SEMAKIN banyak salon kecantikan di Amerika dan Eropa
mempromosikan sabun, cream atau shampoo yang mengandung minyak
jojoba. Konon minvak itu punya berbagai khasiat unggul,
menandingi khasiat vitamin E, sari rumput laut, minyak kura-kura
atau pun sari buah alpokat. Produk kosmetika yang mengandung
minyak jojoba itu ternyata cukup laris dan merangsang minat
banyak orang. "Ini contoh lagi tentang sesuatu yang aneh dan
jarang digabungkan dengan supaya promosi yang unggul," ujar
seorang peneliti ilmiah skeptis.
Jojoba, yang dalam bahasa SpanyolMeksiko diucapkan hohoba,
tumbuh di bagian tertentu Gurun Sonora. Gurun ini mencakup
bagian dari Meksiko Utara, dan bagian selatan California dan
Arizona di AS. Orang Indian di situ, terutama dari suku Apache,
sudah lama memanfaatkan tanaman itu. Jojoba -nama resminya
Simmondsia chinensis atau Simmondsia californica--termasuk
hangsa tanaman jarakjarakan (Euphor biales). Ia tanaman perdu
besar, berdaur rindang kecil-kecil. Bila sudah dewasa,
menumbuhkan biji yang punya kada minyak sampai 50%. Minyak itu
bisa di pakai sebagai minyak rambut, bahan pesolek wajah dan
tubuh, makanan, bahan pelemas kulit dan untuk bikin lilin.
Sejak tahun 1972, Bagian Penelitian Lahan Setengah Kering dari
Universitas Arizona di AS memulai suatu program bersama suku
Indian Apache San Carlos untuk mengembangkan potensinya sebagai
tanaman ekonomi. Sejak itu perhatian terhadap jojoba cepat
meluas. Bahkan para spekulan tanah menggaet banyak uang dengan
menjual bagian tanah yang, kata mereka, cocok untuk menanam
jojoba. Semua itu hanya berdasarkan anggapan bahwa panennya
bakal memberi keuntungan yang fisbat. Kejadian serupa terulang
juga di Australia.
Harga minyak jojoba di pasaran memang menarik. Kalau tahun 1979
harga per ton berkisar sekitar US$ 15.000 (Rp 9,7 juta), saat
ini sudah melebihi US$ 35.000 (Rp 22,7 juta)! Ini disebabkan
permintaan jauh melebihi penyediaan, terutama oleh industri
komestika di AS, Jepang dan Eropa. Saat ini produksi minyak itu
hanya mencapai puluhan ton.
Demam jojoba membuat banyak pihak menginvestasikan uangnya di
bisnis pertanian itu. Menurut mereka yang mengolah jojoba di
Costa Rica, tanaman ini bakal menghasilkan 200% laba setiap
tahun dalam jangka waktu 10 tahun. Juga majalah Wall Street
Diges, yang memberi saran dalam berbagai investasi, pernah
menilai jojoba--sesudah real estate dan uang logam kuno--sebai
satu "di antara sepuluh bidan terbaik menginvestasikan uang
sekarang".
Tapi tak semua orang seantusias begitu. Apalagi dengan
meningkatnya produksi, harga minyak jojoba pasti anjlok. "Tak
ada investasi pertanian yang terjamin," ujar Ralph Boyd yang
memiliki American Jojoba Industries Inc. Perusahaan itu mengolah
1 500 hektar untuk menanam jojoba di California dan Arizona.
"Tak semudah itu menjadi jutawan," ujar Boyd lagi.
Tapi, selain sebagai bahan berbagai produk kosmetika, minyak
jojoa juga punya aplikasi dalam indusrri sebagai minyak
pelumas, pengolahan kulit, obat-obatan dan cat. Minyak itu juga
bisa !iolahmenjadi wax, bahan baku untuli industri lilin, bahan
pemoles, kosmetika dan lapisan pelindung. Dan sisanya setelah
diperas minyaknya, bisa dimanfaatkan sebagai makanan ternak yang
tinggi gizinya.
Satu lagi kemungkinan pemanfaatan minyak jojoba ialah sebagai
pengganti minyak ikan paus sperm. Produksi minyak ikan itu
semakin merosot, terutama karena berbagai tindakan menyelamatkan
ikan paus itu. AS, misalnya, melaran impor minyak itu di akhir
tahun 1971, dan tahun lalu Komisi Pemburuan Ikan Paus
Internasional (IWC) menetapkan penangguhan perburuan ikan paus
selama satu tahun.
Pemakai minyak ikan dalam industri sibuk mencari penggantinya.
Mereka meneliti minyak jojoba, yang secara kimiawi memang mirip
minyak ikan. Terutama di industri kulit, minyak ikan paus itu
banyak dipakai. "Daftar manfaat potensial cukup panjang," ujar
Demetrios M. Yermanos, profesor ilmu agronomi di Universitas
California.
Dr. Yermanos memang seorang yang mempelopori pembudidayaan
jojoba. Ia juga menjiwai sebuah proyek penanamannya di Sudan,
yang dimulai tahun 1979. Eksperimen itu didukung UNDP (United
Nations Development Program dan Kementerian Pertanian Sudan.
Dr. Yermanos bertindak sebagai satu-satunya konsultan dalam
proyek itu.
Belakangan berbagai negara Arab dan Afrika mulai menaruh
perhatian terhadap tanaman itu. Salah satu sebab ialah karena
konon tanaman itu bisa mencegah menjalarnya gurun pasir. Saat
ini di Sudan, misalnya, gurun pasir berkembang dengan kecepatan
6 km setiap tahun Tapi juga menjadi perhatian ialah potensi
ekonomis yang dimiliki jojoba itu.
Mencegah Erosi
Kini Yermanos meneliti kemampuan penyesuaian diri tanaman itu di
berbagai wilayah Sudan. Juga ditelitinya kemungkinan manfaat
ekonomisnya, sebagai lapangan kerja bagi penduduk setempat.
Menurut Akram Qursha, kepala proyek nasional UNDP di sana,
eksperimen itu cukup berhasil. "Bahkan jika penaksiran potensi
industri tanaman itu terlalu berlebihan, kita masih memiliki
semua manfaat pertaniannya," ujar Qursha.
Menurut orang UNDP ini, jojoba "sama baiknya" seperti tanaman
lain yang dipergunakan untuk mencegah erosi dan perkembangan
gurun pasir. Kekurangannya ialah karena jojoba memerlukan
"pengairan sekedar" pada dua tahun pertama. Tanaman lainnya tak
memerlukan masa pengairan selama itu. "Tapi ini eksperimen yang
amat baru," ujar Qursha. "Apa yang kami kumpulkan sampai
sekarang ialah menunjuk pada potensinya yang amat baik."
Agaknya berdasarkan ini, pekan lalu di Khartoum, Sudan,
berlangsung sebuah seminar tentang jojoba. Semua negara Arab dan
negara Afrika sekitar Gurun Sahel diundang. Qursha melihat
seminar ini sebagai titik-tolak pengembangan tanaman jojoba.
Selain Sudan, Persatuan Emirat Arab sudah menyetujui rencana
membudidayakan tanaman itu. Diduga Arab Saudi, Iran dan Jordania
segera akan memulai pula proyek itu, sementara Mesir sudah
memulai suatu program penelitiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini