Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dua tradisi politik kita

Priyayi merupakan elite di kerajaan, bertugas dalam pemungutan pajak, ketentaraan, pengorganisasian, dll. orang kaya untuk elite pesisiran, berorientasi ke ekonomi, penting dalam menentukan struktur politis.

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKARANG ini penelitian negara tradisional menjadi lapangan yang populer, karena anggapan berbagai sarjana bahwa ia penting untuk mengerti masa kini. Dalam sejarah Indonesia, ada dua bentuk negara tradisional: Kerajaan agraris di pedalaman, yang berdiri atas perekonomian persawahan,dan kerajaan pesisiran atau maritim di pinggir pantai, hidup dari perdagangan, bea cukai, pemilikan perkebunan dan ekspor. Contoh kerajaan tradisional agraris sering terdapat di Jawa, khususnya di dataran rendah yang subur. Kerajaan jenis ini banyak disoroti para sarjana dan sering dijadikan model bagi kerajaan Indonesia. Tetapi sebenarnya kerajaan agraris yang mendekati kemurnian, pun di Jawa, baru muncul dengan kerajaan Mataram setelah kira-kira akhir abad ke-17. Yaitu setelah persekutuannya dengan VOC yang mengurus perdagangan dan urusan pesisir kerajaan yang berpusat di sekitar Yogyakarta/Surakarta ini, dan menimbulkan isolasi Mataram dari dunia luar. Sebenarnya dalam abad-abad ke-17-18, sebelum VOC mendominasi kepulauan ini, contoh kerajaan Indonesia yang lebih umum adalah kesultanan pesisiran. Seperti Aceh, Banten, Demak, Gresik, Surabaya, Makkasara. Menurut penelitian terakhir, kepulauan Indonesia mungkin merupakan salah suatu daerah paling urban dalam abad ke-16/17, dan kota-kota berbagai kerajaan tersebut adalah kota-kota pelabuhan. Di permukaan, kedudukan raja baik di negara agraris maupun di pesisiran mutlak sifatnya. Bila di Jawa ada konsepsi bahwa raja itu sakti, dengan kedudukan yang mendekati konsepsi Deva-Raja dari zaman Hindu, di pesisiran raja itu memiliki daulat. Menentang raja sama dengan mengkhianatinya, dan durhaka. Bila raja sendiri tidak sempat menghukum pengkhianat, maka Tuhan akan melakukannya. Di Mataram juga ditekankan, kesempurnaan seseorang hanya bisa dicapai bila ia menyatukan diri dengan kehendak Tuhan yang di dunia ini berarti kehendak raja. Mataram abad ke-17 menjelaskan konsep-konsep tersebut dalam bahasa agama yang waktu itu berlaku, sehingga kekuasaan raja diberi nada sakral. Dan makin ditekankan kedudukan sakralnya, makin sempurna kedengaran konsepsi Deva-Raja-nya, makin lemah pula sebenarnya kekuasaan negara tersebut. Justru ideologi lalu dipakai untuk menutupi kelemahan, sebab ideologi itu menekankan bahwa otoritas tidak tergantung dari organisasi tetapi dari wibawa (kharisma) pribadi. Tanpa organisasi, kekuasa an raja sampai berbagai pejabatnya hanya berupa pengaruh bukan kontrol dan penguasaan alat-alat. Priayi Raja lalu menjadi seorang diri. Kekuasaannya tergantung pada alat-alatnya, dan alat-alat raja adalah golongan elite yang di Kerajaan Mataram disebut priyayi. Kata ini berasal dari "para yayi" (para adik) raja, dalam arti abstrak. Mereka biasanya berasal dari para pemimpin perang dan kawan-kawan seperjuangan paling dekat dengan raja pertama suatu dinasti. Sang raja pertama itu membagi kedudukan, dan sering ini diteruskan pada keturunan yang berikut. Satu hal yang sangat menyolok,mengenai kedudukan elite priayi ini bila dibandingkan dengan Iite di pesisiran, adalah ketergantungan pada raja. Di pedalaman seseorang hanya termasuk golongan priayi bila ia memiliki jabatan pengabdian kepada raja. Biarpun satu keluarga secara turun-temurun menduduki jabatan, ketika jabatan hilang secara teoritis mereka kembali menjadi wong Cilik. Secara teoritis pula hak sepenuhnya berada di tangan raja untuk memberi seseorang jabatan atau tidak. Dengan singkat, hanya raja pusat segala macam promosi dan mobilitas di kalangan priayi dan masyarakat. Biasanya, dalam masa Mataram, priayi bertugas membantu dalam pemungutan pajak, mengorganisasi rakyat untuk kerja bakti, ketentaraan dan lain-lain. Untuk semua ini priayi mendapat persen tertentu dari pungutan. Bila di antara mereka ada yang menjadi kaya sekali maka raja, bila cukup kuat menghadapinya, sering memaksakan semacam denda atau penyitaan terhadap kekayaannya yang sering menjadi dasar kekuasaan politik. Elite di kerajaan pesisiran disebut 'orang kaya'.Berasal dari 'orang jaya' (orang besar)--yang sampai kini masih terungkap dalam istilah 'pembesar'. Berlainan dengan di kerajaan pedalaman, orientasi elite pesisiran ini ke ekonomi, bukan pada pemaksaan beban pada rakyat. Lebih-lebih para orang kaya tidak cukup mampu melaksanakan pajak-pajak dan kerja bakti kepada rakyat setempat yang bebas dari padanya. Dalam hubungan dengan rakyat, orang kaya hanya berhak mengorganisasi mereka untuk perang. Penghasilan orang kaya kebanyakan dari perdagangan dan bea cukai, seperti juga sang raja sendiri. Khususnya ini ketika hasil-hasil perkebunan--di pesisiran - menjadi monopoli V0C. Yang penting, penghasilan dari perdagangan dan aktivita ekonomi semacam itu lebih sukar diawasi daripada penghasilan dari sawah di pedalaman. Uang tunai, emas atau barang mewah lain selalu lebih mudah disembunyikan daripada beras. Dalam kerajaan tradisional, dasar ekonomi penting sekali dalam menentukan struktur politis. Kekayaan dapat membeli tenaga manusia untuk kepentingan politik dan militer atau senjata. Perbedaan kedudukan ekonomi elite priayi, dibanding pada elite pesisiran, terlihat jelas dalam hubungan politik antara raja dan elite. Sultan di pesisiran sering hanya merupakan penguasa tertinggi di kertas, sedang kekuasaan sesungguhnya terletak di tangan para orang kaya. Merekalah yang menentukan politik negara - pun bila bertentangan dengan kepentingan sultan. Ada satu gejala lain lagi yang membedakan kerajaan pesisiran dan pedalaman: Dalam model pertama, adat diberi tempat yang jauh lebih penting dari di kerajaan agraris. Adat dengan jelas dikatakan sebagai pembatasan kekuasaan raja yang selalu harus menghormatinya. Dengan sendirinya para orang kaya, yang merupakan para ahli adat, berperanan di sini. Tapi kerajaan pedalaman dan pesisiran itu sebenarnya hanya model-model mumi. Dalam sejarah kerajaan di indonesia, baik di pedalaman maupun pesisiran, soal titik berat kekuasaan pada monarki atau elite mengenal pasang surut. Di kerajaan pedalaman umpamanya, berkali-kali keluarga raja, para sentana-dalam (pangeran) yang terdiri dari ibu-suri, paman-paman, saudara terdekat raja, mencoba mendikte dan membonekakan seorang raja lemah--dengan akibat puabupati, patih dan priayi lain ikut main politik. Atau bagaimana sebenarnya dengan para bupati pesisiran yang di abad ke-III melepaskan diri dari Mataram untuk bekerja sama dan induk pada VOC? Dalam kedua hal ini, di mana lebih kekuasaan raja Mataram yang mutlak dan kedudukan semi Deva-Rajanya? Juga umpamanya di Aceh di bawah Iskandar Muda (16071636), kita melihat kekuasaan raja mutlak di suatu kerajaan pesisiran. Meskipun kekuasaan mutlak ini hanya dapat dicapai dengan pemberontakan Iskandar terhadap sultannya, dan sesudahnya dengan membunuh seluruh elite lama. Pun kemudian satu-satunya putra Iskandar, sang pangeran mahkota terpaksa dibunuh. Iskandar mengangkat segolongan orang kaya baru yang dilarang memiliki tentara pribadi dengan senjata tradisional maupun yang modern--berapi. Golongan orang kaya baru itu pun, dicoba untuk dikebiri dengan menghilangkan fokus oposisi tradisional di keraton yaitu di sekitar Pangeran Mahkota. Sebab dengan makin lanjutnya usia Raja, oposisi dan harapan angkatan muda berkisar pada Putra Mahkota yang muda, dan yang pada suatu hari akan menggantikan ayahnya. Para orang kaya melihat percahan generasi ini sebagai alat untuk merebut kembali kekuasaan. Toh setelah Iskandar wafat, para orang kaya merebut kembali kekuasaan dan mengawasi tahta. Mereka merebut hak menentukan siapa yang mengganti setiap sultan. Setelah Iskandar wafat, orang kaya malah memilih tiga kali sultan raja putri. Sebab wanita di atas tahta diperkirakan lebih mudah dijadikan boneka. Memang sampai Belanda datang pada 1870, orang kaya Aceh menguasai kesultanan. Kesimpulan baik di negara agraris maupun di pesisiran, ra ja itu seorang diri. Raja memerlukan alat-alat yang mengkonstitusikan diri sebagai suatu elite. Ada pergulatan terus-menerus antara tahta dan elite, antara pemerintah aristokratis dan monarkis, antara kekuasaan yang terpusat di tangan seorang raja atau kekuasaan negara yang terpecah di tangan para elite. Kadang monarki menang, kadang aristokrasi. Di negara agraris, ada kecenderungan prinsip monarki lebih kuat dari kekuasaan di tangan keluarga raja atau priayi. Tetapi akhirnya, dalam perkembangan struktur politik suatu nepra, penting diteliti-dasar-dasar kekuatan masing-masing unsur yang memainkan peranan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus