Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Salah Urus Banjir Jakarta

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seharusnya memprioritaskan penanganan banjir di Ibu Kota. Presiden Joko Widodo tak bisa lepas tangan.

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR di Jakarta bukan perkara baru. Perubahan iklim memang membuat derasnya curah hujan jadi di luar kebiasaan dan bencana air bah di Ibu Kota menjadi-jadi. Tapi itu bukan berarti banjir tak bisa diantisipasi dan dikelola. Minimal, kedatangannya harus diprediksi, penanganan korbannya terorganisasi, dan surutnya bisa dipercepat.

Manajemen pengelolaan banjir inilah yang menjadi tanggung jawab Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sebagai kepala daerah, dia harus bisa menunjukkan langkah-langkah penanganan banjir yang terencana, terpadu, dan efektif. Sayangnya, dua kali banjir besar yang melanda Ibu Kota dalam dua bulan pertama 2020 menunjukkan kinerja Anies yang kurang optimal.

Jangan dulu berburuk sangka dan mengaitkan penilaian miring ini pada soal politik. Sejumlah kalangan memang menjagokan Anies menjadi calon presiden pada Pemilihan Umum 2024. Namun itu bukan berarti kinerjanya sebagai Gubernur Jakarta tak bisa dinilai tanpa embel-embel politik elektoral. Publik wajib mendapat informasi yang jernih dan sahih tentang performa Anies sebagai pemimpin Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apalagi, di atas kertas, manajemen pengelolaan banjir sebenarnya bukan hal yang terlampau rumit. Variabel yang harus dihitung agar banjir tak berdampak besar juga terang-benderang. Pengalaman Jakarta bertahun-tahun sebagai kota langganan banjir membuat rumus penanganannya juga sudah jelas. Sebagai gubernur, tugas Anies tinggal merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi program-program antisipasi banjir di Jakarta.

Karena itu, Anies seharusnya tidak terjebak dalam dikotomi naturalisasi versus normalisasi sungai. Publik juga tak perlu latah mempertentangkan air bah hendak dialirkan ke laut atau dimasukkan ke tanah. Memperdebatkan keduanya tak bakal menyelesaikan masalah dan hanya menarik untuk konsumsi pendengung politik.

Semua konsep penanganan banjir itu sebenarnya bisa berjalan seiring. Di daerah aliran sungai yang memungkinkan, naturalisasi bisa berjalan. Di tengah kota yang lahannya terbatas, tak ada pilihan selain membuat dinding beton di pinggir sungai. Yang justru harus diuji adalah pelaksanaan konsep-konsep itu di lapangan. Di situ peran Anies dinilai.

Pertama, dari sisi politik anggaran. Jika membandingkan angka anggaran penanganan banjir dari tahun ke tahun, tampaknya antisipasi banjir bukan prioritas Anies. Meski tersebar di beberapa pos anggaran, total dana yang dialokasikan untuk pengendalian banjir memang menurun. Pada 2018, total anggaran program pengendalian banjir di dinas sumber daya air dan suku dinas mencapai Rp 3,5 triliun. Tahun ini, jumlahnya menyusut menjadi Rp 2,5 triliun. Padahal serapan anggarannya tahun lalu rata-rata 90 persen.

Dengan dana yang menurun, evaluasi kinerja pompa serta perawatan dan pengadaan pompa baru jadi tak bisa optimal. Setiap kali banjir, selalu ada kabar soal pompa yang tak berfungsi. Hal-hal sepele semacam ini bisa berdampak langsung pada pengendalian banjir di lapangan.

Kedua, soal pelaksanaan program. Ada banyak laporan tentang koordinasi yang tak berjalan. Proyek pelebaran trotoar yang digelar Anies di banyak titik di Jakarta ternyata tak dibarengi dengan pelebaran saluran air. Di beberapa proyek, seperti di Menteng dan sepanjang Jalan Sudirman, saluran air justru menyempit atau tersumbat puing-puing bongkaran trotoar.

Terakhir, soal pelaksanaan program untuk mengantisipasi banjir berikutnya. Selain sedang membangun dua waduk di Ciawi dan Sukamahi, Jawa Barat, pemerintah pusat sebenarnya merencanakan pelebaran 13 sungai di Jakarta dan pembangunan sodetan di Kali Ciliwung. Proyek-proyek ini sekarang mandek karena Gubernur Anies belum berhasil membebaskan lahan di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penanganan Anies soal pembebasan lahan untuk proyek pengendalian banjir ini terasa berbeda dengan caranya menghadapi masalah serupa di proyek moda raya terpadu (MRT). Kita tahu, berkat pendekatan Anies, beberapa pemilik lahan yang berkeras menolak proyek MRT di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan, melunak.

Perbaikan manajemen banjir Anies jadi kian mendesak mengingat konflik sosial kini meruncing. Ratusan warga di kampung-kampung yang bersebelahan dengan perumahan Jakarta Garden City di Cakung, Jakarta Timur, pekan lalu mengamuk di AEON Mall. Mereka menuding pembangunan mal dan perumahan mewah itu membuat kampung mereka tenggelam. Gubernur Anies harus memastikan semua pengembang memenuhi kewajiban membangun fasilitas umum dan sosial.

Tentu mengatasi banjir Jakarta tak bisa dikerjakan Anies sendiri. Presiden Joko Widodo semestinya turun tangan. Pada Maret 2014, Jokowi berujar bahwa dia bisa mengatasi persoalan Jakarta jika terpilih menjadi presiden. Kini saatnya membayar lunas janji itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus