Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERJALANAN politik di Indonesia kini berbalik memakai gigi mundur. Setelah 23 tahun berlalu, transisi kian menjauh dari demokrasi yang terkonsolidasi. Alih-alih menuntaskan agenda yang tertunda, pemerintah Presiden Joko Widodo justru mengikis pelbagai capaian positif yang dirintis sejak awal reformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia memulai era reformasi pada 21 Mei 1998, ketika Presiden Soeharto mundur karena gagal mengatasi krisis moneter dan politik. Semula, proses transisi politik Indonesia lumayan menjanjikan. Memenuhi tuntutan reformasi, pemerintahan transisi di bawah Presiden B.J. Habibie membebaskan pers, melepas tahanan politik, dan menyiapkan pemilihan umum yang demokratis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, dominasi peran militer di ranah politik dilucuti. Lalu, di era Megawati Soekarnoputri, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada kurun yang sama, rangkaian amendemen Undang-Undang Dasar 1945 juga memperkuat mekanisme checks and balances di antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konstitusi hasil amendemen pun mengukuhkan jaminan atas hak-hak fundamental warga negara.
Namun transformasi politik itu umumnya baru pada level prosedur, bukan substansi. Setelah Presiden Indonesia silih berganti, transisi menuju demokrasi jalan di tempat. Rezim Orde Baru boleh saja tumbang. Tapi aktor lama dan penerusnya terus bercokol. Mereka hanya berganti jas partai atau logo perusahaan. Sedangkan penyakit korupsinya tak kunjung sembuh. Untung saja Indonesia punya KPK yang—di masa kejayaannya—trengginas menghajar para koruptor.
Terpilih pada Pemilu 2014 dengan dukungan masyarakat sipil, Joko Widodo semula diharapkan menggerakkan kembali roda konsolidasi demokrasi. Tapi ekspektasi itu jauh panggang dari api. Datang dari lingkaran luar elite politik lama, kehadiran Jokowi bukan sebuah sinar terang.
Pada masa kedua jabatannya, Jokowi justru memutar balik arah jarum demokrasi. Transisi politik yang semula stagnan malah mengalami regresi alias kemunduran. Tahun lalu indeks demokrasi Indonesia berada di peringkat ke-64 dunia. Menurut The Economist Intelligence Unit, skor Indonesia melorot ke 6,3 poin, terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia pun masuk kategori negara dengan demokrasi cacat, di bawah Malaysia, Filipina, dan Timor Leste.
Kebebasan sipil di Indonesia terancam. Warga yang kecewa dan aktivis yang kritis dikriminalisasi. Aparat memakai kekerasan untuk membungkam kaum buruh, petani, dan warga sipil yang menentang kebijakan pemerintah.
Indeks persepsi korupsi Indonesia juga anjlok ke posisi 102 dari 180 negara pada 2020. Padahal, menurut Transparency International, pada 2019, Indonesia masih berada di peringkat ke-85. Freedom House memberi peringatan senada. Tahun lalu pemberantasan korupsi di kalangan pejabat hanya memperoleh skor 1 dari skala 4 poin.
Kasus korupsi yang melibatkan Menteri Sosial Juliari P. Batubara serta Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengkonfirmasi deretan indeks itu. Di masa Jokowi pula Komisi Pemberantasan Korupsi bernasib tragis. Bersama para begundal di DPR, Jokowi merevisi Undang-Undang KPK yang melumpuhkan lembaga antirasuah itu.
Di luar pemberantasan korupsi, masih banyak indikasi kemunduran yang bisa dirinci. Tak berlebihan bila, dalam peringatan 23 tahun reformasi, para pengunjuk lantang berteriak, “Reformasi dikorupsi!”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo