Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Debat guncangan listrik

Pengobatan dengan kejutan listrik (electroshock therapy), banyak dikecam, tapi dokter bertahan karena hasilnya baik, untuk mengobatan gangguan jiwa walaupun kelihatan kasar. (ksh)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU tahun Fanni Carmila berpraktikum di Rumah Sakit Jiwa Magelang. Setiap hari mahasiswi Fak. Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung itu, menyaksikan pasien diikat di tempat tidur dan meronta-ronta karena sengatan listrik. Electroshock Therapy (EST), pengobatan penyakit gangguan jiwa dengan menggunakan kejutan aliran listrik terhadap otak itu, ternyata membangkitkan belas kasihan pada diri Carmila. Dalam suratnya yang dimuat Kompas (16 Februari) dia mengecam pengobatan itu sebagai kejam dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu dia meminta psikiater "menghentikan penggunaan Electroshock Therapy." Dia menyebutkan pengobatan seperti itu mengakibatkan penderitaan yang amat sangat. Seluruh tubuh pasien kejang dan kesadarannya hilang. Apabila mereka sadar kembali, tubuhnya lemas dan kerja otaknya menjadi lemah. Tiga bulan setelah itu daya ingat menurun dengan hebat. Dia khawatir jika pengobatan itu diteruskan sel-sel otak dapat rusak. EST atau Electroconvulsive Therapy (ECT), menurut dr. Sasanto Wibisono psikiater, memang kelihatan kasar dan tidak berperikemanusiaan. Kendati demikian, katanya, secara medis risikonya tidak lebih besar ketimbang cara pengobatan yang lain. "Pasien jarang memberikan keluhan yang tidak enak, kalaupun ada, sifatnya subyektif," kata Sasanto. Kontra indikasinya, lanjut Sasanto, ECT akan menyebabkan penurunan kesadaran dalam jangka waktu pendek dari beberapa hari sampai sekitar tiga bulan. Tapi "tidak benar ECT menyebabkan pasien jadi bodoh," tambahnya. Pendapat serupa juga dikemukakan Prof. Dr. H. Hassan Basri Saanin Datuk Tan Pariaman, psikiater di RS Hasan Sadikin, Bandung. Menurut dia, kejutan listrik yang dialirkan dari sebuah kotak (20 cm x 20 cm x 20 cm), hanya diberikan dalam waktu sepersepuluh detik, atau paling tinggi setengah detik. Sesudah menerima kejutan, pasien biasanya pingsan, pernapasan terhenti selama satu menit. Begitu tampak tanda-tanda mulai siuman, tubuh pasien segera dibalikkan untuk mengeluarkan ludah yang terkumpul di mulut. Sepuluh menit kemudian, pasien sadar, tingkahnya menyerupai orang terkena sawan. "Mirip orang bangun tidur, bengong atau bisa juga berteriak-teriak," kata Hassan Basri, 65 tahun. Parah tidaknya seseorang menderita gangguan jiwa, menurut dr. Sasanto, juga menentukan dosis pemberian ECT. "Yang sangat parah bisa sampai 20 kali, sedangkan yang agak ringan cukup dua sampai tiga kali," katanya. Sakitkah? Hendro (bukan nama sebenarnya), 32 tahun, bekas pasien sakit jiwa, yang pernah menerima ECT sulit mengingat. Maklum "pikiran saya ketika itu tak beres, jadi tak merasa apa-apa," katanya. Bukan hanya itu saja, segala sesuatu yang terjadi sesudah menerima ECT, dia tak ingat lagi. Jiwa Hendro terganggu tak lama sesudah (1972) kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan lalulintas di Jakarta. Di bulan pertama tinggal di sebuah rumah sakit jiwa, (Bandung), dia hanya menerima obat-obatan dan suntikan. Setelah dua bulan tak menampakkan kemajuan, psikiater memutuskan dia harus menerima ECT. Keputusan memberikan ECT semacam itu, menurut dr. Sasanto dilakukan sesudah psikiater mengamati berbagai segi kondisi pasien. Pasien yang menderita kelainan jantung, kelainan pernapasan, dan kelainan tulang tidak boleh menerima ECT. Tapi orang yang hamil, demikian Sasanto, bisa menerima ECT asal kandungannya sudah berusia tiga bulan. Pendeknya metode ECT yang ditemukan Celetti dan Bini (1938 di Italia) ini "sangat bermanfaat untuk pengobatan beberapa gangguan kejiwaan yang berat," katanya. Prof. Hassan Basri juga berpendapat serupa. Bahkan, menurut dia, dibanding pemberian obat-obatan (Pbarmacotherapy), dan suntikan, ECT "jauh lebih efisien dan murah." Dengan metode itu ditambah beberapa tablet, seorang pasien hanya mengeluarkan Rp 300 sekali pengobatan. Jika mengandalkan obat-obatan--yang harganya sekitar Rp 450/ butir, sehari harus menelan sekitar sembilan butir -- akan menghabiskan sekitar Rp 4.000. setiap hari. Mahal? Tentu saja. Kendati demikian, MAW Brouwer, yang sering menulis di Kompas, tetap setuju penyembuhan dengan obat-obatan. Apa pun alasannya, menurut psikolog itu, "memberilan kjutan listrik sama dengan menyik da tidak manusiawi." Manusiawi atau tidak, menurut Ptof, Hassan Basri, metode ECT menunjukkan kemujarabannya--85% dan 15 pasien tiap minggu di RS Hassan Sadikin, sembuh karenanya. Pokoknya "belum pernah ada pasien yang mati atau mengalami kecelakaan lain akibat Eletro shock Therapy," katanya. Dengan metode ini, pasien yang juga diberi obat jalan, akan sembuh 10 bulan kemudian. "Yang penting perlu perubahan sikap masyarakat terhadap metode ET ini," kata dr. Sasanto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus