SEKARANG ini penelitian negara tradisional menjadi lapangan yang
populer, karena anggapan berbagai sarjana bahwa ia penting untuk
mengerti masa kini.
Dalam sejarah Indonesia, ada dua bentuk negara tradisional:
Kerajaan agraris di pedalaman, yang berdiri atas perekonomian
persawahan,dan kerajaan pesisiran atau maritim di pinggir
pantai, hidup dari perdagangan, bea cukai, pemilikan perkebunan
dan ekspor. Contoh kerajaan tradisional agraris sering terdapat
di Jawa, khususnya di dataran rendah yang subur.
Kerajaan jenis ini banyak disoroti para sarjana dan sering
dijadikan model bagi kerajaan Indonesia. Tetapi sebenarnya
kerajaan agraris yang mendekati kemurnian, pun di Jawa, baru
muncul dengan kerajaan Mataram setelah kira-kira akhir abad
ke-17. Yaitu setelah persekutuannya dengan VOC yang mengurus
perdagangan dan urusan pesisir kerajaan yang berpusat di sekitar
Yogyakarta/Surakarta ini, dan menimbulkan isolasi Mataram dari
dunia luar.
Sebenarnya dalam abad-abad ke-17-18, sebelum VOC mendominasi
kepulauan ini, contoh kerajaan Indonesia yang lebih umum adalah
kesultanan pesisiran. Seperti Aceh, Banten, Demak, Gresik,
Surabaya, Makkasara. Menurut penelitian terakhir, kepulauan
Indonesia mungkin merupakan salah suatu daerah paling urban
dalam abad ke-16/17, dan kota-kota berbagai kerajaan tersebut
adalah kota-kota pelabuhan.
Di permukaan, kedudukan raja baik di negara agraris maupun di
pesisiran mutlak sifatnya. Bila di Jawa ada konsepsi bahwa raja
itu sakti, dengan kedudukan yang mendekati konsepsi Deva-Raja
dari zaman Hindu, di pesisiran raja itu memiliki daulat.
Menentang raja sama dengan mengkhianatinya, dan durhaka. Bila
raja sendiri tidak sempat menghukum pengkhianat, maka Tuhan akan
melakukannya.
Di Mataram juga ditekankan, kesempurnaan seseorang hanya bisa
dicapai bila ia menyatukan diri dengan kehendak Tuhan yang di
dunia ini berarti kehendak raja. Mataram abad ke-17 menjelaskan
konsep-konsep tersebut dalam bahasa agama yang waktu itu
berlaku, sehingga kekuasaan raja diberi nada sakral.
Dan makin ditekankan kedudukan sakralnya, makin sempurna
kedengaran konsepsi Deva-Raja-nya, makin lemah pula sebenarnya
kekuasaan negara tersebut. Justru ideologi lalu dipakai untuk
menutupi kelemahan, sebab ideologi itu menekankan bahwa otoritas
tidak tergantung dari organisasi tetapi dari wibawa (kharisma)
pribadi. Tanpa organisasi, kekuasa an raja sampai berbagai
pejabatnya hanya berupa pengaruh bukan kontrol dan penguasaan
alat-alat.
Priayi
Raja lalu menjadi seorang diri. Kekuasaannya tergantung pada
alat-alatnya, dan alat-alat raja adalah golongan elite yang di
Kerajaan Mataram disebut priyayi. Kata ini berasal dari "para
yayi" (para adik) raja, dalam arti abstrak. Mereka biasanya
berasal dari para pemimpin perang dan kawan-kawan seperjuangan
paling dekat dengan raja pertama suatu dinasti. Sang raja
pertama itu membagi kedudukan, dan sering ini diteruskan pada
keturunan yang berikut.
Satu hal yang sangat menyolok,mengenai kedudukan elite priayi
ini bila dibandingkan dengan Iite di pesisiran, adalah
ketergantungan pada raja. Di pedalaman seseorang hanya termasuk
golongan priayi bila ia memiliki jabatan pengabdian kepada raja.
Biarpun satu keluarga secara turun-temurun menduduki jabatan,
ketika jabatan hilang secara teoritis mereka kembali menjadi
wong Cilik. Secara teoritis pula hak sepenuhnya berada di tangan
raja untuk memberi seseorang jabatan atau tidak. Dengan singkat,
hanya raja pusat segala macam promosi dan mobilitas di kalangan
priayi dan masyarakat.
Biasanya, dalam masa Mataram, priayi bertugas membantu dalam
pemungutan pajak, mengorganisasi rakyat untuk kerja bakti,
ketentaraan dan lain-lain. Untuk semua ini priayi mendapat
persen tertentu dari pungutan. Bila di antara mereka ada yang
menjadi kaya sekali maka raja, bila cukup kuat menghadapinya,
sering memaksakan semacam denda atau penyitaan terhadap
kekayaannya yang sering menjadi dasar kekuasaan politik.
Elite di kerajaan pesisiran disebut 'orang kaya'.Berasal dari
'orang jaya' (orang besar)--yang sampai kini masih terungkap
dalam istilah 'pembesar'. Berlainan dengan di kerajaan
pedalaman, orientasi elite pesisiran ini ke ekonomi, bukan pada
pemaksaan beban pada rakyat. Lebih-lebih para orang kaya tidak
cukup mampu melaksanakan pajak-pajak dan kerja bakti kepada
rakyat setempat yang bebas dari padanya.
Dalam hubungan dengan rakyat, orang kaya hanya berhak
mengorganisasi mereka untuk perang. Penghasilan orang kaya
kebanyakan dari perdagangan dan bea cukai, seperti juga sang
raja sendiri. Khususnya ini ketika hasil-hasil perkebunan--di
pesisiran - menjadi monopoli V0C.
Yang penting, penghasilan dari perdagangan dan aktivita ekonomi
semacam itu lebih sukar diawasi daripada penghasilan dari sawah
di pedalaman. Uang tunai, emas atau barang mewah lain selalu
lebih mudah disembunyikan daripada beras.
Dalam kerajaan tradisional, dasar ekonomi penting sekali dalam
menentukan struktur politis. Kekayaan dapat membeli tenaga
manusia untuk kepentingan politik dan militer atau senjata.
Perbedaan kedudukan ekonomi elite priayi, dibanding pada elite
pesisiran, terlihat jelas dalam hubungan politik antara raja dan
elite. Sultan di pesisiran sering hanya merupakan penguasa
tertinggi di kertas, sedang kekuasaan sesungguhnya terletak di
tangan para orang kaya. Merekalah yang menentukan politik negara
- pun bila bertentangan dengan kepentingan sultan.
Ada satu gejala lain lagi yang membedakan kerajaan pesisiran dan
pedalaman: Dalam model pertama, adat diberi tempat yang jauh
lebih penting dari di kerajaan agraris. Adat dengan jelas
dikatakan sebagai pembatasan kekuasaan raja yang selalu harus
menghormatinya. Dengan sendirinya para orang kaya, yang
merupakan para ahli adat, berperanan di sini.
Tapi kerajaan pedalaman dan pesisiran itu sebenarnya hanya
model-model mumi. Dalam sejarah kerajaan di indonesia, baik di
pedalaman maupun pesisiran, soal titik berat kekuasaan pada
monarki atau elite mengenal pasang surut.
Di kerajaan pedalaman umpamanya, berkali-kali keluarga raja,
para sentana-dalam (pangeran) yang terdiri dari ibu-suri,
paman-paman, saudara terdekat raja, mencoba mendikte dan
membonekakan seorang raja lemah--dengan akibat puabupati, patih
dan priayi lain ikut main politik. Atau bagaimana sebenarnya
dengan para bupati pesisiran yang di abad ke-III melepaskan diri
dari Mataram untuk bekerja sama dan induk pada VOC? Dalam kedua
hal ini, di mana lebih kekuasaan raja Mataram yang mutlak dan
kedudukan semi Deva-Rajanya?
Juga umpamanya di Aceh di bawah Iskandar Muda (16071636), kita
melihat kekuasaan raja mutlak di suatu kerajaan pesisiran.
Meskipun kekuasaan mutlak ini hanya dapat dicapai dengan
pemberontakan Iskandar terhadap sultannya, dan sesudahnya dengan
membunuh seluruh elite lama. Pun kemudian satu-satunya putra
Iskandar, sang pangeran mahkota terpaksa dibunuh. Iskandar
mengangkat segolongan orang kaya baru yang dilarang memiliki
tentara pribadi dengan senjata tradisional maupun yang
modern--berapi.
Golongan orang kaya baru itu pun, dicoba untuk dikebiri dengan
menghilangkan fokus oposisi tradisional di keraton yaitu di
sekitar Pangeran Mahkota. Sebab dengan makin lanjutnya usia
Raja, oposisi dan harapan angkatan muda berkisar pada Putra
Mahkota yang muda, dan yang pada suatu hari akan menggantikan
ayahnya. Para orang kaya melihat percahan generasi ini sebagai
alat untuk merebut kembali kekuasaan.
Toh setelah Iskandar wafat, para orang kaya merebut kembali
kekuasaan dan mengawasi tahta. Mereka merebut hak menentukan
siapa yang mengganti setiap sultan. Setelah Iskandar wafat,
orang kaya malah memilih tiga kali sultan raja putri. Sebab
wanita di atas tahta diperkirakan lebih mudah dijadikan boneka.
Memang sampai Belanda datang pada 1870, orang kaya Aceh
menguasai kesultanan.
Kesimpulan baik di negara agraris maupun di pesisiran, ra ja itu
seorang diri. Raja memerlukan alat-alat yang mengkonstitusikan
diri sebagai suatu elite. Ada pergulatan terus-menerus antara
tahta dan elite, antara pemerintah aristokratis dan monarkis,
antara kekuasaan yang terpusat di tangan seorang raja atau
kekuasaan negara yang terpecah di tangan para elite.
Kadang monarki menang, kadang aristokrasi. Di negara agraris,
ada kecenderungan prinsip monarki lebih kuat dari kekuasaan di
tangan keluarga raja atau priayi. Tetapi akhirnya, dalam
perkembangan struktur politik suatu nepra, penting
diteliti-dasar-dasar kekuatan masing-masing unsur yang memainkan
peranan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini