perhatian orang. Toh masih ada generasi yang lebih muda dan cukup bersemangat. Lihatlah misalnya J. Adisubrata, 57 tahun, salah seorang penyusun Kamus Latin-lndonesia terbitan Penerbit Kanisius Yogyakarta, 1969. Kamus ini termasuk langka. "Karena bahasa Latin itu bahasa yang sudah mati," kata Adi. "Wajar bila ada anggapan menyusun kamus itu membosankan," kata Mardiwarsito, 73 tahun, penyusun Kamus Jawa Kuno Indonesia. Pekerjaan yan menuntut kesabaran dan kecermatan ini harus berlangsung. "Saya sendiri ndak merasa bosan, sebab saya mencintai pekerjaan itu," ujar Mardiwarsito, yang mengkhususkan diri mendalami sastra Jawi kuno ini (lihat Boks). Bahasa Indonesia memang tak lepas dari pengaruh Jawi. Banyak kata yang kini marak dipakai, berasal dari kata Jawi, kendati cukup banyak orang yang tak paham arti dan asal katanya. Misalnya manggala wana bhakti, mangkin, graha purna yudha, maha putra, satya lancana karya satya, Berita Buana, Berita Yudha. Semua itu kata Jawi. Dan semua itu bisa ditengok artinya dalam kamus susunan Mardiwarsito, meski lingkup kegunaannya terbatas. Hanya segelintir ilmuwan, sekelompok siswa, dan mahasiswa. Meski begitu, toh kini cukup sering orang cenderung menggunakan istilah-istilah yang rasanya aneh terdengar di telinga itu. Upaya P3B mengaktualkan penggunaan kamus boleh mendapat acungan jempol. Seperti dalam pameran sebulan penuh pada Oktober ini, dengan mengetengahkan beberapa kamus bahasa daerah. Dari Sumatera, 18 kamus, antara lain Kamts Aceh-lndonesia, Kamus Gayo-Indonesia Kamus Karo-Indonesia. Kamus istilah komputer, dan buku-buku tata bahasa, juga ditampilkan. Buku-buku itu rupanya sengaja dikumpulkan, untuk persiapan penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus yang direncanakan terbit Oktober tahun depan itu diharapkan cukup mampu "mengikuti perkembangan bahasa," dengan memuat beberapa kata baru mungkin pengaruh dialek daerah yang menjadi ucapan harian -- hingga bahkan menambah kosakata. Untuk maksud itu, tentu ada aturan mainnya. Menurut Harimurti Kridalaksana 46 tahun, paling tidak harus ada rujukan di antara para pendekar kamus. "Untuk memuat sebuah kata baru, misalnya, sedikitnya harus ada tiga saksi yang, berdasarkan penelitian, membenarkan bahwa kata itu dipakai di tiga daerah yang lokasinya berjauhan dan berbeda satu sama lain," kata konsultan penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesa itu. Misalnya kata canggih. Dulu dalam Kamus Poerwadarminta kata ini diartikan cerewet, tapi kini maknanya lain. Kata ceramah, makna sebenarnya cerewet atau banyak omong. "Tapi kini diartikan pembicaraan di depan sebuah sidang!" kata Harimurti. Nah, pendekatan yang tak melupakan perkembangan yang hidup di masyarakat Itulah, yang selalu dilakukan para penyusun kamus. SEORANG penyusun kamus memang, harus peka terhadap watak bahasa. Dan tentu saja itu belum cukup sebab harus pula dibekali pendidikan formai untuk mendalami masalah teknik leksikografi dan sistem manajerial. "Selain itu ia juga harus pandai-pandai bekerja sama dengan orang lain, dan bisa mengatur diri," kata Harimurti. Maksudnya, antara lain, mengatasi rasa bosan tadi. Kriteria seperti ini disetujui oleh Anton Moedardo Moeliono, 58 tahun, Kepala P3B Departemen P & K, yang juga penanggung jawab penerbitan Kamus Besar, yang bakal diterbitkan bertepatan dengan peringatan 60 tahun Sumpah Pemuda dan menyambut Kongres Bahasa Indonesia ke-5 tahun depan. Dengan cukup arif Anton menyadari bahwa penyusunan kamus merupakan pekerjaan yang berat. "Kesulitan yang terbesar ialah mengatasi rasa bosan," katanya. Dan itu memang kendala utama, yang bisa mengganyang ketelitian. Sesungguhnya, kamus tak pernah mandek. Tak ada istilah "kamus mutakhir". Sebab, bahasa itu hidup dan berkembang. Apalagi di negeri berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan bahasanya bisa ngebut. Satu hari bisa lahir 10 sampai 20 kata baru. "Karena itu, apa yang disebut 'ketinggalan' ya memang tak bisa dihindarkan," kata Anton M. Moeliono. Bahkan akronim, pemotongan beberapa kata menjadi satu kata -- hankam dari pertahanan keamanan, misalnya -- menurut Anton dapat dimasukkan ke dalam kamus, sepanjang rujukan para penyusun kamus bisa ditemukan. Dan di situlah justru letak "seni" penyusunan kamus yang "membosankan" itu. Sri Indrayati dan Tri Budianto Soekarno (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus