SATU tahun Fanni Carmila berpraktikum di Rumah Sakit Jiwa
Magelang. Setiap hari mahasiswi Fak. Psikologi Universitas
Kristen Maranatha Bandung itu, menyaksikan pasien diikat di
tempat tidur dan meronta-ronta karena sengatan listrik.
Electroshock Therapy (EST), pengobatan penyakit gangguan jiwa
dengan menggunakan kejutan aliran listrik terhadap otak itu,
ternyata membangkitkan belas kasihan pada diri Carmila. Dalam
suratnya yang dimuat Kompas (16 Februari) dia mengecam
pengobatan itu sebagai kejam dan tidak menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu dia meminta psikiater
"menghentikan penggunaan Electroshock Therapy."
Dia menyebutkan pengobatan seperti itu mengakibatkan penderitaan
yang amat sangat. Seluruh tubuh pasien kejang dan kesadarannya
hilang. Apabila mereka sadar kembali, tubuhnya lemas dan kerja
otaknya menjadi lemah. Tiga bulan setelah itu daya ingat menurun
dengan hebat. Dia khawatir jika pengobatan itu diteruskan
sel-sel otak dapat rusak.
EST atau Electroconvulsive Therapy (ECT), menurut dr. Sasanto
Wibisono psikiater, memang kelihatan kasar dan tidak
berperikemanusiaan. Kendati demikian, katanya, secara medis
risikonya tidak lebih besar ketimbang cara pengobatan yang lain.
"Pasien jarang memberikan keluhan yang tidak enak, kalaupun ada,
sifatnya subyektif," kata Sasanto. Kontra indikasinya, lanjut
Sasanto, ECT akan menyebabkan penurunan kesadaran dalam jangka
waktu pendek dari beberapa hari sampai sekitar tiga bulan. Tapi
"tidak benar ECT menyebabkan pasien jadi bodoh," tambahnya.
Pendapat serupa juga dikemukakan Prof. Dr. H. Hassan Basri
Saanin Datuk Tan Pariaman, psikiater di RS Hasan Sadikin,
Bandung. Menurut dia, kejutan listrik yang dialirkan dari sebuah
kotak (20 cm x 20 cm x 20 cm), hanya diberikan dalam waktu
sepersepuluh detik, atau paling tinggi setengah detik. Sesudah
menerima kejutan, pasien biasanya pingsan, pernapasan terhenti
selama satu menit.
Begitu tampak tanda-tanda mulai siuman, tubuh pasien segera
dibalikkan untuk mengeluarkan ludah yang terkumpul di mulut.
Sepuluh menit kemudian, pasien sadar, tingkahnya menyerupai
orang terkena sawan. "Mirip orang bangun tidur, bengong atau
bisa juga berteriak-teriak," kata Hassan Basri, 65 tahun.
Parah tidaknya seseorang menderita gangguan jiwa, menurut dr.
Sasanto, juga menentukan dosis pemberian ECT. "Yang sangat parah
bisa sampai 20 kali, sedangkan yang agak ringan cukup dua sampai
tiga kali," katanya.
Sakitkah? Hendro (bukan nama sebenarnya), 32 tahun, bekas pasien
sakit jiwa, yang pernah menerima ECT sulit mengingat. Maklum
"pikiran saya ketika itu tak beres, jadi tak merasa apa-apa,"
katanya. Bukan hanya itu saja, segala sesuatu yang terjadi
sesudah menerima ECT, dia tak ingat lagi. Jiwa Hendro terganggu
tak lama sesudah (1972) kedua orang tuanya tewas dalam
kecelakaan lalulintas di Jakarta. Di bulan pertama tinggal di
sebuah rumah sakit jiwa, (Bandung), dia hanya menerima
obat-obatan dan suntikan. Setelah dua bulan tak menampakkan
kemajuan, psikiater memutuskan dia harus menerima ECT.
Keputusan memberikan ECT semacam itu, menurut dr. Sasanto
dilakukan sesudah psikiater mengamati berbagai segi kondisi
pasien. Pasien yang menderita kelainan jantung, kelainan
pernapasan, dan kelainan tulang tidak boleh menerima ECT. Tapi
orang yang hamil, demikian Sasanto, bisa menerima ECT asal
kandungannya sudah berusia tiga bulan. Pendeknya metode ECT yang
ditemukan Celetti dan Bini (1938 di Italia) ini "sangat
bermanfaat untuk pengobatan beberapa gangguan kejiwaan yang
berat," katanya.
Prof. Hassan Basri juga berpendapat serupa. Bahkan, menurut dia,
dibanding pemberian obat-obatan (Pbarmacotherapy), dan suntikan,
ECT "jauh lebih efisien dan murah." Dengan metode itu ditambah
beberapa tablet, seorang pasien hanya mengeluarkan Rp 300 sekali
pengobatan. Jika mengandalkan obat-obatan--yang harganya sekitar
Rp 450/ butir, sehari harus menelan sekitar sembilan butir --
akan menghabiskan sekitar Rp 4.000. setiap hari.
Mahal? Tentu saja. Kendati demikian, MAW Brouwer, yang sering
menulis di Kompas, tetap setuju penyembuhan dengan obat-obatan.
Apa pun alasannya, menurut psikolog itu, "memberilan kjutan
listrik sama dengan menyik da tidak manusiawi."
Manusiawi atau tidak, menurut Ptof, Hassan Basri, metode ECT
menunjukkan kemujarabannya--85% dan 15 pasien tiap minggu di
RS Hassan Sadikin, sembuh karenanya. Pokoknya "belum pernah ada
pasien yang mati atau mengalami kecelakaan lain akibat Eletro
shock Therapy," katanya. Dengan metode ini, pasien yang juga
diberi obat jalan, akan sembuh 10 bulan kemudian. "Yang
penting perlu perubahan sikap masyarakat terhadap metode ET
ini," kata dr. Sasanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini