Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Gunung Es Predator Digital

Kekerasan seksual di jagat maya terhadap perempuan dan anak-anak makin masif di Indonesia. Pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual makin mendesak.

29 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gunung Es Predator Digital

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sisi gelap perkembangan teknologi digital yang kerap luput dari perhatian kita. Meluasnya penggunaan Internet dan mudahnya mengunggah konten video ke platform digital ternyata memicu maraknya pornografi ilegal di banyak negara, termasuk di Indonesia. Korbannya adalah perempuan yang diperdaya—sebagian bahkan dipaksa—untuk mempertontonkan tubuh ataupun aktivitas seksual mereka. Inilah konsekuensi yang tak diharapkan (unintended consequence) dari pesatnya pertumbuhan teknologi online belakangan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi itu diperparah oleh minimnya perangkat perlindungan hukum bagi para korban. Melaporkan tindak pidana kejahatan seksual sering menimbulkan trauma baru bagi perempuan. Kentalnya kultur patriarkis, yang menempatkan laki-laki lebih dominan dalam sistem sosial kita, menjadi penghambat penanganan perkara kesusilaan yang korbannya mayoritas perempuan. Diskriminasi ini yang kemudian membuat banyak korban kekerasan seksual memilih menutup diri. Sebagian besar aparat penegak hukum tidak dilengkapi pengetahuan yang memadai untuk menangani kasus kekerasan seksual biasa, apalagi yang terjadi via teknologi digital.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan terbaru Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Maret lalu mengungkapkan sepertiga perempuan di dunia atau sekitar 736 juta orang pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Adapun di Indonesia, sepanjang 1 Januari-16 Maret 2021 saja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat terjadi 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, hampir separuhnya merupakan kejahatan seksual.

Dari semua kasus kekerasan seksual itu, tak sedikit yang berujung pada penyebaran dan komersialisasi konten pornografi secara online. Teknologi digital memungkinkan berbagai konten ilegal itu menyebar dengan luas dan cepat. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, sepanjang 2020, ada 940 laporan soal itu, naik empat kali lipat dibanding setahun sebelumnya. Temuan serupa datang dari lembaga advokasi kebebasan berekspresi di Internet, SAFEnet, yang menemukan 307 kasus kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi sepanjang 2020. Ini juga naik empat kali lipat dibanding pada 2019.

Dalam tiga bulan terakhir, Tempo berkolaborasi dengan South China Morning Post, Philippine Center of Investigative Journalism, dan The Korea Times menelusuri jejak kejahatan ini di jagat maya. Fenomena predator seksual yang aktif di ranah digital ternyata juga terjadi di banyak negara lain. Yang memprihatinkan, berbagai kisah tentang kekerasan seksual berbasis online ini diduga kuat hanyalah puncak gunung es. Ada banyak korban yang tak berani bersuara karena mengalami depresi dan khawatir dipermalukan di depan umum.

Keberpihakan publik kepada perempuan yang menjadi korban peredaran video intim, misalnya, memang masih jadi tanda tanya besar. Kita masih ingat, dalam beberapa kasus video intim selebritas yang beredar di publik, banyak orang cenderung memberikan label miring kepada pihak perempuan. Stigma semacam itu membuat korban kejahatan seksual makin enggan melaporkan insiden yang mereka alami kepada penegak hukum.

Modus kekerasan seksual berbasis teknologi digital ini cukup beragam. Ada korban yang diperdaya dengan iming-iming tampil dalam ajang pencarian bakat. Untuk lolos menjadi finalis, korban dipaksa mengirimkan foto dan video tak senonoh, yang kemudian menjadi komoditas di sebuah situs online. Ada model yang ditipu untuk sebuah sesi pengambilan foto yang ternyata hanya kedok buat produksi konten pornografi. Ada perempuan yang diperas jutaan rupiah agar video intimnya tak disebarkan.

Tak terbendungnya kejahatan ini jelas dipicu oleh belum hadirnya negara melindungi perempuan. Agar persoalan ini tidak menjadi lingkaran setan yang tak berkesudahan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus mempercepat lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Ini penting agar ada instrumen hukum yang memadai untuk mengatasi kekerasan seksual. Saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, misalnya, belum secara tegas mendefinisikan kekerasan seksual dan mengatur penanganan kasus yang berpihak kepada korban.

Pemerintah juga harus bekerja sama dengan perusahaan teknologi digital untuk membersihkan Internet dari konten pornografi ilegal. Jangan sampai jagat maya menjadi ruang lapang bagi para predator seksual yang bersembunyi di balik akun anonim. Memburu para pelaku kekerasan seksual ini seharusnya menjadi tugas utama satuan tugas yang dibentuk Markas Besar Kepolisian RI. Ketimbang mengganggu mereka yang berani mengkritik pemerintah, ini jelas tugas yang lebih penting dan mendesak untuk para petugas patroli virtual tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus